KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
A.
Persoalan
Adalah suatu hal
yang wajar, jika alam mayapada diramaikan dengan adanya deferensiasi (perbedaan) yang lahir dari sesuatu (makhluk atau barang) yang
berpasangan. Pada setiap barang ada kohesi ada adhesi. Binatang ada jantan ada
betina. Tenaga ada aksi ada reaksi. Elektron ada positif ada negatif. Segala
kedudukan ada tese ada antitesenya dan lain sebagainya. Akan tetapi betapa
naifnya jika filsafat keagamaan itu berubah menjadi hal yang selalu diameteral-konfrontatif (berhadapan sekaligus
bertentangan) dan mengarah pada persoalan negatif dan merugikan pihak lainnya.
Keserakahan yang membias dari arogansi (kecongkakan) suatu pihak yang
menganggap dirinya superior begitu teganya mencaplok hak pihak imferior
bawahannya yang tersubordinasi (terkalahkan). Misalnya politik apartheid (suatu sistem deskriminasi rasial secara total antara
orang yang berkulit hitam dan yang berkulit putih) yang berkembang di Afrika
Selatan, sejak hari-hari pertama kolonialisme sekitar abad ke tujuh belas yang
kemudian dikembangkan oleh united party
di bawah kepemimpinan Smuts dan Hertzog. Yang pada akhrnya ditentang oleh
pendekar pembela hak Nelson Mandela.
Demikian pula gerakan –gerakan berkonsentrasi pada pemberdayaan perempuan (empowering women) yang santer. Disebut
feminisme yang dikumandangkan mula-mula di Amerika sekitar 60 an yang hingga
kini resonansinya (gaung) masih terus berdengung. Di India juga bisa dilihat,
bagaimana Gandi memperjuangkan mengeliminasikan (menipiskan) diskriminasi kelas
yang sangat fanatik dipertahankan oleh doktrin Hindu.
Dalam konteks persoalan seperti ini, dimanakah posisi Islam? Dalam Kitabullah
disinyalir, bahwa Islam datang untuk merubah kehidupan manusia dari gelap (dhulumat) menuju
terang (ila an-nur). Kegelapan yang paling pekat adalah ketidakadilan yang di
bangun atas dasar keyakinan yang secara mendasar berwatak diskriminatif. Baik secara kelas, kelamin, warna kulit,
dan atau kesukuan. Atas dasar keyakinan yang diskriminatif itu kelompok masyarakat secara
apriori diletakkan pada posisi yang superior, lalu
lebih dominan, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya dibanding kelompok
lain. Kaum lak-laki secara kodrati dipandang superior ketimbang wanita.
Demikian pula suku bangsa atau kelompok warna kulit secara alami merasa lebih
unggul dibanding suku bangsa atau kelompok warna kulit yang lain.
B.
Pembahasan
Untuk mempermudah kajian-kajian persoalan tentang ekualitas atau porsi keseimbangan hak, Islam telah meletakkan
landasan doktrin teologisnya. Yaitu lafal Laa ilaaha
illallah. Disana Islam menyatakan dua prinsip pokok. Pertama, bahwa di atas manusia pada dasarnya tidak ada
satu otoritas apapun yang secara apriori mengklaim keunggulan kecual Allah. Kedua,
bahwa dihadapan Allah, semua manusia pada dasarnya adalah sama, tidak ada yang secara kodrati
lebih superior dibanding yang lain. Allah berfirman: “ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku menciptakan kalian terdiri
dari laki-laki dan perempuan dan aku
ciptakan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling mengenal , sesungguhnya
yang paling mulya diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”
(Al –hujurat : 13)
Kajian
yang lebih spesifik kita mulai dari kafa’ah. Kafa’ah berarti kesepadanan (equality, likeness). Jka diterapkan
dalam konteks pernikahan berarti adanya kesepadanan antara suami dan istri dalam hal martabat, status
social, akhlakq, ekonomi dan lain-lain.
Lalu persoalannya, apakah definisi itu merupakan harga mati (point of no return), dimana, disana tidak ada peluang lagi untuk
membuka akses penafsiran lainnya ketika konteks ini dihadapkan pada realitas sosial yang beragam. Apakah sebuah
asumsi yang menjanjikan bahwa kafa’ah akan menjamin kelangsungan hidup rumah
tangga yang bahagia, damai dan abadi tidak menutup sebuah akses lain yang titik
tekannya pada aspek kualitas bukan pada aspek kafa’ah itu sendiri. Sebagai
bukti varian pemkiran ini, Ibnu Hazm tidak lagi memperhatikan prinsip kafa’ah,
akan tetapi mendasarkan suatu argumen pada kualitas personal, semisal nilai
keimanan dan ketaqwaannya masih kuat berarti dia masih punya hak untuk melangsungkan
pernikahan. Selanjutnya Ibnu Hazm menegaskan:
اىُّ مسلمٍ مالم يكن زانياً فله الحق ان يتزوج اَيَّةَ مسلمةٍ مالم
تكن زانيةً
“Muslim manapun -selama tidak pernah zina- dia mempunyai hak untuk
mengawini perempuan muslim manapun dengan catatan dia tidak pernah melacur”.
Juga beliau menangkis sebuah komentar yang menyatakan bahwa seorang
muslim yang fasik tidak bisa menikahi perempuan yang fasik, dengan berdalih bahwa keterangan tersebut
tak beralasan. Bahkan beliau memperkokoh argumennya dengan ayat:
إنما المؤمنون إخوةٌ.
“ Sesungguhnya semua orang mukmin itu
bersaudara”. ( Q.S.
Al-Hujurat: 10).
Dan ayat:
والمؤمنون والمؤمنات بعضُهم اولياءُ بعضٍ
“Dan orang-orang beriman lelaki dan
perempuan, satu sama lain saling memperhatikan “. ( Q.S. AT-Taubah: 71) (Fiqih Sunah
Vol.2 hal: 126-127).
Yang pada akhirnya Ibnu Hazm berpendapat; tidak ada komponen-komponen
yang jelas yang dapat dipertanggung jawabkan untuk dijadikan ukuran kafa’ah.
Jadi nampak transparan bahwa pendapat Ibnu Hazm demikian liberal.
Pendapat kedua diwakili oleh madzhab Maliki dan kelompok lain yang
sependapat, dimana dalam pola ijtihadnya masih memperhatikan kafa’ah untuk
meligitimasi keabsahan suatu pernikahan
(sahnya pernikahan). Unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah
addin wal hal (terminology yang dipakai Abi Ahmad Ibn Umar dalam kitab
Ahkam al-zawaj ala madzahib al-arba’ah). Sementara Sayid sabiq dalam Fiqh Sunnahnya menggunakan
terminology istiqomah wal khuluq. Yang dimaksud dengan addin adalah
attadayyun yang berarti seorang muslim yang tidak fasik. Yang dmaksud dengan
hal adalah bebas dari cacat (kekurangan) yang bisa dijadikan suatu ukuran
bolehnya khiyar dari suami, seperti lepra, gila dan lain sebagainya. (lihat
Ahkam al-zawaj ala madzahib al-arba’ah hal. 159)
Pendapat ketiga yang diwakili oleh mayoritas fuqoha’, bahwa unsur-unsur
kafa’ah tidak hanya berhenti pada addin wal hal, akan tetapi faktor genetik
(nasab) profesi dan merdeka juga dijadikan pertimbangan untuk menentukan
prinsip kafa’ah. Sementara pendapat keempat yang dipelopori oleh madzhab Hanafi
dan Hambali menambahkan faktor ekonomi (hal ihwal kekayaan).
Dalam hal apakah kafa’ah itu merupakan syarat mutlak (condition sine quanon) untuk
mengejawantahkan sebuah pernikahan, maka Wahba Zuhaili mengkualifikasikan dalam
dua kategori pendapat. Kelompok pertama dipelopori oleh al-Tsauri, Hasan Basri,
al-Karokhi yang termasuk kelompok Hanafiyah mereka berpendapat bahwa kafa’ah
bukanlah suatu syarat baik untuk keabsahan proses perkawinan maupun syarat
luzum (dimana terdapat peluang khiyar) mereka berargumen dengan dasar-dasar
sebagai berikut:
Hadits : “ Manusia itu pada
prinsipnya mempunyai sifat ekualitas (persamaan) sebagaimana ratanya gigi sisir, tiada
kelebihan bagi seorang Arab atas orang luar Arab, kecuali dari aspek taqwanya”. Kemudian ayat : “ Sesungguhnya yang paling mulya diantara kalian di sisi Allah adalah
yang palng taqwa”. Sekalipun pengertian ekualitas sebenarnya menurut sebuah
pendapat yang kurang setuju dengan pandangan kelompok pertama ini hanya
berkisar dalam persamaan hak dan kewajiban tidak yang lain. (lebih jelasnya
lihat Fiqh al-islam vol. 7 hal. 230).
Dapat digaris bawahi, bahwa kelompok ini tidak mensyaratkan kafa’ah
secara mutlak.
Kualifikasi kedua yang dikomandani mayoritas fuqoha termasuk madzahib
al-arba’ah, berpendafat bahwa kafa’ah merupakan syarat luzumnya pernikahan
bukan merupakan syarat validitas suatu pemikiran. Argumen yang dijadikan alat
legalitasnya, pertama naqli.
Rasulullah bersabda kepada Ali:
ثلاثٌ لا تُؤَخَّرُ: اذا أتتْ والجنازةُ اذا حضرتْ والايِّمُ اذا
وَجدتْ كُفؤًا
“ada tiga hal yang tidak boleh
diakhirkan: shalat bila sudah sampai waktunya, jenazah bila sudah hadir, dan
janda bila sudah menemukan yang sepadan dengannya”.
Kedua, nalar, bahwa aturan kemaslahatan
suami istri biasanya tidak akan terwujud kecuali dengan adanya kesepadanan dari
kedua belah pihak. (ibid hal. 232-233)
C.
Kesimpulan
Dari varian pendapat dan pemikiran
diatas setelah mempertimbangkan dari berbagai sisi, baik fenomenal riil dalam
masyarakat maupun fleksibilitas dalil yang dijadikan alasan nampaknya yang
lebih relevan untuk dijadikan pegangan adalah pendapat Malikiyah. Komponen yang
menjadi parameter (ukuran) kafa’ah
adalah bermuara pada sejauh mana keterikatannya (komitmen) pada agama, yang berarti seseorang dikatakan sepadan jika
dia itu muslim dan tidak fasik. Kemudian kenormalannya, berarti dia masuk dalam katagori kufu’,
jika dia bebas dari aib yang bisa menjadi standar lahirnya khiyar. Jadi dua komponen inilah
yang menunjukkan ukuran validitas kafa’ah dalam pandangan Malikiyah. Bahkan
jika pertimbangan ini kita tekankan pada realitas sosial semata, maka sangat bijak seandainya
seorang konglomerat menikahi seorang melarat, sebab
justru disana terdapat keseimbangan. Dan proses itulah sebenarnya yang menjadi
kebutuhan kita dalam kondisi seperti ini. Sedang komponen-komponen lainnya,
semacam nasab, profesi, dan lainnya bukan berarti dieliminasi (disingkirkan), Cuma kebutuhan akutnya begitu menuntut
dua komponen diatas. Sebab pada hakikatnya Islam sangat mendambakan sebuah kesetaraan cara antara prinsip vertikal dan horizontal, bukan semata “amanu”,
akan tetapi juga “wa’amilus shalihah”.
Allah berfirman : Barang siapa melakukan amal shalih, baik pria maupun
wanita dalam keadaan dia beriman, maka pasti akan kami hidupkan dia dengan
kehidupan yang baik. ( QS. 16 : 97)
(Dikutip dari
Buletin Tanwirul Afkar, Ma’had Aly, Situbondo, Edisi 15, 7 Nov. 1997)
0 komentar:
Posting Komentar