HUKUM NIKAH SIRRI
I.
Pendahuluan
Problematika Seputar Nikah Sirri
Dalam UU Pernikahan Tahun 1974, pernikahan semestinya dilakukan secara
sederhana, namun realitasnya menjadi rumit dan penuh liku-liku. Banyak upacara
yang harus dilakukan. Termasuk pencatatan. Dari situlah kemudian muncul istilah
nikah sirri.
Nikah adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang
sebelumnya haram, dengan sarana pernikahan berubah drastis menjadi halal.
Implikasinya pun besar dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan
sebuah tatanan masyarakat, karena keluarga adalah pilar penyokong kehidupan
masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dipastikan
bangunan masyarakat yang diwujudkannya akan kokoh dan baik. Oleh karena itu,
Nabi menganjurkan betul umatnya untuk menikah. Sabda beliau: Nikahlah dan perbanyak anak. Karena Aku bisa
membanggakan diri di hadapan umat-umat lain, kelak di hari kiamat.
Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga,
pernikahan memiliki makna strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam
konteks ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi
pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan.
Undang-Undang No. I Tahun 1974 adalah bentuk konkrit pengaturan Negara soal
pernikahan.
Di pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tahun 1974 tertera: Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Ketentuan ini lebih
lanjut diperjelas dalam BAB II Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 yang
intinya, sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum di hadapan
undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh
pegawai pencatat perkawinan yang ditentukan oleh Undang-undang. Aturan inilah
yang akhir-akhir ini menimbulkan istilah yang disebut sebagai: Nikah
Sirri atau Nikah Di Bawah Tangan.
Aturan pencatatan nikah ini sebenarnya memiliki tujuan yang bagus. Namun,
ketika di hadapkan dengan kenyataan, sering megalami kesenjangan. Banyak
pernikahan yang oleh karena alasan-alasan tertentu tidak dicatatkan sebagaimana
yang dituntut oleh undang-undang. Bisa jadi karena alasan ketidakmampuan untuk
membiayai mengurus pencatatan. Atau karena suami-istri belum siap hidup
sebagaimana normalnya orang berkeluarga, sementara tuntutan pengabsahan
(ketidakharaman) berhubungan mendesak untuk dilakukan, seperti kasus yang
dihadapi oleh suami istri yang masih belajar di pesantren atau kuliah. Atau
karena Undang-undang sendiri tidak mengizinkannya, seperti masa lalu ketika
para pegawai yang kawin tidak boleh lebih dari satu. Dan banyak alsan-alasn lain.
Ini semua menjadikan pernikahan berlangsung tanpa dicatatkan, sebagaimana yang
dimaui undang-undang. Kemudian pernikahan model ini disebut sebagai nikah sirri.
II.
Pengertian dan Hukum Nikah
Sirri
Dalam mendefinisikan nikah sirri para ulama beselisih pendapat. Menurut
Yahya bin Yahya (ulama dari kalangan Malikiyah), nikah sirri adalah:
ان لا يشهد فيه شاهدان قبل الدخول
Nikah yang tidak dipersaksikan oleh
dua orang saksi sebelum digauli (dhukul) (Al Khurosy Ala Mukhtashar sayyidil Khalil, II, 194).
Lain lagi dengan Al Baji, beliau mendefinisikan:
ان اتفق الزوجان والولى على كتمه, ولم يَعْلموا البينة بذالك
Nikah yang terjadi, dimana suami
istri dan wali sepakat menyembunyikan pernikahan itu dan tidak
mempersaksikannya (mengekspos) (Syarhus shaghir, II, 382)
Sedangkan Wahbah Azzukhaili menulis:
وهو الذى يوصى فيه الزوج الشهود بكتمه عن امراته او عن جماعة ولو اهلَ
منزلٍ
Suami berpesan kepada saksi agar
nikahnya tidak diberitahukan kepada istrinya atau kepada orang lain, walaupun
keluarganya sendiri
(Wahbah Azzukhaili, VII, 71)
Dari sini, sebenarnya yang dimaksud oleh fiqh dengan nikah sirri adalah
pernikahan yang disembunyikan dari pengetahuan khalayak ramai. Paling banter,
yang mengetahui pernikahan itu hanya empat pihak: suami, wali, saksi dan istri.
Orang lain tidak tahu. Dan memang keempat pihak ini (atau kurang) bersepakat
untuk menyembunyikan pernikahan itu. Sehingga dengan demikian, sebuah
pernikahan yang diketahui oleh lebih dari empat pihak ini, meskipun tidak
dicatat oleh petugas pencatat nikah, tidak bisa dikatakan Nikah Sirri dalam terminologi
fiqh.
Selanjutnya, ulama juga berselisih pendapat memandang; apakah nikah sirri
(dalam pengertian fiqh) itu sah atau tidak. Menurut Malikiyah, nikah sirri
tidak sah (batal) karena ia termasuk karakteristik zina (min aushafiz zina).
Tetapi menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah, nikah sirri dipandang sah. Sedangkan
menurut Hanabilah hukum nikah sirri adalah makruh. (Al Fiqh Al Islamy, VII, 71,
Minahul Jalil Ala Syarhi Mukhtasharil Khalil, III, 301, Al Mizanul Kubro, II,
111)
Meskipun Malikiyah memandang nikah sirri sebagai pernikahan yang tidak
sah, tetapi jika nikah sirri dilakukan karena takut terhadap orang dzolim atau
qhadi (hakim, undang-undang) maka dalam hal semacam ini, Malaikiyah pun
memandang bahwa nikah sirri boleh-boleh saja dilakukan.
ان نكاح السر هو ما اوصى فيه الزوج الشهود بكتمه اذا لم يكن الكتم
خوفا من ظالم او قاض والا فلا يضرُّ
Sesungguhnya nikah sirri adalah nikah
yang di situ, suami berpesan kepada para saksi untuk tidak mengekspose
pernikahan. Ini jika penyembunyian itu tidak dilakukan karena takut kepada
orang dzalim atau qadli, tetapi, jika itu dilakukan karena takut kepada orang
dzalim atau qadli, tidak apa-apa nikah sirri dilakukan. (Al Khurasyi Ala Mukhtashar
Sayyidil Khalil, II, 194)
III.
Kesimpulan
Dalam konteks Indonesia, nikah sirri yang dipahami, sebenarnya bukanlah
yang dimaksudkan oleh fiqh dengan nikah sirri. Karena kebanyakan orang melihat
bahwa nikah sirrri itu, adalah nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah
memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang. Dan nikah
seperti ini, dalam hukum Islam sah-sah saja. Sehingga sebagai akibatnya, segala
hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah yang sah, boleh dilakukan oleh
suami istri.
Dengan begitu, kekhawatiran sebagian kalangan yang menganggap bahwa
pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah dan batal, terbantahkan dan
terjawab oleh penjelasan ini.
Persoalan berikutnya
adalah, bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala
tidak ada satu hal yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga, dalam
kondisi ikhtiyari (normal), pasangan suami istri sebaiknya mengikuti segala
aturan Undang-undang, tetapi ketika ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan
dengan tanpa dicatatkan, dan justru maslahatnya lebih besar, boleh-boleh saja
pernikahan semacam ini (dengan tidak dicatatkan) dilakukan. Dan memang, tidak
cukup alasan fiqh untuk melarang, apalagi mentidaksahkan pernikahan ini. (Dikutip dari Buletin Tanwirul Afkar, Lembar Mingguan Ma’had Aly
Situbondo, Jawa Timur, Edisi 9, 26 September 1997)
0 komentar:
Posting Komentar