SERTIFIKASI,
KOCOK ULANG!
Oleh:
Ahmad Lahmudin
Guru
Honorer di Bekasi
Surat dari Anak-Anakmu di Sekolah
Bapak-Ibu guru..
Kami dengar engkau bertapa di Padepokan-Padepokan tersohor negeri ini; IPU, JNU, NIU..
Bapak-Ibu guru..
Kami dengar engkau terkena penyakit kronis sehingga harus meninggalkan kami untuk sekedar bertemu..
Bapak-Ibu guru..
Kami dengar engkau diberi pil Parto kena Polio sehingga engkau harus terbang ke negeri antah berantah mencari Suripikat tanpa malu-malu..
Bapak-Ibu guru..
Kami dengar engkau kembali diberi Pil PG oleh maha guru sehingga hilang dalam sembilan hari penyakit darimu..
Bapak-Ibu guru..
Kami dengar penyakitmu tak kunjung sembuh. Kini kembali engkau diberi pil PPG. Tubuhmu mengejang, merintih oleh sebab obat baru..
Bapak-Ibu guru..
Salam teruntuk maha guru..
Kami yang lebih tahu perihal obat penyakitmu..
Engkau hanya butuh kredit murah rumah guru..
Engkau hanya butuh beras murah teruntuk guru..
Hanya itu..
19 Desember 2012
Puisi di
atas penulis tulis saat mengikuti program sertifikasi. Sebagai luapan gundah
hati merasakan carut marut pendidikan di negeri ini.
Berawal
dari UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 yang mengamanatkan program sertifikasi
sebagai salah satu upaya mengurai problem pendidikan nasional terutama yang ada
di tenaga pendidik. Namun belakangan banyak suara sumbang dari berbagai pihak,
sebab tidak ditemukan korelasi yang meyakinkan antara lulusan sertifikasi
dengan peningkatan kinerjanya, hanya sebatas sedikit peningkatan kesejahteraan
bagi guru honorer.
Wajar
bila harus ada kocok ulang terkait program sertifikasi, bukan untuk menghapus
tapi mengembalikannya ke rel tujuan awal. Pertama, persoalan data base calon
peserta sertifikasi yang akan mengikuti pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk. Para guru sering kali di buat putus asa
menunggu kapan pemanggilan giliran. Nama di suatu saat muncul, di lain
kesempatan hilang dan kembali harus mengulang mengirim pemberkasan. Belum lagi
kualifikasi akademik yang terkesan abu-abu. Tes kompetensi yang hanya bersiat
formalitas. Sampai kepada indikator kelulusan yang kurang transparan. Terlebih
ada dua lembaga, Kemendikbud dan Kemenag yang sama-sama mengelola data guru
menambah semrawut program sertifikasi.
Kedua,
konten materi pembelajaran di LPTK. Kesan wajah proyek lebih menonjol
ditampilkan oleh lembaga pendidik ketimbang kesan serius mengelola pembelajaran
program sertifikasi. Pendekatan personal ke tiap-tiap peserta, baik budaya
maupun sosial meski terlebih dahulu dikedepankan sehingga materi pembelajaran
tidak melangit tapi membumi. Dosen pendidik sudah semestinya fokus mengajar
peserta didik dengan melepas jadual di luar LPTK. Jangan hanya guru yang
idealnya mengajar di satu tempat, dosen di LPTK pun mestinya demikian. Praktek
mengajar bagi peserta didik mestinya dibuat silang, bagi guru yang berasal dari
wilayah perkotaan ditempatkan di sekolah-sekolah terpencil, sebaliknya bagi
guru yang berasal dari daerah terpencil ditempatkan di sekolah-sekolah
perkotaan. Tujuannya agar tercipta kompetensi kepribadian dan sosail bagi
peserta didik.
Ketiga,
ini yang tak kalah penting, yaitu pengawasan pasca berada kembali di sekolah.
Bentuk pengawasan bagi guru bersertifikasi saat ini boleh dibilang minim, baik
meliputi kehadiran, jam mengajar, maupun kewajiban yang lainnya. Pengawas
selama ini lebih banyak menunggu tidak menjemput bola dengan datang langsung ke
sekolah, mengecek data riil setiap guru yang bersertifikat.
Ada
baiknya pencairan uang sertifikasi bagi guru honorer dilakukan tiap bulan dan
langsung ke rekening penerima tidak lagi parkir di tiap-tiap kabupaten. Selain
ada kepastian pengelolaan keuangan bagi guru honorer juga meminimalisir pungli
yang dilakukan oleh oknum tertentu.
Demikianlah,
mudah-mudahan program sertifikasi tidak malah menambah keruwetan persoalan
pendidikan nasional. Memang harus dikocok ulang bukan untuk menghapus tapi
pembenahan dari hilir ke hulu. Semua pihak yang terkait dengan pendidikan harus
menyingsingkan lengan baju, rela berpeluh keringat untuk memperbaikinya. Jangan
tunggu esok, tapi mulailah hari ini. Agar ketika matahari tertib di ufuk timur
akan lahir guru yang profesional, punya kompetensi pedagogik, berkepribadian,
dan berjiwa sosial tinggi. Bukankah siswa yang unggul, berkepribadian yang baik
lahir dari guru yang baik pula? Semoga..
0 komentar:
Posting Komentar