|
Penghujung tahun
1990. Kampung Tambun Jaya di ujung utara kabupaten Bekasi. Ke arah utara,
kurang lebih tiga kilometer, terdapat pasar Bojong, tempat pertemuan penjual
dan pembeli untuk satu wilayah kecamatan Tarumajaya. Lebih ke utara lagi akan
sampai ke ujung laut pulau Jawa. Di sini akan dijumpai satu monumen sejarah masyarakat
Betawi yang kian terkikis, bukan hanya oleh deraan ombak laut, di sisi lain
ritual pembangunan untuk program industri siap menggilas keberadaan rumah si
Pitung, tokoh Robin Hoodnya masyarakat kecil suku Betawi tempo doele. Dari
kampung Tambun Jaya ke arah barat akan ditemukan pembatas wilayah DKI Jakarta. Ke
arah selatan, berdampingan langsung dengan batas wilayah kecamatan Medan
Satria, kota Bekasi. Bila
ingin terus menelusuri ke arah selatan akan sampai ke kabupaten Bogor. Sementara bila terus ke arah timur akan
bertemu dengan kecamatan Babelan. Kemudian kecamatan Tambun Utara. Setelah itu
kecamatan Cibitung. Berlanjut ke Cikarang Utara. Lalu masuk ke Cikarang Timur. Sampailah
ke kabupaten Karawang.
Masyarakat
Tambun Jaya baru mengenal dunia luar sekitar tahun 80-an. Saat itu pertama kali
tiang-tiang listrik dipancangkan untuk mengaliri listrik ke rumah-rumah
penduduk. Hanya dua kepala keluarga ketika itu yang mampu memiliki televisi,
itupun berwarna hitam putih. Tempat para orang tua, remaja dan anak-anak
berkumpul saat ada pertandingan olah raga kelas dunia, seperti sepak bola
maupun tinju. Meskipun menjadi pembatas wilayah kota Jakarta, untuk mencapainya
dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kurang lebih lima kilometer untuk dapat
menaiki mobil angkutan kota yang menuju terminal Pulo Gadung. Ojek menjadi
satu-satunya sarana yang dapat dipergunakan untuk keluar masuknya kampung. Mobil
kendaraan pribadi yang memasuki kampung ini sering menjadi tontonan menarik
bagi anak-anak. Terlebih bila musim hujan tiba beberapa pemuda sengaja berdiri
di pinggir jalan untuk membantu mendorong mobil-mobil pribadi yang terjebak
lumpur jalan tak beraspal. Lumayan untuk sekedar membeli rokok hasil pemberian
pemilik mobil. Pohon-pohon besar berdiri
kokoh di sepanjang jalan perkampungan. Pohon kelapa berbaris di pinggir kampung. Menjadi pembatas antara tempat perkampungan penduduk dengan
lahan pertanian. Air jernih mengalir di sepanjang sungai-sungai kecil yang
berada di luar kampung. Selain berfungsi sebagai tempat irigasi, sungai-sungai
ini sebagai tempat penampung air hujan untuk dialirkan ke sungai besar yang
membentang dari utara ke selatan menuju laut. Debit air di sungai meluap pada
musim hujan sebab tidak dapat menampung kiriman air yang berasal dari kota
Bekasi dari satu sisi dan dari arah barat mengalir tumpahan air asal kota
Jakarta.
Banjir saat
musim hujan menjadi rutinitas tahunan. Tanggul yang menjadi pembatas pinggiran
sungai tidak dapat menahan luapan air. Empang tempat ternak ikan lele maupun
gurame yang berada di tengah-tengah perkampungan telah dikelilingi jaring
pengaman oleh pemiliknya. Namun demikian tidak sedikit ikan-ikan tersebut
keluar dari empang memasuki halaman-halaman rumah penduduk untuk kemudian
menjadi ajang buruan oleh warga sekitarnya. Tidak ada yang aneh ketika air
menggenangi rumah para warga. Aktivitas warga berjalan seperti biasa. Kegiatan
mencuci pakaian oleh para ibu dan remaja putri beralih dari sungai kecil di
ujung kampung ke halaman-halaman rumah. Penyakit sebab kutu air biasanya
menjangkit. Tapi itu dianggap biasa. Tidak membuat aktivitas warga terganggu. Tidak ada keluh. Tidak juga resah.
Senyum gembira mengembang dari bibir para warganya, baik kecil, remaja, maupun
yang tua. Musim hujan tidak ubahnya seperti musim kemarau. Bila musim kemarau
tiba adalah saat memanen padi. Maka musim hujan adalah saat memanen ikan-ikan
yang berada di sungai-sungai yang berada di luar kampung. Balai desa menjadi alternatif
bagi warga yang rumahnya tidak dapat ditempati sebab banjir. Tidak ada tenda
penampung. Tidak ada posko tempat setiap makanan datang dari luar kampung.
Tidak ada mantri kesehatan yang datang menjenguk. Mereka menyatu akrab dengan
keadaan. Setelah subuh para laki-laki dan wanita dewasa keluar rumah menuju
pinggir-pinggir sungai yang berada di pinggir kampung. Bagi para lelaki mereka
membawa perlengkapan alat penangkap ikan seperti jala dan umbing. Sedangkan
para wanitanya biasanya membawa tanggok dan anco. Mereka berada di pinggir
sungai hingga senja menjelang. Tidak jarang dilanjutkan sampai larut malam.
Berlimpah ikan-ikan yang diperoleh. Selain untuk dimakan sendiri, tidak jarang ikan-ikan
tersebut dijual kepada orang luar kampung. Kegembiraan musim hujan juga
dirasakan anak-anak kampung. Sungai yang mencapai kedalaman tiga meter menjadi
tempat bermain mereka. Senyum, tawa dan canda berbaur dengan tubuh bugil mereka
di sungai. Tidak ada rasa takut oleh kedalaman sungai. Tidak ada rasa khawatir
dari para orang tua. Karena mereka yakin bahwa sungai akan menjaga anak-anak
mereka. Sebagian anak-anak pergi ke pematang-pematang sawah yang tertutup air.
Mereka menangkap burung dengan jangkrik sebagai umpannya. Lapangan sepak bola
yang pada musim kemarau dijadikan ajang pertandingan sepak bola antar kampung.
Pada musim hujan biasanya terendam oleh air dan dijadikan tempat mencari ikan
oleh para warga.
Saat musim
hujan berlalu. Tiba waktu menanam bibit padi. Beberapa sungai menjadi alat
transportasi membawa bibit-bibit padi dari satu tempat ke tempat yang lain. Para
lelaki terlihat sibuk membajak sawah, mengairi air, dan memperbaiki setiap
galengan. Sementara para wanitanya sibuk menanam bibit-bibit padi. Selesai menanam bibit padi para wanita
tersebut kembali untuk meneruskan pekerjaan rumahnya. Sementara yang lelaki
tetap berada di pematang sawah hingga waktu senja.
Beberapa
bulan kemudian hamparan tanah menghijau sepanjang mata memandang. Warna hijau
juga menghiasi tanggul yang membentang mengikuti arus sungai. Di sini tumbuh
berbagai macam pohon. Menjadi habitat berbagai macam burung untuk dapat
berkembang biak. Ikut meramaikan suasana dengan berbagai corak lagu yang
didendangkan. Menyumbangkan lagu untuk para petani di siang hari. Dan hanya
menatap bisu melihat segerombolan tikus yang keluar dari sarangnya menuju
pematang-pematang sawah di malam hari.
Padi mulai
menguning. Senyum mengembang dari bibir-bibir para petani. Musim panen akan
segera tiba. Burung-burung sawah ikut gembira beterbangan di atas sumpah
serapah para petani. Pria dan wanita dewasa tumpah ruah menuju sawah yang siap
dipanen. Kini tiba saat untuk mengumpulkan padi di lumbung-lumbung yang mulai
kosong diambil saat musim hujan lalu. Perahu-perahu merapat di pinggir-pinggir
sungai untuk mengangkut padi yang berada di hulu sungai. Sepanjang pinggir
jalan sudah tampak bos-bos gabah, pengepul hasil panen para petani. Mereka
berdiri bersama mobil yang siap mengangkut hasil panen yang dijual oleh para
petani karena ada kebutuhan yang mendesak. Hasil pembelian dari para petani
mereka jual kembali kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi.
Padi hasil
panen dibawa ke rumah masing-masing. Bagi petani penggarap terlebih dahulu
dibagi untuk pemilik lahan. Ketika matahari pagi muncul, mereka keluarkan
padi-padi tersebut dari dalam rumah untuk dikeringkan di halaman rumah atau di
pinggir-pinggir jalan. Di sore hari, kembali mereka kumpulkan ke dalam rumah.
Begitulah sampai beberapa hari. Sampai padi benar-benar sudah kering dan siap
digiling. Hasil panen sebagian disimpan untuk persediaan makan sehari-hari,
sebagian dijual untuk menutupi biaya sekolah anak-anak mereka. Alam menjadi
anugerah. Karena ia didekati untuk menjadi sahabat manusia.
Ikatan
emosional warga kampung teramat erat. Ketika seorang warga sakit maka tetangga
rumah yang terdekat yang lebih dahulu mengetahui dan memberi pertolongan
pertama. Setiap kali ada aroma lezat masakan yang tercium maka sudah dapat
dipastikan akan disusul dengan kedatangan semangkok makanan lezat dari tetangga
sebelah rumah. Baik buruk tingkah laku seseorang akan menjadi buah bibir warga
sekampung. Sejuta pujian bagi sebuah keluarga bila salah satu anggota
keluarganya dapat menjadi orang sukses. Sebaliknya, cap hina akan diberikan
bagi sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya ada yang melanggar
norma-norma adat dan agama. Sikap gotong royong tampak pada setiap kegiatan
seperti pada acara pesta perkawinan. Para lelaki mencari bambu untuk membuat
tempat pesta. Sedangkan perempuannya saling membantu memasak segala macam
makanan. Ketika ada seorang warga yang ingin membangun rumah, banyak warga ikut
membantu menaikkan genting hingga selesai. Begitu juga saat salah seorang warga
mengkhitankan anaknya, maka sudah pasti seluruh ibu-ibu kampung datang untuk berbagi
suka cita.
Setiap
malam minggu para pemuda berkunjung ke rumah remaja putri. Tidak ada acara
pergi bersama. Keduanya biasanya hanya berbincang-bincang melepas rasa rindu.
Bila tiba waktu untuk melepas masa lajang, pihak dari keluarga lelaki datang ke
pihak perempuan untuk melamar. Baru di kemudian hari ditentukan hari
pernikahan. Setelah itu pesta perkawinan digelar. Anak-anak ramai bermain
permainan benteng, petak umpat serta galasin. Pagi harinya mereka sudah
berkumpul di tanah lapang. Mereka melakukan beberapa permainan. Ada yang
bermain kelereng, permainan gambar, tok kadal, maupun panggal. Yang
perempuannya asyik bermain sasa, yaitu permainan melompat dengan menggunakan
tali yang dibuat dari karet gelang. Di sore harinya, semua berkumpul di lapangan
sepak bola di pinggir kampung untuk menyaksikan pertandingan sepak bola antar
kampung.
Saat musim
panen telah berakhir merupakan saat gembira bagi Yazid dan sebagian anak yang ada di kampungnya.
Karena tidak terlalu membuat mereka sibuk untuk menjaga hewan ternak mereka
dari tanaman padi milik para petani.
“Yazid,
cepatlah bangun!” Baru saja tubuhnya disandarkan di bangku ruang tamu. Baju
sekolah masih dikenakannya. Segera ia bangun menuju ruang tengah tempat biasa
ibunya menyiapkan makan siang.
“Ibu, tadi
aku dipanggil Bu Zubaidah. Katanya salam buat Ibu. Dia bertanya tentang kabar
Ibu!” Tangan kanannya mengambil segelas air putih untuk melancarkan masuknya
nasi dari tenggorokannya.
“Ibu
Zubaidah adalah teman sekelas Ibu di sekolahmu dahulu. Dia teman paling akrab
Ibu di sekolah. Dia dahulu sering berkunjung ke rumah kita ini. Ibu pun
demikian, sering berkunjung ke rumahnya. Bila hari libur Ibu sering menginap di
rumahnya. Kedua orang tuanya sangat baik kepada Ibu. Di kampungnya, mereka
termasuk keluarga terpandang. Hingga sekolah selesai, ia melanjutkan sekolahnya
ke pondok pesantren di Tasikmalaya. Ibu bertemu terakhir kali ketika dia hadir
di pesta perkawinan Ibu dan ayahmu”.
Nasi yang
hampir masuk ke mulut Yazid terhenti. Kata-kata ayah dari mulut ibunya
membuatnya sejenak terdiam. Matanya menerawang jauh menembus pintu luar rumah.
Entah apa yang terbersit di benaknya. Seperti menyimpan sejuta pertanyaan di
balik wajah polosnya. Bertanya tentang separuh sayapnya yang hilang. Pergi
bersama sejuta asa yang ikut bersamanya.
“Yazid…!”.
“Ibu…!”
Suara ibunya membuyarkan lamunannya.
“Yazid, Ibu
tahu engkau pasti sedang membayangkan almarhum ayahmu. Ibu dapat memahami bila
engkau belum bisa menerima kenyataan hidup tanpa kehadiran seorang ayah.”
“Aku minta
maaf Bu, bila kembali telah mengusik bayangan masa lalu Ibu. Entah sudah berapa
kali Ibu cerita tentang ayah. Kisah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Akulah
serpihan masa lalu Ibu yang hilang. Ah, andai saja serpihan-serpihan itu tetap
utuh. Alangkah bahagianya hidup kita!”.
Keduanya
hanya diam. Suasana hening sesaat. Masing-masing mencoba menapaki masa lalu.
Meraba kenangan yang hilang. Tidak lama berselang Yazid telah masuk dalam
pelukan ibunya. Lembut belaian tangan sang bunda menyapa rambut kepalanya. Bila
sudah demikian, sebutir air jernih keluar dari kelopak mata ibunya. Menyesal
rasa hati Yazid sebab telah membuat ibunya kembali bersedih mengingat masa
lalu.
“Selesaikan
makanmu. Hari semakin siang!”.
Selesai
mengganti pakaian sekolah. Yazid menuju samping rumah, tempat beberapa ekor
kambing miliknya yang terdengar saling bersahutan sudah tidak sabar ingin
keluar dari kandang. Dia telusuri jalan kampung. Sebentar mengikuti arah laju
kambing-kambingnya. Sesaat kemudian ia harus mendahului kambing-kambingnya
untuk menjaga agar tidak memasuki halaman rumah penduduk yang dipergunakan
untuk menjemur padi. Tidak jarang makian diarahkan kepadanya ketika
moncong-moncong kambingnya menyentuh padi yang dijemur sepanjang perjalanan.
Beberapa
saat kemudian sampailah Yazid di hamparan luas seperti tak berujung. Serempak
kambing-kambing Yazid berhamburan mengais rumput-rumput di pematang sawah. Ada
beberapa anak pengembala teman sekampung Yazid yang telah lebih dahulu sampai. Topi
lusuh menjadi tempat berteduh dari terik sinar mentari.
“Yazid, ayo
ke sini!!!” Asep memanggil ketika mengetahui kehadiran Yazid.
“Kita akan
buat tempat berteduh dari terik sinar matahari!”.
Keduanya
memanfaatkan ilalang serta sisa-sisa batang padi dari sawah yang bekas dipanen
untuk dibuat tempat berteduh. Lumayan untuk ditempati. Meski hawa panas tetap memasuki tempat keduanya.
Dari sini para pengembala biasanya sedikit dapat istirahat sambil mengamati
keberadaan kambing-kambing mereka yang berada di kejauhan. Irama lagu dangdut
mengalun dari radio kecil yang dibawa Asep.
“Asep, aku
harus menghampiri kambingku yang sudah tampak semakin jauh!” Yazid bergegas
keluar meninggalkan Asep. Dia telusuri jalan setapak di pinggir sungai menuju
arah selatan. Katak-katak kecil berlompatan ke arah sungai sebab terusik oleh
langkah Yazid. Katak-katak inilah yang sering dicari sebagai umpan untuk
meneger, yaitu memancing ikan dengan katak kecil sebagai umpannya. Belalang
ikut melompat dari satu batang rumput ke batang rumput yang lain ketika
tersentuh kaki Yazid. Terlihat para capung beterbangan dari pohon-pohon kecil
yang berada di pinggir-pinggir sungai. Seperti ingin mengajak bermain
bergembira makhluk isi sungai. Burung-burung sawah juga tidak ketinggalan,
terlihat mengais sisa-sisa padi di pematang sawah.
Alam punya
keteraturannya tersendiri. Berjalan sesuai ekosistemnya. Saling mengisi antara
yang satu dengan yang lainnya. Nyanyian burung sawah terkait dengan
berlimpahnya makanan teruntuknya. Sorak ikan di sungai sebagai tanda syukurnya
atas kejernihan air tempatnya tinggal. Lompatan katak di sisi-sisi sungai adalah
rasa riangnya tinggal di hamparan rumput yang hijau. Ular, tikus, dan binatang
sawah lainnya tampak genit dengan sesekali memperlihatkan tubuh mereka kepada
manusia.
Sebagian
besar hari-hari Yazid lebih banyak dihabiskan di pematang sawah. Di sini
senyumnya mengembang. Tubuhnya menyatu dengan air. Berbaur dengan
binatang-binatang sungai. Bernyanyi bersama burung-burung di atas pohon Lontorogung.
Panas terik mentari beserta guyuran air musim hujan menjadi teman setia.
Kulitnya terbakar saat musim kemarau. Tubuhnya sering menggigil kedinginan saat
musim hujan tiba. Setelah usai sekolah, Yazid melepas puluhan ekor kambing dari
kandangnya. Dan kembali setelah senja tiba. Ujung Monas yang tampak di kejauhan
saat udara di sebelah barat cerah menjadi hiburan tersendiri ketika penat.
Ada suka
yang kerap bisa dirasakan oleh Yazid, yaitu di saat hewan peliharaannya ada
yang melahirkan, saat banyak ikan yang diperoleh dari kubangan sawah yang baru
selesai dipanen, saat melihat burung-burung sawah yang terkena jaring
penangkap, saat memperoleh telur dari bebek-bebek yang dilepas di
pematang-pematang sawah. Dari bola mata indahnya terkadang mengalir air mata
sesal sebab kematian kambingnya atau hilang terbawa arus sungai.
Hari telah
masuk senja ketika Yazid kembali ke rumah. Anak-anak di kampungnya terlihat
ceria sambil berlarian menuju masjid. Di pundak mereka tersangkil sebuah
kantung berisi kitab suci al-Qur’an. Di masjid tempat Yazid dan teman-temannya
mengaji kepada seorang ustadz. Ia baru dapat istirahat setelah usai mengaji.
Tidak lama kemudian tubuhnya terbaring di atas tempat tidur. Rasa lelah membuat
matanya cepat terpejam tidur. Ibunya menaruh selimut ke tubuh Yazid. Dia
pandang wajah Yazid. Tubuh kecil dengan
beban berat yang harus dipikulnya. Wajah tampan tertutupi debu jalan. Jemari
mungil tampak keras tersinari matahari. Telapak kaki pecah menghitam menginjak
panas rongga tanah. Saat adzan shubuh berkumandang, Yazid sudah terbangun dari
tidurnya, pergi ke masjid dan kembali mengaji. Setelah itu bersiap-siap pergi
ke sekolah.
Begitulah
Yazid kecil, menghabiskan masa kesehariannya dengan peluh keringat sebagai anak
desa yang mempunyai impian untuk meraih masa depan yang lebih ceria.
|
Suara adzan
ashar terdengar mengalun terbawa angin sore. Mengalir melewati dahan pohon di
pinggir sawah yang telah habis dipanen. Yazid segera mengambil air wudlu di
selokan kecil yang menyisakan sedikit air sebab musim kemarau. Di atas tumpukan
jerami, di bawah rindang pohon Lontorogung, Yazid mengangkat tangan, bertakbir,
mulai menunaikan shalat ashar.
Baru saja
shalat ashar ditunaikan. Tiba-tiba salah seorang dari teman Yazid berteriak.
“Hai,
sungai di pinggir kampung dituba!”
Serempak
mereka semua berlari menuju sungai besar yang airnya menyusut mengering sebab
musim kemarau yang telah lama berlangsung. Biasanya hampir semua orang di kampung
keluar membawa berbagai macam alat penangkap ikan. Kesempatan ini jarang
terjadi. Hanya sekali dalam setahun saat musim kemarau. Bersama-sama turun ke
sungai menangkap ikan yang mabuk sebab diobati. Ikan-ikan berukuran kecil dapat
diambil oleh penduduk. Sedangkan ikan-ikan yang besar diambil oleh pemodal yang
membeli obat untuk membuat ikan mabuk. Mereka menyusuri sungai sampai jauh
meninggalkan kampung.
“Ayo Yazid
kita mencari ikan. Biarkan kambing-kambing kita disini.!”
Bergegas
Yazid dan kawan-kawannya meninggalkan kambing-kambing mereka yang sedang asyik
memakan rumput di pematang sawah.
Penduduk
kampung sudah banyak yang datang. Ada yang langsung turun ke sungai. Ada pula
yang hanya berada di pinggir sungai. Menunggu ikan merapat ke pinggir untuk
selanjutnya ditangkap dengan menggunakan tanggok.
Boleh
dibilang ini adalah pesta rakyat. Tua-kecil, pria-wanita, bersama bergembira
mencari ikan-ikan yang berenang kian kemari, berlompatan sebab pengaruh obat
yang memabukkan. Terkadang
tawa berderai di saat ada ikan besar yang luput ditangkap. Tidak jarang bukan
ikan yang diperoleh tapi ular. Mereka semua mengikuti arus sungai. Sampai
hilang pengaruh obat sebab kedalaman sungai dan jauhnya jarak dari tempat
semula.
Rasanya
sudah cukup ikan-ikan yang diperoleh. Dengan kantong plastik sebagai tempat
menaruh ikan. Dinaiki tanggul sebagai pembatas sisi pinggir sungai. Basah kuyup
seluruh pakaian yang dikenakan. Lumpur membalut telapak kaki hingga betisnya.
Hatinya bergembira sebab ibunya pasti senang dengan ikan-ikan yang
diperolehnya.
“Yazid,
waktu hampir maghrib!!! Segera kita menuju kambing-kambing kita!”
Yazid
tersentak kaget. Tidak terasa waktu menjelang maghrib. Saat kambing-kambing
semestinya sudah kembali ke kandangnya.
Mereka
berlari menyusuri tanggul. Kurang lebih satu kilo meter jarak yang ditempuh.
Sampailah mereka di pematang sawah. Tempat kambing-kambing mereka berada. Semua
tampak sibuk mengumpulkan kambing-kambingnya untuk kemudian digiring menuju
kampung. Hanya Yazid yang tampak kebingungan mencari kambing-kambingnya yang
sebelumnya berada satu tempat dengan kambing milik teman-temannya.
“Yazid,
sebaiknya kita pulang bersama. Mungkin kambingmu telah lebih dahulu kembali!”
“Tidak! Aku
ingin mencari kambingku dahulu di sekitar sini. Sebaiknya kalian pulang lebih
dahulu!”
Ditinggalkan
Yazid menyendiri dalam kebingungan. Suara adzan maghrib menggema lewat corong
masjid dan mushola-mushola di pelosok kampung. Yazid berusaha mencari
kambing-kambingnya ditempat lain yang kemungkinan dapat dijumpai.
Aminah, ibu
Yazid, baru saja menyelesaikan shalat maghrib. Dia heran mengapa Yazid belum
juga pulang. Biasanya selesai maghrib Yazid telah berangkat mengaji di masjid.
Aminah mencoba keluar rumah untuk bertanya kepada teman-teman Yazid yang
kemungkinan sudah sampai ke rumah.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum
salam!”
“Mpok, ada Asep?”
Tanya Aminah.
“Ada tuh di
dalam lagi makan. Emang ada apa?”
“Yazid
belum pulang. Mungkin Asep tahu keberadaannya!”
Dipanggil
Asep untuk menemui Aminah.
“Tadi
memang bersama saya mencari ikan. Meninggalkan kambing-kambing di pematang
sawah. Sekembalinya, hanya Yazid yang keberadaan kambingnya tidak diketahui.
Dia saya ajak untuk pulang. Tapi ia tidak mau. Katanya ingin mencari kambingnya
terlebih dahulu. Bi, apakah kambingnya telah pulang lebih dahulu?”
“Belum ada.
Tapi sudahlah. Asep, kamu bisa antar Bibi ke tempat Yazid mencari kambingnya?”
“Bisa Bi.
Sebentar saya cuci tangan dulu!”
Asep masuk
kembali ke rumah. Sesaat kemudian keluar sambil mengikatkan sarung di pinggangnya.
Kopiah hitam juga dipakainya.
Mereka
menyusuri jalan kampung. Beberapa tetangga mencoba bertanya maksud kepergian
Aminah. Setelah keluar dari kampung. Mereka berdua menuju sawah di mana Yazid
sebelumnya berada.
Asep
sedikit terkejut sebab tidak ditemukannya Yazid di tempat terakhir ia bersamanya.
“Tadi di
sini Bi! Bersama saya dan teman-teman yang lainnya!”
“Lantas
kemana perginya Yazid?”
“Mungkin ia
takut dimarahi Bibi!”
“Ke tempat
mana lagi biasa kalian mengembala?”
“Kita coba
ke pinggir jalan yang menuju kampung sebelah!”
Aminah
gelisah bercampur khawatir. Bukan sebab kambing-kambing miliknya yang hilang.
Tapi dikarenakan keberadaan Yazid yang belum dijumpai.
Hari
beranjak gelap. Keduanya
berjalan di pematang-pematang sawah. Sesekali kaki Aminah terjerembab, masuk ke
sela-sela tanah yang menganga sebab musim kering. Suara adzan isya telah
berkumandang. Menyatu dalam dering jangkrik sawah. Tikus-tikus berlarian
mencoba mencari peruntungan di malam hari. Si pemalu, burung Puyuh, terkadang
juga melintas di hadapan mereka.
Keduanya
sampai di pinggir jalan yang menghubungkan desa Tambun Jaya dengan kampung sebelah.
Hanya sesekali kendaraan sepeda motor melintasi jalan. Lengang dan sunyi tanpa
ada penerang jalan. Nyala lampu tampak di ujung kedua kampung.
“Bi, ada
baiknya kita menuju Sawung. Tempat biasa kami beristirahat!”
Jalan
berdebu. Sisi kanan kiri terbentang lahan sawah yang bekas dipanen. Sisi kanan jalan terselip sungai kecil,
tempat irigasi saat musim hujan datang. Di kejauhan, di ujung pertigaan jalan,
tampak berdiri Sawung, sebuah bangunan tanpa dinding beratapkan asbes, tempat
para pejalan kaki atau pengendara sepeda motor istirahat sejenak dari terik
panasnya matahari dan guyuran air di musim hujan.
Keduanya berjalan
mendekat sawung. Terlihat dengan samar sebuah bayangan manusia. Alangkah
terkejutnya Aminah ketika mengetahui bayangan tersebut adalah Yazid yang duduk
sambil tangannya memegang ujung kaki. Mukanya tertunduk. Tubuhnya mengigil
kedinginan.
“Yazid!!!”
Aminah memanggil sambil mendekat.
“Ibu!”
Wajahnya dipalingkan ketika suara Aminah terdengar memanggil.
Dia peluk
tubuh Yazid dengan pakaian yang masih teramat basah. Air matanya membasahi pipi
tanda haru melihat kondisi putranya.
“Sudahlah
Yazid, tidaklah mengapa jikalau kambing tidak ada. Yang terpenting jiwamu
selamat. Esok subuh kita bisa cari kembali!”
“Yazid
minta ma’af Bu!”
“Ya,
sekarang kita pulang!” Dituntun tangan kiri Yazid. Sementara tangan kanan masih menggenggam kantong
plastik berisi ikan hasil tangkapannya.
Adzan subuh
telah berkumandang. Terdengar suara khas engkong Syarif dari pengeras suara
memanggil para warga kampung yang masih terlelap dalam tidurnya. Kakek yang
telah lanjut usia ini tidak pernah luput mengingatkan para warga setengah jam sebelum
waktu shalat subuh. Tidak ada satupun warga yang merasa terganggu. Sebaliknya
banyak warga terutama para ibu terbantu untuk memulai aktivitas kesehariannya.
Terutama Aminah yang sejak jam tiga dini hari sudah harus bangun untuk memasak
bahan dagangannya. Suara engkong Syarif seperti menjadi teman sepi saat
memasak. Sekali saja engkong Syarif tidak terdengar membangunkan warga, esok harinya
pasti sudah menjadi pembicaraan warga.
Dibangunkan
Yazid dari tempat tidurnya.
“Yazid,
bangun, sudah subuh!”
Segera
Yazid bangkit dari tempat tidurnya. Diambil sarung dan kopiah. Tidak lupa
kantung berisi Al-qur’an disangkil di bahu kirinya.
“Ibu, selepas
mengaji, aku akan mencari kambing-kambing kita bersama Asep!”
“Ia, tapi
hati-hati!” Ucapannya terdengar dari dapur, tempatnya berkutat dengan barang
dagangannya yang mesti disiapkan sejak pagi hari.
Ustadz
Jamal masih setia duduk bersila di pojok masjid. Mengajar mengaji dengan
bermodalkan lekar. Tempat kurang lebih lima puluh anak-anak kampung belajar
kepadanya. Tidak ada hari libur. Tidak ada kewajiban bayar bulanan. Beberapa
kilo gram padi biasanya dihadiahkan kepadanya saat musim panen. Bagi anak yang
telah mencapai tingkat al-Qur’an akan langsung berhadapan dengan ustadz Jamal.
Sedangkan yang masih pada tingkat juz amma diajarkan oleh anak yang usianya
lebih dewasa yang telah lancar membaca al-Qur’an. Yazid sengaja lebih dahulu
membaca agar segera dapat langsung mencari kambingnya yang hilang. Dirinya
merasa sangat bersalah kepada ibunya.
Hampir dua
jam telah berlalu. Dari
kejauhan terdengar panggilan Yazid.
“Ibu ..!!!”
Aminah
mencoba keluar rumah. Meninggalkan
sebentar pembeli lauk pauk yang tampak heran dengan apa yang sedang terjadi.
“Yazid, ada
apa?” Tanya Aminah ketika Yazid mendekat
“Aku telah
menemukan kambing-kambing kita Bu!” Dia tunjukkan jari telunjuk kanannya ke arah
kambing-kambing yang digiring oleh Asep.
“Al-hamdulillah,
di mana keberadaannya?”
“Di sawah.
Di balik rimbunan batang padi yang rusak tidak dipanen!”
Aminah
tersenyum. Yazid teramat bahagia. Bagi mereka, kambing-kambing tersebut adalah
simpanan yang dapat dijual saat ada kebutuhan yang mendesak.
“Cepatlah
engkau mandi. Lalu sarapan. Jangan sampai terlambat sekolah!” Segera Yazid
menuju kamar mandi. Bersiap untuk pergi ke sekolah.
|
Aktivitas
warga telah dimulai. Para ibu dan remaja putri terlihat membawa bak dengan isi
pakaian yang telah dicuci di sungai kecil, di ujung kampung. Sementara para
suami menenteng pacul, ada juga arit, ke luar kampung untuk merapikan
sawah-sawah mereka dari rumput liar yang mengganggu. Ada yang megoper alih
sementara lahan yang baru dipanen untuk ditanami buah mentimun atau semangka.
Sambil menanti musim hujan untuk kembali memulai masa menanam bibit padi. Hanya
beberapa orang saja, lelaki dewasa yang keluar kampung, dengan sepeda bekerja
di perusahaan-perusahaan di Jakarta. Anak-anak usia sekolah juga telah
berangkat dari rumahnya masing-masing. Yang terdekat adalah sekolah dasar
negeri. Berada di dalam kampung. Berdampingan dengan kantor kelurahan. Ada
sekolah madrasah ibtidaiyah yang berlokasi di kampung sebelah. Untuk sekolah
tingkat pertama dan sekolah menengah atas berada di luar kampung, kurang lebih
berjarak enam kilo meter. Anak kampung yang sekolah ke luar harus berjalan
kaki. Yang punya kelebihan uang bisa dengan sepeda.
“Aminah
..!” Suara seorang wanita memanggil Aminah yang sedang berada di dapur.
“Oh, Ibu
Sa’diyah, mau beli lauk?” Tanya Aminah seraya mendekat.
“Tidak
Aminah. Saya datang kemari
karena ingin membicarakan sesuatu!”
“Ada apa
yah .., mari masuk Bu!”
Dipersilahkan
Sa’diyah masuk ke ruang tengah. Segelas air putih diambil dari dalam dapur.
“Sudah
Aminah, tidak usah repot-repot. Saya hanya ingin bicara denganmu. Ini penting!”
Aminah
mengerutkan dahinya. Bertanya dalam hati. Apa maksud kedatangan wanita yang
termasuk dihormati di kampungnya itu. Dia dekati tempat duduknya dengan tempat
duduk Sa’diyah.
“Aminah,
ma’af sebelumnya bila maksud tujuan saya ini nanti menyinggung perasaanmu!”
Hati Aminah
mulai gelisah. Berita apa yang akan disampaikan Sa’diyah?
“Begini
Aminah. Tapi saya mohon sebelumnya jika apa yang akan saya sampaikan janganlah
sampai orang lain tahu. Biarlah hanya saya dan kamu yang mengetahuinya!”
Sa’diyah
diam sejenak. Kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Aminah,
kamu tahu kan, abang saya ustadz Jamal telah lama menduda. Anaknya yang
terakhir perempuan telah menikah. Kini ia tinggal sendiri di rumah mengurus
segala keperluannya sendiri. Sebenarnya telah lama perasaannya terhadap kamu
disimpannya sendiri. Dia ingin menjadikan kamu sebagai pengganti almarhumah
istrinya. Dia melihat kamu wanita yang baik!”
Aminah
terkejut mendengar ucapan Sa’diyah. Memang bukan sekali ini saja ada lelaki
yang ingin mempersunting dirinya. Beberapa orang laki-laki malah ada yang
terang-terangan meminta dirinya untuk dijadikan istri. Bukan hanya para lelaki
yang telah beristri, banyak pula lelaki yang masih lajang tertarik akan
kecantikan dirinya. Janda kembang. Begitu kerap kali para lelaki
menyebut-nyebut dirinya.
“Aminah,
ada baiknya kamu pertimbangkan keinginan ustadz Jamal. Insya Allah dia bisa
menjadi pendampingmu yang baik!”
Aminah
hanya terdiam. Seakan bingung untuk menanggapinya. Tidak terbersit di dalam
hatinya bila ustadz Jamal punya perasaan cinta kepada dirinya. Ada perbedaan
usia sekitar dua puluh tahun antara dirinya dan ustadz Jamal. Anak perempuan
tertuanya adalah teman semasa kecilnya. Memang sedikit ada ganjalan dalam
dirinya selama ini. Pada pengajian mingguan para ibu-ibu kampung yang dibina
oleh ustadz Jamal. Pernah sekali pandangan ustadz Jamal, entah disengaja atau
tidak, mengarah kepadanya. Itu mungkin
yang membuat tingkah ustadz Jamal sedikit aneh ketika ada perjumpaan yang tidak
disengaja antara dirinya dan ustadz Jamal. Perlakuan kepada Yazid pun seperti
tidak wajar. Ada perhatian yang berlebih dari ustadz Jamal kepada Yazid saat
mengajar.
“Bu
Sa’diyah, saya minta ma’af karena tidak dapat menjawab apa yang menjadi maksud
tujuan ustadz Jamal untuk saat ini. Berikan saya waktu untuk dapat merenung,
mempertimbangkan yang terbaik bagi saya dan anak saya, Yazid!”
“Saya
berharap janganlah terlalu lama engkau memberi keputusan!”
“Bila lama
dapat membuat saya bahagia. Bukankah itu lebih baik? Kematian suami saya sudah
tujuh tahun lamanya. Tapi terasa baru kemarin saya berpisah dengannya. Saya
berharap hati ini bisa mencair, menerima kehadiran orang lain selain mantan
suami saya!”
“Baiklah
Aminah. Saya bisa memaklumi. Saya hanya penyambung lidah dari ustadz Jamal. Nanti saya akan sampaikan
apa yang menjadi keputusanmu!”
Matahari
telah bergeser tepat berada di atas ubun-ubun. Yazid baru saja tiba dari
sekolah. Dilahap makanan yang disediakan Aminah. Setelah itu pergi shalat zuhur
di masjid. Tidak berapa lama kemudian beberapa ekor kambing berhamburan keluar
dari kandangnya. Seperti hari biasanya. Aktivitas Yazid berjalan mengikuti arah
bandul jarum jam.
“Assalamu’alaikum!”
Suara seseorang terdengar dari luar rumah.
“Walaikum
salam. Oh, Bang Maralih. Silahkan
masuk! Mau makan?”
“Iya,
seperti biasa. Sayur pucung gabus. Sambal kacangnya yang banyak yah.. !?”
Aminah
membuatkan satu porsi makan teruntuk pelanggan setianya. Minimal sekali dalam seminggu Maralih datang ke
warung makan Aminah. Dia berasal dari kampung Taruna, sebelah timur kampung
Tambun Jaya. Meskipun berasal dari luar kampung, hampir semua warga kampung
Tambun Jaya mengenal dirinya. Dia dikenal dengan sebutan mandor. Dirinya
dipercaya mengurus ratusan hektar sawah milik pengembang perumahan real estate.
Darinya banyak warga menggantungkan hidup dengan meminta izin menyewa sawah
untuk digarap. Kepadanya pula para makelar tanah berhubungan untuk menjual
tanah warga kepada pihak pengembang. Uang hasil sewa serta komisi dari hasil
penjualan tanah itulah yang membuat dirinya menjadi salah satu orang terpandang
di kampungnya.
“Apakah
benar, Bang Maralih ingin mencalonkan diri menjadi lurah?” Tanya Aminah berbasa
basi sambil menaruh sepiring nasi dan semangkok sayur pucung ikan gabus.
“Kamu tahu
dari mana?”
“Iya,
orang-orang kampung sini banyak yang membicarakan soal itu!”
“Itu memang
benar. Sebulan yang lalu di kediamanku, secara resmi diumumkan tentang
pencalonanku sebagai kepala desa. Aku undang warga kampungku serta para tokoh
masyarakat tetangga kampung. Banyak yang hadir. Seminggu lagi rencananya aku
akan sosialisasi di kampung ini. Tempatnya di rumah Marudih, adikku yang
menikah dengan orang sini. Untuk acara makan makannya aku akan memesan sayur
pucungmu!”
Aminah
terdiam mendengar ucapan Maralih. Bukannya tidak senang dengan acara yang nanti
diadakan oleh Maralih. Karena itu berarti pemasukan yang tidak terduga baginya.
Hanya saja dirinya khawatir dari warga kampungnya yang menganggap dirinya malah
mendukung calon dari luar kampung sendiri.
“Aminah,
kenapa engkau termenung?”
“Oh, tidak Bang.
Aku hanya berpikir bagaimana cara mengumpulkan ikan-ikan gabus sebanyak itu?”
Aminah berusaha memberi alasan yang logis agar tidak tampak kegalauan hatinya.
“Engkau
tidak perlu khawatir, nanti anak buahku dapat membantu untuk mencari ikan yang
engkau butuhkan!”
“Kalau
demikian terima kasih Bang!”
Keringat
tampak membasahi mukanya. Rasa pedas tidak membuat dirinya berhenti
menghabiskan dua piring nasi dan semangkok sayur pucung ikan gabus. Badannya yang tinggi besar dengan kumis
tebal menambah garang penampilannya. Wajahnya sesaat menoleh ke arah kanan.
Sebentar kemudian pandangannya diarahkan ke arah kiri. Setelah yakin tidak ada
orang di sekitarnya, Maralih mengarahkan pandangannya ke arah Aminah.
“Aminah…!”
Aminah yang
sedang sibuk meracik bumbu masakan menoleh ke arah Maralih.
“Ini, aku
ingin bayar!”
Aminah
mendekat. Terlihat Maralih mengeluarkan beberapa lembar uang. Setelah Aminah
mendekat.
“Aminah,
sebelum aku pergi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu!”
Tubuh
Aminah mematung. Dadanya berdetak. Khawatir bila Maralih berbuat yang
tidak-tidak terhadap dirinya. Bila itu terjadi maka dirinya siap untuk
berteriak sekencang mungkin.
“Aminah,
aku berjanji setelah pemilihan kepala desa nanti, aku akan melamarmu!”
Dirinya
tidak menduga dengan apa yang baru didengarnya. Baru tadi pagi ada sesorang
datang hendak memperistri dirinya. Kini datang lelaki lain yang punya keinginan
sama. Bedanya yang pertama tidak mempunyai ikatan suami istri. Sedangkan yang
kedua memiliki istri. Menikah dengan lelaki yang telah berisitri?. Itu tidak
mungkin! Dirinya berjanji untuk tidak akan menikah dengan seseorang yang telah
mempunyai istri. Sesulit apapun keadaannya, dia tidak akan menyerahkan dirinya.
Sekaya apapun orang yang melamarnya, dia tidak akan menerimanya. Dirinya
terpaku menatap beberapa lembar uang pemberian Maralih. Dia ingin mengembalikan
kelebihan uang yang diberikan. Belum sempat dirinya mengembalikan sisa uang.
Tubuh Maralih sudah menghilang dari hadapannya.
Aminah
duduk menyendiri. Hatinya masih gelisah memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Perihal keinginan ustadz Jamal memperistri dirinya. Dan Maralih yang ingin
menjadikan dirinya istri keduanya. Dirinya telah bertekad tidak akan menerima
Maralih sebagai pengganti almarhum suaminya. Tapi bagaimana caranya?. Apakah
Maralih dapat menerima keputusannya dengan lapang dada. Bagaimana dengan ustadz
Jamal? Bila sebelumnya banyak juga lelaki yang mengharapkan dirinya melepas
masa janda. Itu baginya sebatas angin lalu. Yazid telah menjadi pelipur
hari-hari sepi tanpa suami. Hidupnya sudah terasa bahagia meskipun hanya
bersama seorang anak. Sebab kecintaannya kepada almarhum suami membuatnya tetap
seperti itu. Kini hatinya bimbang. Bila menerima. Apa jaminan untuk kebahagiaan
Yazid. Adakah rasa cinta dirinya terhadap ustadz Jamal? Ataukah sebatas rasa
sungkan terhadap seseorang yang bukan saja telah menjadi guru baginya tapi juga
bagi anaknya. Menolak? Bagaimana caranya. Apakah benar hatinya telah tertutup
kepada semua lelaki? Apakah tidak dosa kepada dirinya sendiri yang secara
naluriah butuh kasih sayang dari seorang lelaki yang kelak akan menjadi
suaminya? Tetap bertahan
dengan kondisi seperti ini. Bahagia menyendiri dengan Yazid. Atau menerima
lamaran ustadz Jamal. Berspekulasi, akan ada bahagia yang ia akan dapatkan.
Bukan semata-mata bagi dirinya. Namun teruntuk Yazidnya. Belahan jiwanya.
|
Menjelang Ramadhan suasana
kampung terlihat berbeda. Semua warga bersiap-siap menyambut datangnya bulan
suci. Nyala lampu di masjid diganti dengan yang lebih terang. Suara bedug sudah
mulai terdengar bertalu-talu. Malam awal bulan Ramadhan pengunjung masjid meluber sampai ke halaman masjid.
Para orang tua, remaja,
anak-anak, lelaki maupun perempuan menyatu meramaikan shalat taraweh. Orang tua
dan remaja tidak kunjung balik ke rumah. Mereka tetap berada di masjid untuk
tadarusan, membaca al-Qur’an sampai larut malam. Sedangkan anak-anak kampung ramai berlarian,
bermain dengan petasan dan kembang api. Suasana malam meriah sepanjang bulan
Ramadhan. Jam tiga dinihari suasana kampung sudah kembali ramai dengan suara
pengeras suara, mengajak ibu rumah tangga dan remaja putri untuk bangun
mempersiapkan makan sahur. Sementara anak-anak keliling kampung berteriak
sambil menabuh bedug di sepanjang jalan.
Suasana gembira datangnya bulan
Ramadhan menyisakan kegelisahan di hati sebagian warga kampung Tambun Jaya.
Karena Ramadhan tahun ini beriringan dengan pelaksanaan pemilihan kepala desa
atau Pilkades. Tepat satu bulan setelah hari raya Idul fitri akan dilaksanakan
Pilkades. Wajar bila situasi sedikit memanas. Masing-masing calon kepala desa
satu tahun sebelumnya sudah mulai mengumpulkan masa. Berbagai cara ditempuh
untuk memikat hati warga. Setiap even perayaan hari- hari besar dijadikan lahan
untuk pengenalan diri. Terjadi simbiosis mutualis. Saling menguntungkan.
Penyelenggara mendapatkan sumbangan. Calon kepala desa dapat memperkenalkan
diri. Setiap malam rumah kepala desa ramai didatangi warga masyarakat, baik
yang simpati maupun yang cuma sekedar mencari gratisan rokok dan kopi. Saudara
jauh didekati untuk mendulang suara. Warga desa terbelah sesuai dengan dukungan
masing-masing. Fanatisme terhadap calon kepala desa menyebabkan tensi suhu
konflik antar warga meningkat. Sedikit masalah dapat menjadi besar.
Bulan Ramadhan bukan berarti
waktu istirahat bagi Aminah. Meski selama Ramadhan warung nasinya tutup, namun
dia tetap menerima pesanan untuk acara-acara tertentu. Selagi tidak ada
pesanan, dia membawa kue Cina yang diproduksi oleh salah seorang warga kampung.
Kue yang hanya ada menjelang lebaran ini ia beli untuk kemudian ia jual kembali
kepada pelanggan setianya di luar kampung. Tempat asal almarhum suaminya lahir
menjadi lahan bisnis kuenya. Bersama istri Abdurahman ia menawarkan kuenya ke
tetangga sekitarnya. Keuntungannya lumayan untuk tambahan membeli kue lebaran
dan pakaian baru untuk Yazid dan dirinya.
“Ibu, tadi di masjid setelah
shalat taraweh aku mendengar pembicaraan orang-orang tentang Ibu!” Yazid
mengambil segelas es teh manis dari meja makan sisa buka puasa sore tadi.
“Apa yang mereka bicarakan?”
Tanya Aminah.
“Mereka mengatakan bahwa Ibu
sebagai penghianat kampung kita. Karena Ibu berpihak kepada calon kepala desa dari
luar kampung!”
“Yazid, kita ini penjual yang
wajib melayani setiap pembeli, siapapun dia dan dari manapun asalnya. Ibu tidak
bermaksud mendukung calon dari luar kampung bila ada yang lebh baik dari
kampung kita ini!”
“Apakah benar untuk acara buka
puasa bersama di rumah kediaman pak Marudih minggu depan, Ibu yang mengurus
makannya?”
“Iya, pak Marudih atas
perintah pak Maralih memesan kepada Ibu kurang lebih lima puluh porsi. Uangnya
sudah diserahkan ke Ibu, tinggal Ibu belanjakan nanti!”.
“Katanya banyak ibu-ibu
pengajian ikut-ikutan marah ke Ibu. Pasalnya calon dari kampung kita ini pak
Syarkawi adalah suami dari ibu Sa’diyah, adik kandung ustadz Jamal. Di
pengajian aku juga sering menjadi sumber pembicaraan. Sebagai anak yang ibunya
malah mendukung calon dari luar kampungnya sendiri!”
“Ibu secara pribadi sudah
bertemu dengan ibu Sa’diyah. Ibu jelaskan posisi Ibu. Sepertinya beliau sangat
memahami apa yang Ibu lakukan!”
“Oh iya Bu, kapan kita beli
baju baru?”
“Hari minggu pagi saja. Sekalian Ibu belanja untuk keperluan
pesanan buka puasa bersama!”
Minggu pagi. Aminah dan Yazid
telah bersiap berangkat menuju pasar Bojong. Perjalanan kurang lebih setengah kilo meter menuju
ke arah timur. Setelah itu dilanjutkan dengan menaiki mobil angkot menuju ke
arah utara. Kemudian sampailah keduanya di pasar Bojong, pasar tertua yang
berada di kecamatan Tarumajaya. Letak pasar persis di pinggir sisi kanan-kiri
jalan yang menuju arah kantor kecamatan Tarumajaya. Semua keinginan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat dijumpai di pasar ini. Pasar tradisional ini
satu-satunya pasar terbesar yang berada di satu wilayah kecamatan. Sebenarnya
ada juga pasar rakyat di kecamatan Babelan, tapi letaknya jauh ke arah timur.
Bila ingin lebih lengkap lagi maka dapat mendatangi pasar Bekasi kearah jalan
raya menuju selatan.
Jam menunjukkan pukul sepuluh.
Keringat membasahi pakaian Yazid. Kerumunan orang yang berjubel menambah panas
suasana pasar.
“Yazid, bila engkau merasa
tidak kuat sebaiknya batalkan puasamu!”
“Tidak Bu. Suasana seperti ini
sudah biasa bagiku!”
“Jika begitu marilah kita
lanjutkan untuk mencari pakaian lebaran untukmu. Semua keperluan untuk pesanan
acara buka puasa telah lengkap!”
Keduanya keluar dari tempat khusus
yang menjual segala kebutuhann bumbu masak yang berada di belakang pasar.
Penjual berbagai macam pakaian lebaran memang banyak terdapat di muka pasar, di
pinggir-pinggir jalan raya.
“Yazid, pilihlah baju dan
celana yang engkau suka. Setelah ini kita beli sepatu untukmu. Sepatumu sudah
rusak. Sudah waktunya diganti!”
“Aminah…!!!”
Suara itu membuat Aminah
berpaling. Dibiarkan Yazid sibuk memilih pakaian yang sesuai dengannya.
“Bang Maralih..?”
Maralih tampak berdiri di
antara kerumunan orang yang sibuk berbelanja untuk kebutuhan lebaran.
“Sedang berbelanja pakaian,
Aminah?” Tanya Maralih sambil mendekat ke tempat Aminah.
“Iya Bang, sedang membelikan
pakaian lebaran untuk Yazid. Sekalian belanja buat keperluan acara Abang nanti!”
“Bagaimana uangnya? Cukup
tidak?”
“Cukup Bang, Bang Marudih
sudah memberikan semuanya kepada saya. Abang sendiri sedang apa di sini?” Tanya
Aminah.
“Anak buahku sedang membeli
ikan bandeng yang akan aku bagikan ke warga. Jadinya aku yang mengantar dengan mobil!”
Maralih tampak diam sejenak.
Pandangannya dialihkan ke sekelilingnya. Ketika Aminah mencoba kembali untuk
menawarkan pakaian yang telah dipilih Yazid. Maralih kembali memanggil Aminah.
“Aminah, boleh bicara
sebentar?”
Aminah terlihat tidak nyaman
karena ada Yazid di dekatnya. Namun panggilan Maralih membuatnya terpaksa
meninggalkan Yazid sebentar. Muka Yazid menampakkan ketidak sukaannya dengan
Maralih.
Aminah minta izin sebentar kepada Yazid untuk
berbicara dengan Maralih. Kurang lebih sepuluh meter dari tempat Yazid memilih
pakaian. Aminah sengaja menjauh agar pembicaraannya dengan Maralih tidak sampai
terdengar oleh Yazid.
“Ada apa Bang?” Tanya Aminah
mendahului pembicaraan.
“Aminah, aku ingin menyambung
pembicaraan kita tempo hari di warungmu sebelum puasa. Aku bertekad melamarmu
setelah pemilihan kepala desa, baik kelak aku yang akan terpilih atau tidak!”
“Maaf Bang Maralih, aku tidak
dapat memenuhi keinginan Abang!”
“Memangnya kenapa? Jujur,
sebenarnya telah lama perasaan ini aku simpan. Bila engkau sudah menjadi istriku,
engkau tidak usah berdagang. Akan aku buatkan rumah yang bagus!”
“Aku minta maaf Bang. Aku
tidak butuh itu semua. Aku merasa amat bahagia dengan keadaanku sekarang!”
“Apakah karena aku telah
beristri?” Maralih berusaha mencari alasan mengapa Aminah tidak ingin menikah
dengannya.
“Aminah, aku akan menceraikan
istriku jika itu yang menjadi keberatanmu!”
“Maaf Bang, aku tidak dapat
hidup bersama lelaki tanpa rasa cinta. Sebaiknya urungkan niat Abang untuk
menikah denganku. Karena aku bertekad untuk kembali menikah dengan lelaki yang
aku mencintainya dengan setulus hati!”
Keduanya terdiam sesaat di
antara suara bising para pembeli dan penjual yang melakukan transaksi.
“Bang, maaf aku harus menemui Yazid!” Aminah beranjak
meninggalkan Maralih yang hanya terdiam menatap kepergian Aminah.
Suara adzan isya berkumandang
lewat corong pengeras suara masjid. Aminah telah kembali dari rumah Marudih,
tempat buka bersama untuk calon kepala desa Maralih. Yazid telah lebih dahulu
berangkat ke masjid. Aminah mengunci pintu, keluar rumah untuk pergi ke masjid.
Melaksanakan shalat taraweh berjamaah bersama dengan warga lainnya. Mereka
dipersatukan dengan ritual ibadah di bulan Ramadhan. Mereka saling bertemu
dalam lipatan amarah dan dengki di dada-dada mereka sebab adanya pemilihan
kepala desa yang berlangsung lima tahun sekali. Pilkades, membawa kemaslahatan
atau kehancuran bagi masyarakat? Atau masyarakat kita yang belum siap untuk
berbeda pendapat? Bulan Ramadhan sebagai bulan rahmat, ampunan dan pembebasan
dari api neraka, tidak dapat menutupi api amarah dari masing-masing kader calon
kepala desa. Segala cara, dari yang halal sampai kepada perbuatan musyrik
dilakukan demi mendapatkan dukungan masyarakat.
Rona kembang api menyeruak di
kegelapan malam. Menyatu dengan derai tawa anak-anak kampung. Warna cet rumah
diganti dengan yang baru. Segala macam kue terpampang di meja tamu. Suara
takbir menggema bersama dengan tabuhan bedug. Pesta kemenangan telah tiba.
Ditandai dengan sorak gembira bagi orang-orang yang mendapat status lulus dari
ujian bulan Ramadhan. Prediket sebagai orang yang tanpa dosa adalah hasilnya. Gembira
dan kecewa terkadang sulit untuk dibedakan. Ini adalah lebaran yang untuk
kesekian kalinya dialami Aminah dan Yazid. Air mata yang keluar dari kelopak
mata Aminah apakah sebagai ungkapan rasa gembira atau kecewa? Gembira sebab
syukur atas apa-apa yang telah diberikan Tuhan teruntuknya. Kecewa karena
separuh hatinya telah hilang, dibawa masa lalu bersama Hasan, almarhum
suaminya. Acap kali hati nuraninya berkata bahwa inilah yang terbaik. Jalan
hidup yang diberikan Tuhan kepadanya. Namun di saat yang lain, keinginannya
bicara lain. Ia ingin Hasan kembali bersamanya, merajut hari-hari yang pernah
dialaminya bersama. Yazidlah yang kemudian menyadarkan Aminah. Yazid adalah
anugerah yang tak terhingga yang Tuhan telah berikan kepadanya. Bila sudah
demikian senyum simpul keluar dari bibirnya. Sambil menatap tubuh Yazid yang
tidur dalam gemerlap takbir malam Idul Fitri.
|
Gegap gempita membahana di sepanjang
jalan. Puluhan mobil membawa ribuan orang yang berteriak menyebut sebuah gambar
buah. Ratusan motor meraung-raung, menambah kebisingan pengeras suara yang
mengajak para warga yang berbaris di sepanjang jalan yang dilewati. Di urutan
paling depan melaju sebuah mobil yang membawa calon kepala desa.
Saat ini sedang berlangsung
proses kampanye dari masing-masing calon kepala desa. Setelah sebelumnya
beberapa proses dalam tahapan pemilihan kepala desa telah dilalui. Dari mulai
proses pendaftaran bagi bakal calon kepala desa. Setelah itu penelitian
kelengkapan berkas dari tiap-tiap bakal calon, terdiri dari surat kesediaan
menjadi calon yang diajukan kepada Bupati bermeterai Rp 6.000, surat pernyataan
setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, surat keterangan tidak pernah
dihukum dari Pengadilan Negeri, surat keterangan tidak dicabut hak pilihnya
dari Kejaksaan Negeri, surat keterangan kesehatan dari RSUD, surat keterangan
dari Polres, foto copy ijazah terakhir, foto copy akte kelahiran, dan foto copy
kartu tanda penduduk.
Setelah penelitian berkas
selesai, ditetapkanlah masing-masing bakal calon menjadi calon kepala desa.
Proses selanjutnya adalah pengundian nomor urut sekaligus tanda gambar bagi
masing-masing calon. Tanda gambar ini meliputi gambar apel bagi nomor urut
pertama, gambar nanas untuk nomor urut kedua, gambar duren untuk nomor urut
ketiga, gambar pisang untuk nomor urut keempat, dan gambar rambutan untuk nomor
urut kelima. Dari sini tahapan berikutnya adalah masa kampanye. Saat inilah
ajang pembuktian pengumpulan masa sebanyak-banyaknya. Waktu kampanye diatur
oleh panitia. Masing-masing calon diberi waktu satu hari. Sejak pagi ribuan
orang sudah berkumpul di rumah calon. Ratusan sepeda motor serta puluhan mobil
yang dipersiapkan untuk yang tidak menggunakan sepeda motor. Bagi calon kepala
desa dirias tidak ubahnya seperti pengantin. Ribuan poster terpampang di
sepanjang jalan. Pawai dimulai dari rumah kediaman calon kepala desa terus
menyusuri jalan-jalan kampung yang ada dalam satu desa. Kurang lebih satu
minggu setelah masa kampanye adalah hari H, yaitu hari pemungutan suara. Di
mana seluruh warga dalam satu desa yang telah berhak memilih berkumpul dalam
satu tempat di lapangan luas. Berdiri panggung tempat para calon duduk
menghadap para pemilih. Sementara beberapa tempat pencoblosan disiapkan tepat
menghadap panggung tempat para calon duduk sambil memegang bendera bergambar
nomor urut.
Paling tidak ada tiga hal yang
sangat terkait, tidak dapat dilepaskan selama berlangsungnya masa pelaksanaan
pemilihan kepala desa. Dan ini menjadi modal keberhasilan seorang calon untuk
menjadi kepala desa. Pertama, uang. Para pemilih sudah dimanjakan minimal satu
tahun sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara. Setiap malam rumah calon ramai
dikunjungi. Mulai dari rokok, kopi dan makan disediakan oleh calon. Kebutuhan
masyarakat, baik untuk kepentingan umum maupun pribadi harus dipenuhi. Biaya
penyelenggaraan Pilkades hampir seluruhnya ditanggung oleh para calon. Hanya
sedikit bantuan dari Pemda setempat. Puncak pengeluaran uang terjadi saat malam
hari H. Bila ada hak pilih dalam satu desa sejumlah tujuh ribu hak pilih, maka
minimal bagi calon kepala desa menyiapkan lima ribu amplop berisi uang yang
harus disebarkan saat menjelang fajar. Uang adalah faktor utama bagi siapapun
yang ingin ikut mencalonkan diri menjadi calon kepala desa. Ratusan juta
rupiah, bahkan sampai satu miliar rupiah uang yang harus disiapkan bagi
masing-masing calon selama berlangsungnya pencalonan.
Faktor kedua, adalah hubungan
keluarga. Ikatan hubungan emosional sebab keluarga menjadi pendukung utama bagi
calon kepala desa. Jalinan keluarga jauh kembali dieratkan. Amarah yang sempat
ada untuk sementara di kesampingkan demi menghadapi keluarga besar lainnya yang
mngusung calon berbeda. Jangan berharap bagi para pendatang tanpa keluarga
besar turut ikut mencalonkan diri sebagai kandidat calon kepala desa. Karena
sudah kalah sebelum berperang. Diambil uangnya tanpa dipilih.
Persoalan ketiga yang
menghiasi hiruk pikuk selama pelaksanaan Pilkades yaitu masalah magic.
Mengundang para dukun untuk ikut serta menjadi tim sukses dari masing-masing
calon. Boleh dibilang tidak ada dari para calon kepala desa yang tidak mengikut
sertakan dukun dalam setiap strategi pemenangan. Perang dukun di dunia supranatural
menjadi realitas yang tidak terbantah. Mulai dukun lokal sampai luar daerah
bersaing menjadi sugesti bagi para calon. Kemenangan dari salah satu calon
menjadi kepala desa akan menyisakan obrolan kehebatan dukun tertentu. Akal
tergadai. Rasionalitas tersingkir. Persaudaraan dan kebersamaan tampak semu.
Tergusur atas nama kepentingan sesaat.
Pasca pencalonan akan
melahirkan luka hati sebab kekalahan. Lama luka itu akan terpendam hingga
menghancurkan budaya adi luhung nenek moyang. Kebersamaan untuk saling menolong
dengan penuh keikhlasan akhirnya runtuh demi ambisi kekuasaan sesaat.
Kali ini disediakan waktu
empat hari bagi para calon kepala desa untuk sosialisasi lewat kampanye. Hari
pertama diisi oleh calon dengan nomor urut tiga bergambar buah duren yang
berasal dari kampung Karang Bahagia. Salah satu kandidat yang diunggulkan
karena hak pilih di kampung tersebut terbesar di antara dua kampung lainnya,
kampung Tambun Jaya dan kampung Taruna. Terlebih calon dari kampung Karang
Bahagia tersebut ini adalah mantan kepala desa periode lalu.
Kampanye hari kedua diisi oleh
calon bergambar buah pisang dengan nomor urut empat berasal dari kampung Tambun
Jaya, yaitu Syarkawi suami dari Sa’diyah, adik ustadz Jamal. Dia juga
diunggulkan karena dukungan mengalir dari keluarga besar ustadz Jamal dan
sebagian besar dukungan berasal dari kampung Karang Bahagia, asal kelahiran
Syarkawi. Hari ketiga diisi oleh calon dengan nomor urut satu bergambar buah
apel. Calon ini berasal dari kampung Tambun Jaya. Banyak kalangan mengatakan
bahwa pencalonan dari nomor urut satu
ini sekedar menggembosi suara Syarkawi. Kampanye terakhir, hari keempat
diisi oleh Maralih, sebagai calon bergambar buah nanas dengan nomor urut dua.
Maralih diunggulkan karena dia satu-satunya calon dari kampung Taruna,
terbanyak kedua hak pilihnya setelah kampung Karang Bahagia. Dia didukung oleh
pihak pengembang yang punya kepentingan untuk memperluas perumahan dan
administrasi yang pasti lebih mudah bila kepala desa terpilih nanti sesuai
dengan pilihannya.
Hari keempat tampak lebih
meriah. Puluhan mobil dan ratusan sepeda motor membawa ribuan orang untuk ikut
dalam kampanye hari terakhir. Dari luar desa pun terlihat banyak yang ikut.
Maralih tampak gagah duduk dalam mobil paling depan. Suara masa terdengar
mengelu-elukan namanya. Telah disiapkan tempat pengisian bensin gratis bagi
kendaraan yang ikut serta. Tidak lupa diberikan juga amplop berisi uang untuk
masing-masing peserta pawai. Selesai pawai para simpatisan dipersilahkan untuk
makan di tempat yang telah ditentukan di masing-masing kampung. Di kampung Tambun Jaya lokasinya bertempat di
warung makan Aminah. Sebenarnya Aminah sudah menolak dengan cara yang halus
tempatnya dijadikan acara makan-makan bagi peserta kampanye pihak Maralih. Tapi
dari tim sukses Maralih memaksanya dengan alasan tidak ada tempat yang lain
selain di warung Aminah. Memang, kecantikan Aminah menjadi daya tarik
tersendiri. Bagi Aminah, situasi seperti ini bagai makan buah simalakama.
Menolak, itu tidak mungkin karena memang profesinya sebagai pedagang. Apa salah
jika ada pembeli? Kebetulan saja pembelinya kali ini dilakukan saat perhelatan
pemilihan kepala desa. Sedangkan jika menerima maka ia siap untuk dicerca
sebagai pendukung salah satu calon. Terlebih kegiatan makan-makannya itu dari
salah satu calon yang berada di luar kampungnya.
Dua hari menjelang hari
pemungutan suara. Suasana tenang tapi mencekam. Aroma benci, amarah, dengki,
dendam, menyatu dalam diri yang terlibat langsung selama proses Pilkades. Semua baliho, spanduk, dan stiker yang
menempel di sepanjang jalan diturunkan. Masa tenang sebelum pelaksanaan
pemungutan suara menyisakan banyak prediksi dan spekulasi. Bagi para petaruh,
inilah saatnya untuk mengatur strategi agar calon yang dipertaruhkannya dapat
menang. Jika calon yang diusungnya menang maka keuntungan puluhan bahkan
ratusan juta rupiah ia akan dapatkan. Strategi yang biasa dilakukan adalah
membayar masa yang telah berhak memilih. Untuk para calon kepala desa, inilah waktunya
untuk menghitung berapa amplop berisi uang yang akan disebar ke masyarakat.
Pilkades bebas uang hanya sebatas slogan. Di lapangan orang dengan mudah
menyaksikan dengan kasat mata terjadinya barter suara dengan uang. Kebersamaan
akan timbul sebab satu dukungan. Kebencian akan terasa sebab beda dukungan.
Satu isu yang ramai
dibicarakan warga kampung Tambun Jaya perihal
kedekatan Aminah dengan kubu Maralih. Dia dianggap sebagai penghianat kampung.
Di tempat pengajian banyak ibu-ibu yang menampakkan wajah sinis. Di setiap
tempat berkumpulnya para lelaki, topik pembicaraannya adalah seputar Aminah,
janda cantik penghianat kampung sendiri. Aminah dapat merasakan suasana kampung
yang teramat memanas, terutama soal dirinya. Suatu ketika datang Sa’diyah
berkunjung ke rumah Aminah.
“Aminah, rumor di luar sana
teramat panas. Saya hanya ingin minta penjelasan darimu sendiri. Bila benar
berita tersebut, maka saya mencoba untuk memahami. Saya mengenal pribadimu
lebih dari yang lainnya. Oleh karenanya sampai saat ini tidak sedikitpun
keinginan saya luntur untuk tetap memintamu kelak menjadi pendamping ustadz
Jamal. Tapi bila rumor itu tidak benar, saya sangat bersyukur. Karena memang
itu tujuan saya ke sini, mengajakmu bergabung untuk membangun kampung kita
ini!”
“Saya telah katakan berulang
kali kepada Ibu bahwa saya masih punya rasa memiliki kampung. Dan saya pasti
akan mencari yang terbaik demi kampung kita ini. Percayalah Bu dengan pilihan saya!”
“Saya tidak ingin engkau
dicemooh oleh warga sini!”
“Memang saya menyadari
kedekatan saya dengan para pendukung bang Maralih banyak yang menyalah artikan.
Padahal tidak lebih dari antara pedagang dan pembeli!”
“Saya berharap itu sebagai
motivasi bagimu untuk segera mengakhiri masa kesendirianmu. Menerima lamaran ustadz
Jamal yang tempo hari saya sampaikan!”.
“Mungkin Ibu benar. Setelah
pemilihan kepala desa Insya Allah saya ambil keputusan!”
“Baiklah Aminah, saya pulang
dahulu. Saya berharap jangan kamu sungkan datang ke rumah saya bila ada sesuatu
yang kamu butuhkan!”
“Terima kasih atas kebaikan
Ibu!”
Hari pemungutan suara telah
tiba. Semua warga yang berhak memilih telah bersiap-siap untuk pergi ke tempat
pemungutan suara dengan membawa bukti surat undangan. Aminah pun demikian. Dia
tutup warungnya untuk hari ini. Semalam, empat dari calon kepala desa
memberikan amplop berisi uang dari tim suksesnya masing-masing. Sulit rasanya
untuk menolak. Namun ia tidak pernah mengucapkan janji di hadapan orang yang telah
memberi amplop kepadanya.
“Yazid, jagalah rumah. Sebelum
dzuhur kemungkinan Ibu telah kembali!”.
Aminah meninggalkan rumah.
Menyusuri jalan menuju tanah lapang tempat pemungutan suara yang berada di luar
kampung. Sepanjang perjalanan, nada sinis terarah kepadanya dari orang-orang
yang sekampung dengannya. Ribuan orang telah berkumpul saling berdesakan masuk
ke pintu tempat pemungutan suara. Empat calon terlihat duduk di atas panggung
tepat menghadap tempat pencoblosan. Puluhan mobil angkot datang dan kembali
mengangkut para pemilih yang berasal dari luar kampung. Gratis disiapkan dari
para calon. Tepat pukul empat sore pemungutan suara usai. Tinggal kini waktu
penghitungan suara.
Hari semakin sore. Suasana
semakin ramai saat panitia mengumumkan dimulainya penghitungan suara. Para
penonton semakin merangseg ke tempat penghitungan suara. Wajah tegang tampak
terlihat. Sorak sorai terdengar dari penonton ketika nomor urut beserta gambar
mulai disebutkan lewat pengeras suara.
Aminah baru saja menanggalkan
mukena. Selesai menunaikan shalat isya. Sementara Yazid terlihat menikmati
makan malamnya setelah selesai mengaji. Tidak tampak di wajahnya hiruk pikuk
keramaian kegiatan Pilkades. Aktivitasnya seperti tidak terganggu. Melepas kambing di siang hari dan kembali
di sore harinya. Aminah memperhatikan Yazid dari tempatnya shalat. Suara
pengeras suara terdengar samar-samar dari tempat penghitungan suara
berlangsung. Tiba-tiba rasa khawatir timbul dalam dirinya. Seperti akan ada
kejadian yang akan menimpa dirinya dan Yazid.
Jam menunjukkan pukul sepuluh.
Yazid telah tertidur. Rasa gelisah menghilangkan rasa kantuk. Suara pengeras
suara masih terdengar di kejauhan. Dia turun dari tempat tidurnya. Diperiksa sekali lagi pintu dan jendela
rumah. Lengang terasa di luar rumah. Sebagian warga telah terlelap dalam
tidurnya. Seperti tidak peduli siapa calon yang akan menang. Hanya para
simpatisan yang terlihat cemas berharap calon yang diusungnya akan menjadi
pemenang dalam pemilihan kali ini.
Jarum jam telah bergeser ke
angka satu. Suasana benar-benar lengang dan mencekam. Suara dari pengeras suara
sudah tidak terdengar lagi. Di tengah keheningan malam terdengar suara petasan
saling bersautan. Sebagai tanda kemenangan. Rasa gelisah semakin mendera
Aminah. Sedikitpun tidak terasa kantuk dalam dirinya. Sebentar duduk kemudian
tidur kembali. Beberapa kali dirinya ke kamar Yazid memastikan keberadaan
Yazid. Dalam keheningan yang mencekam tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar
rumah. Disusul dengan suara keras pecahan kaca depan rumah. Aminah terkejut
sambil berlari menuju kamar Yazid.
“Ibu.., ada apa?” Yazid
terbangun dari tidurnya.. Tangannya
mengusap mata untuk memperjelas apa yang sedang terjadi.
Kali ini suara benda keras
terdengar beberapa kali mengenai pintu serta kaca rumah. Sumpah serapah
terdengar dari luar rumah. Dia peluk Yazid dengan teramat erat.
“Dasar penghianat..!!!”
“Janda tidak tahu diri..!!!”
“Bakar saja rumahnya..!!!”
Yazid menangis ketakutan dalam
pelukan Aminah. Sementara di luar rumah puluhan orang berkumpul sambil melempar
batu ke arah rumah. Satu orang membawa gerigen berisi bensin mendekati rumah.
Bensin telah dituangkan tepat mengenai pintu rumah. Belum sampai api menyulut
bensin. Terdengar teriakan seorang wanita.
“Hentikan..!!!” Sa’diyah
menerobos kerumunan masa yang sudah tidak terkontrol amarahnya.
“Apakah kalian ingin membakar
seseorang yang belum tentu bersalah?
“Saya dapat mengerti
kekecewaan kalian atas kekalahan suami saya. Tapi tolong kedepankan akal sehat
kalian. Jangan terbawa emosi yang akan merugikan kita semua!”
“Tapi Bu, perempuan ini telah
menjadikan rumahnya sebagai tempat pertemuan musuh politik kita. Bukan hanya
sekali, tapi berulang kali!”
“Bila ada rasa kecewa, sayalah
seharusnya yang lebih kecewa daripada kalian semua. Saya lebih tahu tentang
Aminah. Sekarang saya berharap kalian semua bubar kembali kerumah
masing-masing!”
Suara Sa’diyah mampu meredam
amarah masa. Mereka kemudian
membubarkan diri kembali kerumahnya masing-masing. Sa’diyah mencoba membuka
pintu rumah yang terkunci. Dalam rumah terlihat gelap. Beberapa kali ia
berusaha memanggil Aminah. Tidak ada tanggapan dari dalam rumah. Hanya
terdengar tangis suara anak kecil. Dengan dibantu beberapa orang, Sa’diyah
berusaha mendobrak pintu rumah. Ia masuk ke dalam rumah. Kemudian menuju kamar
yang tampak terang oleh nyala lampu. Terlihat Yazid menangis sambil mendekap
ibunya. Aminah pingsan, tidak mampu menyaksikan apa yang sedang terjadi.
|
”Ibu, aku berangkat!” Dicium tangan ibunya.
“Hati-hati di jalan Yazid!”
“Iya Bu!”
Pandangan matanya terus
menatap tubuh Yazid hingga hilang di kejauhan. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh
suara seseorang.
“Aminah!”
“Oh, Ibu Sa’diyah. Mari
masuk!”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Al-Hamdulillah sudah semakin
membaik setelah meminum obat dari dokter. Saya sangat berterima kasih kepada
Ibu. Entah bagaimana keadaan saya dan Yazid bila malam itu tidak ada Ibu!”
“Bersyukurlah kepada Allah.
Pemilihan kepala desa membuat banyak orang gelap mata. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari
perhelatan ini. Kita dapat melihat kesetiaan dan penghianatan!”
“Ibu Sa’diyah, tempo hari saya
berjanji akan memberi keputusan setelah pemilihan kepala desa perihal keinginan
ustadz Jamal lewat lisan Bu Sa’diyah. Saya telah diskusikan hal ini dengan anak
saya, Yazid. Ternyata Yazid menyerahkan masalah ini kepada saya. Dia akan ikut
apa yang menjadi keputusan saya. Setelah saya renungkan dengan mendalam.
Mempertimbangkan baik dan buruknya bagi saya dan Yazid, maka saya putuskan
untuk menerima lamaran ustadz Jamal!”
Sa’diyah terkejut bercampur
gembira. Dia tidak menyangka secepat ini Aminah mengambil keputusan.
“Saya teramat gembira
mendengarnya. Setelah dari sini saya akan kabarkan berita ini ke ustadz Jamal.
Agar secepatnya mempersiapkan keperluan untuk pernikahan kalian. Kami akan
bicarakan tanggal yang terbaik buat pernikahan!”
Segera Sa’diyah beranjak dari
tempat duduknya. Keluar rumah langsung menuju kediaman ustadz Jamal. Aminah
tersenyum melihat tingkah Sa’diyah. Hatinya telah bulat menerima lamaran ustadz
Jamal. Kesendiriannya sering mendatangkan fitnah. Ustadz Jamal terkenal dengan
kesantunan dan kesabarannya. Dia menjadi tokoh panutan warga kampung Tambun
Jaya. Meskipun dalam Pilkades lalu dirinya terpaksa terbawa arus untuk
mendukung pencalonan Syarkawi, suami dari Sa’diyah yang adik kandungnya
sendiri. Usianya terpaut kurang
lebih dua puluh tahun dari usia Aminah. Bagi Aminah itu menjadi nilai lebih
untuk mendapatkan kasih sayang. Bukankah usia menentukan bagi seseorang untuk
bersikap lebih arif mengartikan hidup ini?
Di masyarakat sudah ramai
berita tentang akan terjadinya pernikahan antara ustadz Jamal dengan Aminah.
Pro dan kontra masyarakat menyikapinya. Bagi yang setuju merasa bersyukur sebab
akhirnya ustadz Jamal melepaskan masa dudanya sejak sepeninggal istrinya. Ini berarti dapat menambah motivasinya
untuk terus menjadi polisi moral dalam masyarakat. Menjadi tempat bertanya
tentang baik dan buruk dari sudut agama. Bagi yang tidak setuju mengatakan
bahwa Aminah tidak layak mendapatkan lelaki seperti ustadz Jamal. Persoalannya
dikaitkan dengan masalah politik. Dia wanita yang telah menyakiti keluarga
besar ustadz Jamal dengan bergabung pada kelompok Maralih yang sekarang telah
menjadi kepala desa. Dia sebagai penghianat kampung sendiri.
Tanggal pernikahan telah
ditentukan. Pertemuan antara ustadz Jamal dan Aminah juga telah terjadi. Dalam
pertemuan tersebut Aminah hanya meminta kepada ustadz Jamal agar Yazid
dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Di saat suka cita menyelimuti
keluarga ustadz Jamal. Datang
seseorang dengan membawa beberapa lembar foto. Alangkah terkejutnya ustadz
Jamal melihat gambar yang ada dalam foto-foto tersebut. Terlihat Aminah bersama
Maralih. Hanya berdua dengan jarak yang teramat dekat. Segera ustadz Jamal
mengutus seseorang untuk memanggil Sa’diyah. Sesaat kemudian…
“Sa’diyah, apakah benar apa
yang aku lihat ini?”
“Bang, aku pun mendapatkan
foto-foto seperti ini juga di rumahku. Banyak warga juga yang mendapatkannya.
Aku tidak tahu siapa dibalik semua ini!”
“Sebaiknya engkau pergilah ke
Aminah. Minta penjelasan darinya perihal foto-foto ini!”
“Baiklah, aku akan segera ke
sana!” Sa’diyah bergegas keluar rumah menuju rumah Aminah.
“Ada apa Ibu Sa’diyah?
Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan?”.
“Aminah sebaiknya engkau
jujur. Apakah benar gambar dalam foto-foto ini adalah dirimu bersama lurah Maralih?”
Sa’diyah memperlihatkan foto-foto yang dibawanya kepada Aminah.
Aminah teramat terkejut
melihat foto-foto yang ada di hadapannya. Dia terdiam sesaat. Di situ memang
terlihat jelas gambar dirinya bersama Maralih. Tapi di mana?. Beberapa saat
kemudian dia baru mengingat dirinya pernah melakukan pembicaraan berdua di
pasar Bojong, saat belanja untuk keperluan acara buka bersama untuk para
pendukung Maralih dan sekalian membelikan pakaian lebaran teruntuk Yazid. Aminah
ceritakan sejak awal sampai tiba-tiba muncul Maralih mengajaknya untuk
berbicara. Tidak lama hanya sebentar. Itupun di tengah keramaian orang-orang
yang sedang berbelanja. Ia tidak mengetahui bila ada orang lain yang dengan
sengaja memotret dirinya bersama Maralih.
Aminah terduduk lemas setelah
menceritakan pertemuannya dengan Maralih. Dia menyadari akan kekecewaan dari
keluarga besar ustadz Jamal terkait dengan foto dirinya bersama Maralih. Tapi
itu bukan di sengaja kesalahan dirinya. Mengapa ada saja rintangan saat dirinya
ingin menata hidup baru. Melepas kesendirian demi menjaga fitnah. Kini
kebahagiaan yang sudah di depan mata akankah hilang?
“Saya akan sampaikan
penjelasan dirimu kepada ustadz Jamal. Saya tidak tahu apa tanggapan beliau
nanti terkait dengan rencananya untuk
segera menikah dengan dirimu!” Tidak dapat dipungkiri rasa kecewa dalam raut
wajah Sa’diyah. Perjuangannya selama ini untuk menyatukan Aminah dan ustadz
Jamal terasa ternodai dengan foto-foto Aminah dan Maralih. Bukan ia tidak
percaya dengan penjelasan Aminah. Namun kenyataan di masyarakat yang membuat
dirinya dalam posisi terpojok. Imej jelek terlanjur di alamatkan kepada Aminah.
Hari semakin siang. Yazid
telah kembali dari sekolahnya. Seperti biasa setelah makan dia lepas
kambing-kambingnya. Aminah masih terduduk diam memikirkan perihal foto dirinya
bersama Maralih. Berita foto tersebut telah tersebar dari satu mulut ke mulut
yang lain. Berita miring tentang dirinya telah tersiar di masyarakat. Dikatakan
bahwa Aminah penggoda suami orang. Benar dugaan sebagian masyarakat bahwa
dirinya bersekongkol dengan Maralih untuk menjegal Syarkawi menjadi kepala
desa. Belum habis rasa heran dengan apa yang baru terjadi. Tiba-tiba dirinya
dikejutkan dengan kedatangan wanita paruh baya dengan raut wajah emosi.
“Apakah benar engkau yang
bernama Aminah!!!” Wanita tersebut langsung bertanya ketika melihat Aminah.
“Iya benar, ada apa Bu?”
“Dasar perusak rumah tangga
orang!!!” Wanita itu menunjuk
wajah Aminah.
“Maaf, saya tidak mengerti
maksud Ibu!”
“Engkau tahu, aku ini istri
sah Lurah Maralih. Mengapa engkau goda lelaki yang sudah mempunyai istri?
Apakah tidak ada lelaki lain yang ingin dengan engkau?”
“Bukan saya yang menggoda
suami Ibu!” Aminah mencoba membela diri.
“Sudah salah, beraninya engkau
membela diri!!!” Hampir saja tangannya menjambak tubuh Aminah bila saja dua
lelaki yang bersamanya tidak mencegahnya.
“Awas, bila kudengar sekali
lagi dirimu mencoba menggoda suamiku!!!” Sumpah serapah mengalir lewat bibirnya
ketika dirinya diajak dua lelaki tersebut masuk ke dalam mobil yang diparkir di
pinggir jalan.
Aminah hanya tertunduk. Air
matanya mengalir membasahi pipinya. Mengapa ujian hidup terus menerpa dirinya.
Apakah karena ia seorang janda?.
Malam telah larut. Yazid telah
terlelap dalam tidurnya. Aminah masih duduk di tempat tidurnya. Ada beban berat
yang sedang menggelayut dalam benaknya. Dirinya beranjak dari tempat tidurnya
menuju kamar Yazid. Ditatap wajah Yazid sebentar. Kemudian diambil buku dan
pulpen dari dalam tas Yazid. Setelah itu ia langsung menuju ruang tengah. Dia hidupkan
lampu ruangan. Tangannya mulai merangkai kata dalam selembar kertas.
Teruntuk,
Ustadz
Jamal
Assalamu’alaikum wr. wb
Semoga Ustadz beserta
keluarga besar selalu dalam rahmat Allah swt.
Berat rasa tangan ini untuk
mengungkapkan perasaan di hati. Awalnya saya sudah berketatapan hati dengan
perenungan yang lama untuk menerima Ustadz sebagai pengganti almarhum suami saya.
Menata hidup baru. Merangkai kembali masa indah yang sempat lepas terbawa
bersama kepergian suami tercinta. Rasa bahagia kian dekat. Tapi tiba-tiba badai
besar menghapusnya. Menghanguskan segala asa yang sempat tertoreh. Badai itu
bernama fitnah. Saya yakin Ustadz bersama keluarga besar tidak begitu saja
percaya dengan fitnah tersebut.
Demi kemaslahatan bersama.
Ustadz adalah milik semua orang. Sebagai simbol kebaikan teruntuk masyarakat
kampung sini. Saya tidak ingin sebab saya, Ustadz beserta keluarga besar akan
mendapatkan fitnah yang lebih besar lagi. Oleh karenanya lewat surat ini saya
mengurungkan diri untuk menjadi pendamping Ustadz. Sekali lagi untuk kebaikan
semua.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Aminah
Setetes air mata kembali
jatuh. Bukti ketidakberdayaan atau sebagai protes?
|
Tubuh Yazid
bersandar pada sebuah pohon yang rindang. Hembusan angin menerpa wajahnya.
Sementara matanya sesekali melihat kambing-kambing yang sedang asyik menikmati
rumput yang ada di tengah sawah. Bunyi kicau burung terdengar saling bersahutan
di dahan pohon tepat di atas kepalanya. Matanya hampir terlelap ketika seorang
lelaki tua menghampirinya.
“Yazid …?!”
Ia terkejut oleh suara yang datang tiba-tiba.
“Pak Rusdi?”
“Nak,
pulanglah sebentar!”
“Ada apa
Pak?”
“Tidak ada
apa-apa. Cepatlah pulang, ibumu sedang menunggumu di rumah!”.
Yazid belum
dapat memahami alasan mengapa ia harus segera pulang. Tidak biasanya ibunya
menyuruhnya pulang di saat ia sedang mengembala.
“Biarkan
kambingmu, nanti bapak yang menjaganya!”.
Segera
Yazid meninggalkan pak Rusdi, tetangga sebelah rumahnya. Hatinya gelisah selama
dalam perjalanan pulang. Setengah berlari Yazid meninggalkan hewan-hewan
ternaknya. Menyusuri pematang-pematang sawah. Terkadang terjatuh sebab menginjak
lubang. Menyeberangi sungai-sungai kecil dengan batang-batang kayu sebagai
jembatannya. Beberapa temannya dibiarkan memanggilnya dengan penuh keheranan.
Sesampainya
di rumah ia melihat banyak orang. Suaranya mengeras ketika seseorang yang ada
dalam kerumunan adalah ibunya.
“Ibu …!”
Tangannya menggapai tubuh yang terdiam di atas pembaringan. Pipinya dijatuhkan
ke pipi ibunya. Tiada henti mulutnya mengucap kata ibu. Air mata terus mengalir
membasahi pipinya.
“Sudahlah
nak, ibumu tidak apa-apa. Dia terpeleset jatuh saat berada di kamar mandi.
Sekarang kita harus membawanya ke rumah sakit!” Ujar salah seorang tetangga
mencoba menenangkan Yazid.
Para
tetangga membantu menggotong tubuh sang ibu menuju mobil yang telah disiapkan.
Sementara Yazid mengiringi di belakangnya dengan isak tangis.
Hanya satu
harap dalam benak Yazid, jangan tinggalkan ia sendiri mengarungi hidup ini.
Kemana akan dicari tempat meminta kasih sayang. Yang menaruh selimut di
tubuhnya saat dingin menghinggap. Yang membelainya kala sedih menimpa.
Selama ini
ia hanya bisa mendengar cerita dari ibunya perihal ayahnya. Namanya Hasan.
Kulit tubuhnya putih. Sedikit pendiam. Raut wajahnya tidak jauh berbeda dengan
wajah Yazid. Saat perjumpaan terjadi ibu Yazid termasuk kembang desa. Hasan
adalah seorang karyawan yang tinggal di Jakarta Timur. Bersama dengan teman
sekerjanya ia pergi berlibur untuk memancing ikan di sungai yang ada di sekitar
kampung Tambun Jaya. Saat istirahat mancing ia mampir ke warung makan. Di situlah
awal perjumpaan Hasan dengan Aminah, ibunya Yazid. Saat itu Aminah menjadi
pelayan warung makan milik orang tuanya. Aminah tinggal bersama ibunya yang
telah lanjut usia. Ayahnya meninggal saat Aminah berusia empat belas tahun.
Beberapa kali
Hasan pergi memancing. Tidak pernah terlewatkan untuk mampir ke warung makan
Aminah. Benih cinta kemudian timbul antara Hasan dan Aminah. Tidak lama
berselang, Hasan memberanikan diri melamar Aminah. Mereka kemudian tinggal di
kampung. Sampai akhirnya ajal menjemput ibunya Aminah. Hasan lalu memboyong
Aminah untuk tinggal di Jakarta Timur.
Hasan
adalah seorang pekerja keras. Seorang karyawan yang jujur dan disiplin. Entah
apakah disengaja atau tidak, ia telah menjadi korban kecelakaan mobil saat
sedang melakukan tugas dari perusahaannya. Usia Yazid saat itu belum genap dua
tahun. Ibunya selalu menitikkan air mata ketika menceritakan masa-masa bersama ayahnya.
Kecintaannya pada suami membuatnya belum bisa menerima lelaki lain sebagai
pengganti. Dengan alasan
menutupi kebutuhan hidup, Aminah memutuskan untuk kembali ke kampung. Uang pesangon
dari perusahaan suaminya bekerja, sebagian dipergunakan untuk modal membuka
kembali usaha warung makan yang pernah dirintis kedua orangtuanya. Warung makan
yang ia buka tidak seramai dahulu. Sebab sudah banyak timbul warung baru.
Sebagian dari uang pesangon dibelikan beberapa ekor kambing yang dititipkan
kepada orang lain. Baru setelah Yazid memasuki sekolah dasar, kambing-kambing
tersebut dipelihara sendiri, hingga kini.
Yazid tidak
menduga sakit ibunya akan seperti ini. Seringkali ibunya mengeluh sakit. Tapi
setelah meminum obat yang dibeli dari warung terdekat sakitnya langsung hilang.
Sa’diyah
yang mengurus administrasi rumah sakit. Dirinya merasa punya andil sebab
sakitnya Aminah. Dia seperti telah ikut mengklaim atas kesalahan yang tidak
pernah dilakukan oleh Aminah. Jika saja dia tidak memperdulikan suara-suara miring
yang dialamatkan kepada Aminah dan tidak memberi saran kepada ustadz Jamal
untuk mengurungkan dulu niatnya memperistri Aminah mungkin sakitnya tidak
separah ini. Dia merasakan derita yang teramat berat menimpa ibu dan anak ini.
Seorang ibu yang berusaha tetap tegar mempertahankan hidup demi anaknya. Tetap
menjaga kehormatannya di saat dirinya butuh kasih sayang sorang lelaki.
“Yazid,
tabahkan dirimu. Doakan ibumu agar lekas sembuh. Ibu sudah menyuruh seseorang
pergi ke rumah pamanmu, mengabarkan musibah yang menimpa ibumu!” Dibelai kepala
Yazid dengan tangan kanannya.
“Ibu,
bangun! Jangan tinggalkan Yazid!” Suaranya lirih. Membuat siapapun yang melihat
akan menitikkan air mata. Pakaian lusuh masih ia kenakan. Sendal jepit yang
berlumpur masih dipakainya.
Lima jam
sudah ibunya terbaring di rumah sakit. Belum juga ada tanda-tanda akan
tersadar. Dalam kekalutan yang mendalam, datang pamannya, adik kandung ayahnya
yang selama ini tinggal di Jakarta Timur. Dia peluk erat pamannya. Dia tumpahkan rasa kesedihannya.
“Paman
minta maaf baru bisa datang. Paman terkejut saat seseorang datang mengabarkan musibah yang menimpa ibumu!”.
Maralih
juga sempat datang untuk menjenguk. Diajaknya Abdurahman berbicara. Dia sangat
menyesal dengan apa yang telah dilakukannya selama ini terhadap Aminah. Sebab
kecintaannya kepada Aminah, dia melakukan cara apapun untuk mendapatkannya.
Sampai dia mendengar Aminah ingin dipersunting oleh ustadz Jamal. Dia sengaja
menyebar foto dirinya dengan Aminah yang ia ambil secara diam-diam melalui anak
buahnya sewaktu di pasar Bojong. Sebenarnya foto tersebut ia ingin berikan
kepada Aminah secara baik-baik sebagai bukti cintanya kepada Aminah. Ia pun
berkeinginan menceraikan istrinya demi mendapatkan Aminah. Cinta telah
membutakan dirinya. Dia berjanji jika Aminah sembuh nanti akan meminta
maaf atas kesalahan yang ia telah
perbuat. Sekaligus ingin menyatukan Aminah dengan Ustadz Jamal yang sempat
tertunda sebab berita yang tidak benar tersebut.
Kini
tinggal Yazid beserta Abdurahman dan istrinya, Fatimah yang mendampingi Aminah.
Ketiganya tidak henti menatap wajah Aminah yang diam membisu. Terlebih Yazid,
tidak bergeser dari sisi ibunya. Tangan kecilnya membelai pipi Aminah. Sebentar
kemudian tangannya telah menggenggam tangan kanan Aminah yang dingin. Dia
tempelkan tangan ibunya ke pipinya. Terasa damai merasuk dalam sukma. Kemudian
hening, sunyi menyapa. Tiba-tiba dari kejauhan Yazid melihat bayangan putih.
Alam sekitarnya tampak gelap. Awan hitam pekat menggelantung di atas langit.
Keberadaan kambingnya tidak terlihat sebab gelap yang mencekam. Yazid tertegun
memperhatikan bayangan putih yang semakin mendekat. Matanya tidak berkedip.
Semakin dekat bayangan itu tampak sebagai sesosok manusia. Dia seperti kenal
betul dengan sesosok manusia berpakaian serba putih tersebut.
“Ibu.. !!!”
Suara Yazid memekik, memecah keheningan.
Sesosok
manusia yang tampak seperti ibunya itu berhenti tidak jauh dari tempat Yazid
berdiri. Dia hanya tersenyum melihat Yazid. Perlahan Yazid mencoba untuk
mendekat. Tapi bayangan itu malah menjauh. Yazid berusaha mengejar. Bayangan
itu semakin menjauh meninggalkan Yazid. Ia terhenti. Air matanya mengalir
sambil menatap wajah ibunya yang tersenyum sambil melambaikan tangan. Menjauh
ditelan kegelapan.
“Ibu.. !!!”
“Yazid,
bangun.. !!!” Abdurahman menyentuh pundak Yazid.
Yazid
terbangun dari tidurnya. Kemudian berdiri sambil terus menggenggam tangan kanan
ibunya. Abdurrahman dan Fatimah mendekat, menenangkan hati Yazid.
Malam kini
berganti siang. Harapan untuk melihat ibunya tersadar tidak kunjung datang.
Segala upaya telah dilakukan oleh dokter rumah sakit untuk menyadarkannya.
Setelah
lama menunggu…
“Ibu…!” Ia
melihat bibir wanita yang ada di hadapannya itu bergerak. Serta merta Yazid dan
pamannya mendekat.
“Yazid...!”
Suaranya terdengar pelan. Matanya perlahan sedikit terbuka ketika wajah Yazid
mendekat. Ditatap wajah Yazid dengan penuh arti. Segumpal titik bening keluar
dari kelopak matanya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tapi terasa sulit
suara keluar dari bibirnya.
Wajah Yazid
sedikit sumringah melihat tanda-tanda kehidupan di wajah ibunya. Senyum
mengembang dari bibirnya. Cemas kini berganti dengan harap. Hilang terasa lelah
sebab penantian. Sejuta asa terasa terbentang. Berharap keberuntungan kini
berpihak kepada dirinya. Namun rasa gembira yang baru dirasakannya tiba-tiba
berubah. Sorot mata sang ibu perlahan memudar. Gerak mulutnya terhenti. Diiikuti
oleh iringan nafas yang tersengal. Dan semuanya tidak berlangsung lama. Setelah
itu yang tampak diam seribu bahasa.
Yazid hanya
terpaku menyaksikan itu semua. Tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dan
baru tersadar ketika diberitahu bahwa ibunya telah pergi meninggalkan dia untuk
selama-lamanya. Dia peluk tubuh ibunya. Tangis pilu keluar dari mulutnya. Abdurahman,
sang paman, beserta istrinya hanya bisa menitikkan air mata menyaksikan apa
yang sedang terjadi di hadapannya.
Langit
terasa runtuh. Bumi laksana terbelah. Matahari seakan terjatuh ke dunia. Menghanguskan
seisi alam. Semua hancur seiring kepergian orang yang terkasih. Karena dalam
buaiannya sesungguhnya kehangatan matahari itu berada. Dalam setiap bait
kata-katanya keindahan alam itu terpancar. Ibu adalah simbol kasih sayang tanpa
batas. Keberadaannya bagai jimat pembawa keberuntungan. Sejarah boleh mencatat
peradaban manusia ditata oleh tangan lelaki. Tapi percayalah bahwa semangat
setiap perubahan lahir dari kasih sayang seorang ibu.
Tubuh Yazid
tiada daya hanya sekedar untuk bergerak. Pamannya yang memapah ketika turun
dari mobil pembawa jenazah. Perlahan jenazah sang ibu diturunkan dari mobil.
Banyak warga yang ikut menangis ketika melihat wajah memelas Yazid.
Tiada
ritual atas jasad ibunya yang tertinggal oleh pandangan mata Yazid. Meskipun
melalui dekapan sang paman. Sejak dimandikan lalu dikafani. Bibirnya bergetar
saat mencium untuk terakhir kali pipi sang bunda. Hilang ibunya laksana tertelan bumi manakala kain
kafan menutup seluruh badan.
Yazid terus
mengikuti keranda yang membawa tubuh ibunya ke tempat pemakaman. Langit berawan
ikut simpati atas kepedihan hati Yazid. Tak kuasa hatinya melihat tubuh sang
ibu perlahan dimasukkan ke dalam liang kubur. Mimpi indah hilang seketika.
Masuk bersama kenangan yang tertimbun tanah. Tidak ada lagi wajah tegar seorang
ibu yang selalu ia pandangi. Kesabarannya menutupi segala duka yang ia jalani.
Tidak akan pernah ada lagi suara lembut terlontar dari bibirnya. Ia telah
banyak mengajarkan arti hidup. Setiap duka hidup akan lahir bahagia di kemudian.
Pasti menyisakan pintu lapang dari setiap derita. Itu yang selalu ia ucapkan
saat ada luka di hati Yazid.
Satu
persatu para pengantar jenazah kembali ke rumahnya masing-masing. Membawa cerita tentang hari ini untuk hari
esok. Tentang matahari hari ini. Tentang suara hari ini. Tentang senyum hari
ini. Tentang duka hari ini. Tercipta simponi lagu untuk hari esok. Pandangan
mata Yazid kosong, tertuju pada gundukan tanah tempat ibunya dimakamkan. Air
mata seakan telah habis menangisi nasib yang menimpa dirinya.
Hidup
memang misteri. Mungkin karena kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok
hari. Kita hanya bisa melihat dengan apa yang bisa kita lihat. Kita juga dapat melangkah hanya dengan apa
yang kita miliki. Rasa adalah bagian yang kita kecap. Di balik semua itu ada makna
yang tersembunyi. Hati tulus berbalut
keyakinan yang mampu menembus sekat fatamorgana. Duka bisa bahagia. Adakala
bahagia menjadi duka. Itulah hidup.
|
MASA LALU
Kabut
menyelimuti seisi kampung. Berbaur dengan warna pekat awan yang menggelantung
di langit. Hari masih teramat pagi. Sebagian penduduk masih terlihat malas
untuk keluar rumah. Kini satu minggu sudah kematian Aminah, ibunda Yazid. Tas berisi pakaian serta beberapa kardus
terikat tali rapia tampak di bangku dan meja tamu. Yazid terlihat rapi di
dampingi paman dan bibinya.
“Paman, ada
baiknya kita pamit terlebih dahulu kepada guru mengajiku, ustadz Jamal!”
“Fatimah, engkau
tunggulah sebentar. Biar aku antar Yazid bertemu ustadz Jamal!”
Keduanya
keluar rumah meninggalkan Fatimah. Lima menit kemudian keduanya telah sampai ke
kediaman ustadz Jamal.
“Jadi sudah
bulat bila Yazid akan tinggal bersama Adik? Usulan saya tempo hari bukanlah
basa basi. Saya ingin sekali Yazid tinggal bersama saya di sini. Anak-anak saya
semuanya telah berkeluarga. Tinggal saya di sini seorang diri. Segala keperluan
Yazid termasuk biaya pendidikannya biarlah saya yang tanggung!”
“Sebelumnya
saya atas nama keluarga mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga besar
Ustadz atas kebaikan yang selama ini telah diberikan kepada almarhumah dan
Yazid. Saya dapat memahami maksud baik Ustadz. Tapi biarlah Yazid tinggal
bersama saya. Kebetulan saya dan istri sampai saat ini belum dikarunia seorang
anak pun. Ditambah lagi dengan wasiat ibunya yang tidak mungkin saya abaikan.
Ini Ustadz, surat wasiat dari almarhumah yang ditemukan di bawah tempat
tidurnya!” Abdurahman memberikan selembar surat kepada ustadz Jamal.
Teruntuk Adikku,
Abdurahman
Rasanya
perjalanan hidupku akan berakhir esok saat mentari terbit. Itu setelah aku
mendengar vonis dokter tentang penyakitku. Bukannya aku takut akan kematian.
Bukan pula aku sesali hidupku yang mungkin tidak akan lama lagi. Mungkin ini
yang terbaik dari Tuhan teruntukku. Yang membuat aku enggan untuk dipanggil
Tuhan adalah Yazidku. Dia permata hatiku. Tangisnya adalah dukaku. Senyumnya
merupakan kebahagiaanku. Aku takut, hidup Yazid selalu akan dibalut kesedihan
oleh sebab kematianku.
Abdurahman,
berjanjilah atas nama Tuhan teruntukku. Bila Tuhan kelak benar-benar memanggilku. Kasihilah
Yazid seperti engkau menyanyangi anakmu sendiri. Buatlah dia selalu tersenyum
meskipun kedua sayapnya telah patah. Aku yakin Yazidku bisa melalui ini semua.
Karena hari-hari yang telah kujalani bersamanya lebih banyak dipenuhi air mata.
Abdurahman,
Yazid ingin sekali melanjutkan sekolahnya. Juallah semua hewan ternak miliknya. Jual pula
rumah beserta tanahku untuk menggapai cita-citanya dan ajaklah ia tinggal
bersamamu.
Aminah
Ustadz
jamal tertegun sebentar setelah membaca isi surat wasiat Aminah.
“Untuk
kelanjutan sekolah Yazid bagaimana?”
“Sekolahnya
akan pindah ke sekolah yang berdekatan dengan rumah saya!”
“Baiklah
jika demikian. Semoga Yazid dapat memenuhi cita-cita ibunya!”
Matahari
terlihat malu di balik awan hitam. Enggan menyapa makhluk bumi. Langit masih
merana. Sejak semalam terus menangis menumpahkan gejolak di dadanya.
“Kita tidak
dapat menunggu udara cerah. Sebab siang nanti aku sudah harus berada di tempat
kerja!” Abdurahman mengajak Fatimah dan Yazid untuk segera berangkat.
“Yazid,
apakah masih ada yang tertinggal?” Fatimah mencoba mengingatkan Yazid.
“Sepertinya
sudah tidak ada Bi!” Tangan kanannya mengambil tas. Sementara tangan kirinya
memegang selembar foto dirinya yang berdampingan dengan almarhumah ibunya.
Sekali lagi dilihat foto kenangan dirinya dan ibunya. Kemudian pandangannya
menatap sekeliling ruang tamu, lalu ke ruang tengah dan berakhir di ruang
dapur. Bayangan ibunya seperti berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain di
dalam rumah, lalu berdiri menatap kepergiannya, tersenyum kecut sambil
melambaikan tangan kanannya. Tanpa terasa air mata keluar dari kelopak matanya.
Tidak kuat ia menahan kepedihan untuk berpisah dari tempat yang seluruh jiwanya
tertanam di sini bersama ibundanya tercinta.
“Yazid,
mari kita berangkat!” Suara Fatimah membuyarkan lamunan Yazid.
Ketiganya
keluar rumah. Di luar sudah ada beberapa tetangga yang ingin melihat
keberangkatan Yazid. Tampak Sa’diyah, juga Asep, sahabat karibnya. Semuanya
larut dalam kesedihan yang dirasakan oleh Yazid. Dilangkahkan kakinya menuju ke
samping kemudian sampai ke belakang rumah. Kandang yang telah kosong dari
penghuninya karena telah dijual. Banyak kenangan Yazid bersama
kambung-kambingnya. Bersamanya Yazid mengenal lebih dekat alam. Belajar banyak
tentang arti hidup dari tumbuhan dan binatang sawah. Bahwa hidup adalah
ketergantungan. Bahwa antara kita dan alam ada keterkaitan. Bahwa hari ini
adalah cermin untuk hari esok. Sedikit kita cubit alam ini. Maka akan ada tangis untuk anak cucu kita
di kemudian hari.
Satu
persatu dicium tangan para tetangga yang ikut mengantar kepergiannya.
Orang-orang yang sedikit banyak telah ikut mewarnai hari-hari indahnya bersama
ibundanya tercinta.
Dengan
mengendarai ojek, ketiganya meninggalkan kampung, menyusuri jalan berbatu
dengan kubangan air hujan di sana sini. Motor melaju ke arah selatan menuju
kampung Tanah Apit yang menjadi pintu masuk ke arah jalan raya menuju arah
Pulogadung. Di sisi kanan dan
kiri jalan, terbentang pemandangan sawah-sawah yang tertutup air. Burung-burung
telah memulai aktivitasnya mencari peruntungan. Warna hijau daun pohon
Lontorogung menyapa setiap pengguna jalan. Perjalanan kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan mobil angkot menuju pasar Cakung, Jakarta Timur. Setelah itu
berganti kendaraan menuju ke arah utara yang menuju Tanjung Priok. Beberapa
saat kemudian sampailah ketiganya ke tempat tujuan. Sebenarnya tempat ini tidak
begitu asing bagi Yazid. Karena sebelumnya ia bersama ibunya pernah berkunjung
ke tempat ini.
“Yazid,
sekarang istirahatlah dahulu. Ada kamar yang kosong untuk engkau tempati.
Jangan engkau merasa sungkan. Anggap rumah ini adalah rumahmu sendiri. Jadikan
bibimu sebagai pengganti ibumu. Lusa aku akan antar engkau ke sekolah baru.
Biar hilang sedikit demi sedikit rasa sedih dalam dirimu.”
Malam kian
larut. Terasa sulit kelopak matanya tertutup. Esok adalah hari pertama ia
memulai aktivitas di tempat yang baru. Meninggalkan masa lalu. Mendaki hari
esok dengan sejuta asa. Semua berakhir dalam mimpi tidur panjangnya.
|
Tiga tahun
sudah Yazid tinggal bersama pamannya. Kumpul bersama teman seusianya di sekolah
sedikit mengurangi duka hidup Yazid.
“Yazid, ke mana
engkau akan melanjutkan sekolah?” Tanya Sulaiman, teman sebangku Yazid.
“Entahlah,
aku belum tahu. Kalau kamu?”
“Aku ingin
melanjutkan sekolah yang ada di pesantren Jawa Timur.”
“Kenapa
engkau ingin ke sana?”
“Selain
sekolah, aku ingin memperdalam ilmu agama. Kebetulan kakak perempuanku kuliah
di sana juga!”
Pesantren?
Lama Yazid termenung di atas tempat tidurnya. Sulaiman banyak menceritakan
perihal pesantren kepada Yazid. Di pesantren kumpul santri dari berbagai daerah di Indonesia. Ada pula yang
berasal dari luar negeri. Di
sana, dianjurkan kemandirian hidup. Dari urusan makan sampai mencuci pakaian
dilakukan sendiri.
Saat
ini Yazid sedang menunggu saat-saat kelulusan sekolah menengah pertama. Suatu
ketika dipanggillah Yazid oleh Abdurahman.
“Yazid,
sekolahmu hampir selesai. Di sekolah mana engkau akan melanjutkan? Jangan
engkau sungkan untuk mengatakannya. Alamarhumah ibumu sudah menyiapkan biaya
teruntukmu.”
“Paman aku
ingin melanjutkan ke SMA. Tapi
aku tidak ingin berada di Jakarta”
“Kemana
engkau akan sekolah?”
“Ada kabar
dari temanku bahwa di Jawa Timur ada sekolah SMA yang dikelola oleh pondok pesantren.”
Bulat sudah
hati Yazid untuk meninggalkan sejenak tempat yang telah memberi kenangan pahit,
hidup tanpa ayah dan ditinggal ibu di saat ia sangat membutuhkan kasih
sayangnya.
Hari
kelulusan sekolah telah tiba. Istri Abdurahman telah berbelanja segala
kebutuhan untuk keberangkatan Yazid ke pesantren. Beberapa pasang pakaian,
buku-buku serta peralatan mandi dimasukkan dalam sebuah tas. Esok adalah hari keberangkatan Yazid.
“Yazid,
jaga dirimu di rantau. Perbagus tingkah lakumu dalam bergaul. Kami berdo’a
semoga engkau betah di sana serta kelak memperoleh ilmu yang bermanfaat bagi
orang lain!” Demikian pesan istri Abdurahman teruntuk Yazid.
Mata Yazid
seperti tidak dapat dipejamkan. Esok ia sudah harus meninggalkan Jakarta.
Terbayang di pelupuk mata wajah ibunya.
“Ibu, esok
aku pergi meninggalkan tempat orang-orang yang kucintai. Doakan agar di rantau
aku bisa lebih memahami arti hidup ini”.
Malam
berganti siang. Udara teramat cerah. Sinar matahari pagi menyapa kesibukan
masyarakat ibu kota. Fatimah mengantar keberangkatan Abdurahman dan Yazid
sampai depan pintu rumah.
“Bi, terima
kasih atas kebaikan Bibi. Maafkan
atas setiap kesalahanku”.
“Jangan
berkata seperti itu. Sudah menjadi kewajiban Bibi untuk memberikan yang terbaik
teruntukmu. Engkau telah banyak membantu Bibi di sini. Bibi merasa sangat
kehilangan. Seperti seorang ibu yang tinggal merantau anaknya. Jangan lupa
kabari dirimu lewat surat”.
Dengan
diantar pamannya, Yazid berangkat menuju Jawa Timur untuk melanjutkan sekolahnya.
Perjalanan dimulai dari stasiun Senen, Jakarta, dengan kereta api jurusan
Surabaya.
Stasiun
Senen. Saksi bisu setiap asa jutaan orang-orang yang datang maupun keluar
Jakarta. Tempat akhir pembuang sial bagi mereka yang terkena luka kejamnya ibu
kota.
Kereta
akhirnya berangkat meninggalkan sejuta kenangan. Rutinitas hidup terus bergerak
meskipun dalam kereta api. Berbagai cara untuk meraih rupiah dilakukan. Mulai
dari ratusan pedagang, peminta-minta, sampai pada pencuri, menyatu dalam gerak
roda kereta api kelas ekonomi.
Setelah
semalaman berada dalam kereta api, sampailah mereka di stasiun Pasar Turi,
Surabaya. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bus antar kota. Menuju
terminal Purabaya. Dari sini keduanya naik bus jurusan Banyuwangi. Mobil melaju
ke arah timur menuju Bangil, kemudian berhenti sebentar di terminal
Probolinggo. Sepanjang perjalanan, di sisi kiri terbetang hijau laut selat
Madura. Di sisi kanan tampak menjulang di kejauhan gunung Lamongan dan gunung
Argopuro. Mobil berhenti di
terminal Besuki. Keduanya turun dari mobil. Di luar sudah menanti puluhan becak.
“Ke
pesantren Pak?” Tanya tukang becak sambil menyodorkan becaknya untuk dinaiki.
“Pesantren
Khoiro Ummah?” Tanya Abdurahman memastikan tujuannya.
“Ia Pak,
silahkan naik!”
Beberapa saat kemudian sampailah keduanya ke tempat tujuan.
Pesantren
merupakan salah satu tempat kegiatan belajar mengajar. Hampir di setiap daerah di Indonesia dijumpai pesantren.
Usia pesantren seusia perjalanan bangsa Indonesia itu sendiri. Banyak tokoh
bangsa terlahir dari pesantren. Demi menjaga orsinilitas budaya di dalamnya, pesantren
biasanya agak menjaga jarak dengan dunia luar. Tidak heran bila kemudian banyak kalangan di luar pesantren
menganggap dunia pesantren terkesan ekslusif. Namun karena perkembangan zaman
yang tidak mungkin terelakkan, banyak pesantren kemudian mengakomodir apa yang
ada di luar. Tentunya dengan tidak mengubah ciri khasnya. Dahulu di pesantren
hanya terdapat masjid sebagai tempat ibadah dan belajar, asrama untuk tempat tinggal
siswa, tempat kediaman seorang pengasuh yang biasanya di pulau Jawa dipanggil
dengan sebutan kyai. Kini beberapa pesantren telah banyak mengalami perubahan.
Sekolah formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sudah dapat dijumpai.
Perkembangan teknologi seperti internet juga telah masuk pesantren.
Salah satu
budaya pesantren yang sampai saat ini masih tetap terjaga adalah dibatasi
hubungan antara pria dan wanita yang bukan saudara sekandung. Biasanya ada
aturan tertulis yang melarang komunikasi di antara keduanya. Tidak heran bila
kemudian mereka tidak saling mengenal sekalipun lama hidup berdampingan.
Pandangan
Yazid tertuju pada tempat yang baru pertama kali ia lihat. Selama ini ia hanya
bisa menyaksikannya lewat televisi. Di sisi kanan dan kirinya kokoh berdiri
bangunan asrama para santri. Beberapa santri terlihat hilir mudik sambil
mengapit kitab kuning. Tidak semua santri mengenakan sarung. Ada juga yang
mengenakan celana seragam SMP maupun SMA. Kopiah menjadi pelengkap yang harus
dipergunakan.
“Assalamu’alaikum…”
Sapa paman Yazid ketika memasuki salah satu ruang asrama.
“Walaikumussalam...”.
Hampir serempak jawaban orang-orang yang berada dalam kamar. Salah satu di antaranya
adalah Sulaiman, teman sebangku Yazid semasa SMP. Dia sudah satu minggu yang
lalu tiba di pesantren. Ruang asrama berukuran empat kali lima meter. Di salah
satu sudut atas dinding terpampang beberapa foto, yang ternyata pengasuh
beserta pendiri pondok pesantren. Di sisi kamar bersandar almari yang berisi
sekitar tiga puluh enam kotak berukuran panjang lebar setengah meter.
Kotak-kotak inilah sebagai tempat menyimpan pakaian santri. Sementara
pakaian-pakaian kotor menggelantung di deretan hanger panjang. Hanya ada satu ventilasi
yang mengarah ke belakang asrama.
“Silahkan
duduk Pak!” Salah seorang mempersilahkan Yazid dan pamannya duduk. Mereka duduk
bersila mengitari ruangan. Suasana hening sejenak.
“Ini Yazid
dan Pamannya, Ustadz.” Sulaiman mencoba memperkenalkan temannya kepada orang
yang mempersilahkan Yazid dan pamannya duduk, yang ternyata sebagai ketua
kamar.
“Sulaiman
telah banyak menceritakan perihal Yazid kepada saya. Yazid bisa tinggal di
kamar sini. Kebetulan sudah ada tiga puluh empat santri, dua di antaranya
santri baru. Mereka antara lain ada yang berasal dari Madura, Banyuwangi,
Malang, Kalimantan, Jawa Tengah, Bali dan NTB.” Ujar ketua kamar menjelaskan
keadaan kamar yang akan ditempati Yazid.
“Nanti saya
akan antar Bapak untuk mendaftarkan Yazid sebagai santri di sini!” Lanjutnya
lagi.
Resmi sudah
Yazid menjadi salah satu dari ribuan santri di pondok pesantren. Pagi harinya
Yazid bersama Sulaiman mengantarkan pamannya kembali ke Jakarta, setelah sempat
semalam menginap.
Tidak dapat
dipungkiri akan perasaan hatinya yang masih menyimpan sejuta kenangan di masa
lalunya. Sulaiman yang selalu menghibur setiap kali melihat Yazid termenung. Diajaknya
Yazid shalat berjama’ah di masjid. Sore harinya ia sudah mulai antri mandi
bersama santri yang lainnya.
Hari
beranjak malam. Hawa dingin mulai merasuk. Sebagian santri sudah mulai tertidur
di kamarnya masing-masing setelah sepanjang hari menjalani rutinitas pesantren.
Tidak ada bantal. Tidak pula kasur. Semua tidur hanya beralaskan karpet.
Keterbatasan tempat tidur membuat sebagian santri terpaksa tidur di lantai
masjid, mushola, sekolah, dan tempat-tempat yang memungkinkan untuk ditiduri.
Semua lelap bersama hembusan angin yang merasuk kedalam tulang sum-sum.
Dengan
dibantu nyala lilin, Yazid menuangkan kerinduannya pada pamannya di Jakarta.
7 Mei 1996
Teruntuk,
Paman
Paman,
ini adalah hari-hari pertamaku di sini. Sepertinya aku temukan duniaku yang
hilang. Ada kebersamaan yang selama ini aku cari. Aku melihat senyum yang tulus
dari bibir-bibir anak negeri yang jauh dari bising keramaian. Mereka semua
hidup dalam kesederhanaan.
Dari
sini aku hanya bisa berdo’a, semoga senyum kebahagiaan selalu mengiringi Paman
dan Bibi.
Yazid
Satu bulan
telah berlalu. Yazid kini telah larut dalam aktivitas pesantren. Hampir dua
puluh empat jam denyut nadi kehidupan di pesantren. Banyak santri yang
menghabiskan waktunya sampai jam dua belas malam. Tepat jam dua dini hari
mereka sudah kembali beraktivitas dengan melakukan kegiatan seperti shalat
sunnah. Saat seperti inilah yang sering membuat Yazid menitikkan air mata.
Teringat kesendiriannya dalam hidup. Bila sudah seperti itu, sepucuk surat
menjadi pelampias kegundahan hatinya. Berbagi dengan paman tercinta.
12 Juni
1996
Teruntuk,
Paman
Aku
tulis surat ini di bawah benderang nyala lilin. Baru saja kutempelkan jidatku ke sajadah.
Paman,
entah mengapa air mataku selalu mengalir di malam-malam sujudku. Ramai akan
terasa saat ada orang lain di sisiku. Tapi kala aku sendiri dalam sunyi, tak
kuat rasanya aku menahan tangis. Luka lamaku terasa tersayat oleh kepiluan masa
laluku.
Senyum
ibuku, pandangan matanya, lambaian tangannya, selalu hadir di hadapanku.
Aku
berharap tulisan ini bisa menjadi obat penenang jiwaku. Salam teruntuk Bibi.
Yazid
Hati siapa
yang tak menangis melihat jiwa menyendiri dalam sepi yang tak berujung.
Terlebih ada ikatan darah di antara keduanya. Dengan selembar surat Abdurahman
menulis kata pelipur lara teruntuk Yazid.
Jakarta,
2 Juli 1996
Teruntuk,
Yazid
Yazid,
tidak usah engkau ingat masa lalumu dengan air mata sesal. Karena akan semakin
terasa pilu hari-hari yang akan engkau lalui. Bukankah ada ribuan bahkan jutaan
orang yang mengalami nasib lebih buruk dari kita? Anggap setiap yang menimpa
kita sebagai ombak kehidupan yang mesti kita hadapi. Ayah ibumu pasti tersenyum
bangga di alam sana bila melihat engkau setegar karang dalam menerima coba yang
menerjang.
Abdurahman
Hilang
sesaat kepedihan dalam hati Yazid. Surat Abdurahman seperti telaga pelepas
dahaga keringnya kasih sayang dalam jiwa Yazid. Bukan lagi materi yang
berlimpah yang menjadi damba setiap jiwa saat hilangnya kasih sayang orang tua.
Selembar surat terkadang
sedikit dapat meringankan beban.
Jakarta,
5 Oktober 1996
Teruntuk,
Yazid
Semoga
engkau sehat selalu.
Kami
harap engkau bergembira sebagaimana suasana gembira yang terpancar di rumah
saat ini. Bibimu telah melahirkan seorang bayi perempuan mungil. Akhirnya,
penantian panjang itu datang juga, buah hati dambaan jiwa.
Saat
libur kelak, engkau bisa melihat senyum lucu keluar dari bibir mungilnya.
Salam
dari bibimu.
Abdurahman
Hati Yazid
berbunga menerima kabar dari pamannya. Siapa lagi seseorang dalam hidupnya yang
ia akan berikan kebahagiaan selain paman dan bibinya. Dia bergembira melihat
pamannya yang saat ini sedang berbahagia atas kelahiran anak yang selama ini
dinantikannya.
|
17 Juni
1997
Teruntuk,
Paman
Paman,
aku melihat dari sini langit Jakarta membara. Banyak mahasiswa yang
berdemontrasi. Banyak penjarahan yang terjadi. Adakah yang lebih berharga
dibandingkan jiwa? Ataukah keadaan yang membuat nyawa mereka tidak berharga
lagi?
Sungguh
aku belum bisa memahami apa yang sedang terjadi di sana. Yang bisa aku rasa
adalah ada tarikan keras yang membawa kita ke suatu tempat yang berbeda. Tempat
yang mungkin akan membuat kita tersenyum atau menangis ?
Salam
teruntuk bibi dan adik kecilku, Lailah.
Yazid.
Setelah
selesai dibaca sekali lagi, dilipat surat yang semalam dibuatnya. Tidak lupa
ditempelkan prangko di pojok kanan atas amplop, tepat di atas nama tujuan
alamat surat. Kotak pos yang terletak di pinggir jalan siap menanti setiap
kabar yang akan dibawa ke tempat tujuan.
Hari ini
Jum’at. Hari libur untuk setiap kegiatan formal pesantren. Para santri
memanfaatkannya dengan mencuci pakaian kotor yang dikumpulkan selama seminggu
lamanya. Ada sebagian yang memanfaatkan waktu libur untuk rehat sejenak. Duduk-duduk
sambil meminum segelas kopi secara bersama-sama.
“Yazid,
kenalkan ini Kang Anwar, santri baru di sini!” Dijabat tangan Anwar, santri
baru yang diperkenalkan oleh Ustadz Gufron.
Tidak
seperti kebanyakan santri baru lainnya, Anwar datang dengan tanpa orang tua.
Bila santri lain datang dengan rambut pendek. Anwar datang dengan rambut
sebahu. Tubuhnya kurus dengan pakaian lusuh. Keadaan yang serba kumuh bertolak
belakang ketika ia memperkenalkan diri. Tutur bahasanya tersusun rapi meskipun
sedikit kata yang keluar dari mulutnya. Terlihat ia sebagai seorang yang
mempunyai wawasan yang luas. Pengetahuan yang mendalam tentang apa yang sedang
terjadi di negeri ini.
Entah
mengapa, meskipun baru mengenal, Yazid merasakan satu kesamaan dengan Anwar.
Sebuah pengharapan dari penantian panjang
perjalanan hidup. Banyak sekali arti hidup yang ia peroleh setiap kali
berdiskusi dengan Anwar. Mungkin karena usianya yang tidak jauh berbeda dengan
ustadz Gufron. Sehingga sedikit lebih banyak pengalaman hidup yang dialaminya.
“Kang
Anwar, apakah engkau pernah kecewa menjalani hidup?” Suatu saat Yazid mencoba
berbagi dengan Anwar.
“Setiap
manusia pasti pernah merasakannya. Memangnya kenapa Yazid?”
“Aku merasa
Tuhan begitu berat memberi coba teruntukku!”
“Yazid,
tidak mungkin Tuhan memberikan ujian yang kita tidak mampu menjalaninya. Ada
kala sesuatu yang tidak ada pada kita dianggap sebuah kekurangan. Padahal ada
maksud lain dari Tuhan teruntuk kita. Bukankah banyak dari kita yang lengkap dengan
apa yang dimiliki. Tapi tetap terasa hampa hidupnya? Mereka menganggap dunia
ini adalah segalanya. Bahagia bukan dari apa yang kita rasa. Namun lebih dari
itu bahagia timbul sebab dari apa yang sudah kita beri. Hidup laksana mimpi. Sekejap apa-apa yang kita
rasa. Esok telah hilang. Yang ada hanya antrian panjang. Penantian teruntuk
tempat keabadian kita.”
“Wah, Kang
Anwar! Sepertinya engkau lebih pantas jadi ustadz dibanding santri biasa!”
“Ah, itu
biasa. Kebetulan aku lebih dahulu adanya dari engkau. Ada sedikit lebih
pengalaman hidup yang aku jalani!”
“Kang,
ayah-ibuku meninggal saat aku teramat membutuhkan kasih sayangnya!”
“Kita semua
akan mati Yazid. Manusia, siapapun dia, bagaimanapun hebatnya ia, pasti akan
dijemput oleh kematian. Hakekat kematian hanyalah perubahan keadaan. Kebersamaan
menjadi kesendirian. Keberadaan menjadi ketiadaan. Tidak perlu waktu lama untuk
menanti apa yang telah kita perbuat. Setelah ruh ini terpisah dari tubuh. Maka
akan terpampang daftar perilaku kita selama di dunia. Sesal sebab perilaku
buruk. Bahagia karena membawa kebaikan.
“Manusia
menjadi pongah dan serakah. Itu karena melupakan kematian. Lihat, betapa
teramat pemurah Tuhan. Memberi anugerah kepada kita sebuah negeri yang teramat
kaya. Tapi mengapa kemiskinan dan kebodohan terus membalut negeri ini? Sebagai
anak negeri kita tidak pernah bersyukur. Bersyukur itu berarti mengolah
kekayaan alam pemberian Tuhan dengan benar, demi kepentingan orang banyak,
bukan untuk segelintir orang saja. Bila semua ingat bahwa kebahagiaan itu milik
semua orang. Bahwa ada luka di hati ini bila melihat derita orang lain. Bahwa
ada saat dimana kita harus kembali. Maka seutas tali pengharapan pasti akan
terbentang teruntuk semua.”
Yazid hanya
terdiam mendengar ucapan Anwar.
“Yazid,
mari kita beli nasi!”
“Silahkan
Kang!!!”
“Sudah,
nanti aku yang traktir!”
Mereka
berdua berjalan menuju kantin pesantren. Sudah banyak santri yang antri berdiri
untuk memesan pesanannya.
“Hai Anwar,
bagaimana kabarmu?!” Dari pojok kantin seseorang memanggil Anwar.
“Sebentar
Yazid! Tolong kamu pesan untuk aku juga!” Ditinggalkan Yazid.
Dari tempat
duduk, Yazid melihat Anwar begitu akrab dengan orang yang ditemuinya. Tampak
mereka berdua seperti telah lama saling mengenal. Sesaat kemudian Anwar kembali
ke tempat Yazid yang telah memesan dua piring nasi ditambah dua gelas es teh
manis.
“Siapa itu
Kang?”
“Oh,
temanku!”
“Kang Anwar
hebat!!! Baru beberapa hari
di sini sudah banyak mempunyai teman!”
Keduanya
larut dalam keramaian para santri yang ikut makan setelah seharian mengikuti
aktivitas di pesantren.
Malam
berganti siang. Matahari pagi telah menampakkan wajahnya. Sinarnya begitu menyilaukan mata. Masuk ke dalam
ruang-ruang kamar yang berada di tingkat dua. Meski baru sekitar jam sepuluh
pagi, hawa panas teramat menyengat. Jum’at kali ini seperti hari-hari jum’at
sebelumnya. Serentak penghuni seisi asrama keluar memanfaatkan libur hari
jum’at. Hanya beberapa santri tetap berada di kamar. Menyibukkan diri dengan
membaca atau sekedar berbagi cerita. Termasuk Yazid yang memanfaatkan waktu
luangnya berbagi cerita dengan Anwar. Di saat serius mendengarkan cerita Anwar.
”Anwar
..!!!” Tiba-tiba ustadz Gufron sudah berada di depan pintu.
”Sebentar,
aku ingin bicara denganmu!”
Anwar
segera meninggalkan Yazid. Keduanya tampak serius membicarakan sesuatu. Tidak
dapat dipungkiri perasaan cemas membalut wajah ustadz Gufron. Hanya saja Anwar
tampak begitu tenang. Tidak lama kemudian keduanya menuju Yazid.
”Yazid,
sebaiknya engkau ikut bersama Anwar!”
”Bila boleh
saya tahu, hendak kemana ustadz?”
”Ke alas!”
Anwar
segera mengambil peci yang disangkutkan di hanger pojok ruangan. Sorban hijau
digunakan untuk menutupi kepalanya.
”Cepatlah
kalian berangkat!”
Sebagian
wajah Anwar tertutup sorban. Setengah berlari Anwar meninggalkan asrama.
Sementara Yazid mengikuti di belakang Anwar dengan sejuta tanda tanya. Ada apa
gerangan yang membuat Anwar segera meninggalkan asrama? Mengapa wajahnya
seperti tidak ingin dilihat oleh orang lain?
Setelah
menuruni tangga asrama. Keduanya kemudian menyusuri lorong yang berada di
belakang asrama. Sekilas tidak ada yang aneh bagi ribuan santri lainnya yang
kebetulan melihat keduanya. Sampailah keduanya di luar komplek pesantren. Lalu
meuju ke arah barat. Jalan berdebu. Melewati pemukiman penduduk. Tidak lama
tanaman pohon tebu berbaris di sisi kanan kiri jalan setapak yang dilalui Anwar
dan Yazid. Akhirnya keduanya sampai di tepi hutan. Sebenarnya tempat ini tidak
layak di sebut hutan atau alas. Sebab arealnya tidak begitu luas. Hanya kurang
lebih tiga jam waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menempuh perjalanan dari
tempat keduanya berdiri sampai ke ujung sebelah utara yang berbatasan dengan
jalan raya pantura. Sementara ke arah utara berbatasan dengan laut jawa, tempat
ajang latihan TNI Angkatan Laut.
Keduanya
memasuki areal hutan. Disambut dengan puluhan kera yang berlarian dan
bergelantung di atas pohon yang berumur ratusan tahun. Tidak lama kemudian
keduanya berhenti. Sambil mengatur napas keduanya duduk untuk melepas rasa
lelah.
”Kang, apa
yang sedang terjadi?” Yazid mencoba mengeluarkan pertanyaan yang disimpannya
sejak dalam perjalanan.
”Yazid, aku
minta maaf belum dapat menceritakan apa yang sedang terjadi pada diriku. Tapi
suatu saat pasti aku akan ceritakan
kepadamu.”
”Aneh,
sepertinya engkau lebih mengetahui tempat ini daripada aku. Engkau begitu hafal
menapaki jalan demi jalan!”
Anwar hanya
tersenyum sambil menepuk pundak Yazid ”Nanti aku pasti akan menceritakannya padamu. Kuharap engkau
bersabar!”
Yazid hanya
terdiam mendengar penjelasan Anwar. Keberadaan Anwar bagai teka teki yang sulit
untuk dimengerti. Sejak kehadirannya di pesantren. Tidak lazim bagi santri baru
datang tanpa didampingi oleh orang tuanya atau walinya. Usianya di atas
rata-rata. Penampilannya tidak terurus dengan rambut melebihi bahu. Dia sangat
tertutup bila ditanya seputar pribadinya. Tapi banyak mengenal orang-orang di
pesantren yang seusia dengannya. Tidak hanya itu. Dia begitu paham lingkungan
dalam pesantren dan di luar pesantren. Seperti tempat yang sekarang ia
singgahi.
Suasana
semakin gelap. Tanda siang akan berganti malam. Suara khas binatang malam di
hutan mulai terdengar. Keduanya belum beranjak dari tempatnya. Rasa lapar telah
menghinggap. Belum ada tanda bahwa keduanya akan kembali. Anwar hanya
mengatakan akan kembali bila ustadz Gufron datang menemui keduanya.
Banyak hal
yang didapat Yazid selama di dalam hutan bersama Anwar. Dia merasa bangga telah
menjadi bagian kecil perjalanan hidup Anwar. Meskipun sampai detik ini
keberadaan Anwar menjadi bagian misteri perjalanan hidupnya. Dari sosok Anwar,
dia menemukan keberanian hidup, tegar dalam berpendirian, jujur dalam ucapan,
toleran terhadap perbedaan, dan luas pandangan hidupnya. Semua sifat itu
terdapat dalam diri Anwar ketika setiap kata terlontar dari bibirnya.
Malam kian
larut. Sinar rembulan masuk melalui
celah dedaunan. Disambut dengan lengkingan suara anjing hutan saling
bersahutan. Kera-kera tanpa malu-malu menghampiri Anwar dan Yazid. Bayangan
binatang buas menghantu benak Yazid. Cerita dari teman-temannya tentang harimau
yang keluar di malam hari.
Ketika
suasana semakin mencekam. Terdengar
suara pelan memanggil Anwar dan Yazid.
”Ustadz
Gufron!” Serentak keduanya berdiri ketika sebuah bayangan menghampiri.
”Anwar,
Yazid, ini aku bawakan nasi. Makanlah dahulu. Setelah itu kita segera kembali. Suasana sudah aman!”
Aman?
Entahlah. Yazid tidak mengerti dengan maksud kedaan telah aman. Apakah jiwa
Anwar terancam? Oleh siapa? Yazid hanya terdiam tanpa komentar. Mungkin belum
saatnya ia harus mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Kurang
lebih satu bulan Anwar tinggal di pesantren. Hingga suatu ketika Anwar mengajak
Yazid untuk pergi ke Surabaya.
“Ada acara apa
Kang?”
“Biar
engkau lebih banyak tahu tentang arti hidup dari dunia luar!”
Mereka
berdua berangkat di malam hari tepat pukul dua belas malam. Tidak banyak kata
yang keluar sepanjang perjalanan ke Surabaya. Namun demikian tidak dapat
ditutupi ada kegelisahan dalam diri Anwar yang dilihat Yazid dari raut wajah
Anwar. Wajahnya lebih banyak ditundukkan ketika berada di dalam bus antar kota
menuju Surabaya.
Waktu masih
teramat pagi ketika mereka sampai di terminal Purabaya, Surabaya. Dengan segera
Anwar mengajak Yazid untuk segera menaiki angkot. Kurang lebih setengah jam
perjalanan, mobil angkot berhenti di sebuah gang kecil. Keduanya menyusuri
lorong melewati beberapa gang. Sesaat kemudian keduanya telah sampai di sebuah tempat kontrakan. Di situ
sudah menanti beberapa orang yang rata-rata berusia remaja.
“Bagaimana
kabarmu Anwar?” Tanya salah satu dari mereka.
“Aku
baik-baik saja. Aku bersembunyi di pondok pesantren!”
“Ini
siapa?” Tanya yang lain penuh
curiga.
“Namanya
Yazid, sengaja aku ajak untuk ikut. Dia salah satu santri yang ada di pondok pesantren. Dia berasal dari
Jakarta. Aku berharap dia sebagai saksi atas perjuangan kita. Biar ia yang
menceritakan kepada anak cucunya bahwa reformasi diperjuangkan dengan tetesan
air mata dan darah. Bahwa ada pejuang yang mungkin kelak tidak dikenal oleh
rakyat bangsa ini. Biar hanya ia yang tahu tentang perjuangan kita. Mungkin
keberadaannya di Jakarta suatu saat dapat kita manfaatkan untuk persembunyian
kita!”
Yazid hanya
bisa menyaksikan diskusi mereka dari pojok ruangan. Anwar terlihat fasih
menjelaskan rencana yang akan dilaksanakan. Sesekali mulutnya menghirup kopi
yang ada di hadapannya. Beberapa kali whiteboard dihapus untuk kemudian ditulis
kembali. Semua tampak tegang
dengan sesekali ada interupsi.
Tidak
terasa hari menjelang sore. Pertemuan itu diakhiri dengan saling rangkul di antara
mereka. Rasa optimis tampak di wajah mereka.
“Hati-hati.”
Hanya itu pesan terakhir sebelum mereka berpisah.
Gelap telah
menyelimuti seluruh kota Surabaya. Siang kini telah berganti malam. Anwar dan Yazid berdiri di antara gerbong
kereta api yang siap berangkat ke Jakarta.
“Sebaiknya
kita ke mushola sebentar!”
Yazid
mengikuti Anwar berjalan menuju mushola. Jaraknya kurang lebih seratus meter ke arah kiri dari tempatnya semula
berdiri. Terlihat banyak orang yang baru saja menyelesaikan shalat maghrib.
Keduanya lalu menuju tempat wudlu, di sebelah kiri sisi mushola. Setelah itu
keduanya melaksanakan shalat maghrib berjama’ah.
Selesai
shalat Anwar mengajak Yazid ke pojok pinggir mushola. Pandangannya diarahkan ke
sekeliling mushola.
“Ada apa
Kang?” Tanya Yazid sedikit berbisik.
“Yazid, ada
sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu. Menurutku, inilah saat yang tepat
untuk mengatakannya. Engkau mungkin terkejut bila mendengarnya. Aku ini sebenarnya
teman satu kelas dengan ustadz Gufron di pesantren ketika berada di bangku SMA. Aku melanjutkan kuliah
di Jogjakarta. Sementara beliau melanjutkan kuliahnya di pesantren. Kebetulan
asal kami sama dari Pemalang, Jawa Tengah. Hari ini mungkin pertemuan kita yang
terakhir. Bila ada waktu kelak untuk kita bertemu kembali, maka entah itu di
mana. Salam teruntuk ustadz Gufron. Aku mengira masih akan kembali ke pesantren.
Tapi keadaan yang membuat aku harus segera ke Jakarta. Suatu saat engkau pasti
akan mengerti alasan mengapa aku sementara waktu tinggal di pesantren. Aku
adalah salah satu dari beberapa aktivis mahasiswa yang paling dicari oleh
aparat keamanan.
“Engkau
masih ingat ketika kita berada di hutan tempo hari? Siang itu ustadz Gufron
melihat beberapa orang yang ia yakini bukan termasuk santri. Gerak geriknya
begitu mencurigakan. Terlebih ketika orang-orang itu bertanya kepada salah satu
santri sambil memperlihatkan selembar foto diriku. Oleh karenanya ia segera
menemuiku agar segera meninggalkan komplek pesantren untuk sementara waktu.
Kebetulan saat itu engkau bersamaku. Sengaja aku ajak engkau untuk bersembunyi
menemaniku.
Kuharap
jangan dibocorkan kepada orang lain apa-apa yang engkau dengar dariku. Aku
mohon do’a dari semuanya. Semoga perjuangan kami akan berakhir dengan senyum
bahagia. Bahagia untuk kita semua. Untuk bangsa ini.”
“Aku kini
lebih mengerti tentang engkau. Pantas engkau begitu akrab ketika berdua dengan
ustadz Gufron. Engkaupun sangat tertutup ketika berbicara tentang persoalan
pribadi”
“Santri
yang bertemu denganku di kantin sebenarnya adalah teman sekelasku sewaktu SMA”
Keadaan mushola terlihat lengang. Tinggal Anwar dan
Yazid.
“Mari Yazid kita segera keluar mushola. Kereta jurusan
Surabaya-Jakarta akan segera berangkat.
Sebuah kereta berhenti. Para penumpang bergegas meninggalkan tempat duduk
mereka. Memasuki setiap gerbong tempat mereka akan duduk.
Keduanya
saling merangkul. Kebersamaan
selama ini membuat timbul perasaan kehilangan di antara keduanya. Yazid hanya
bisa menatap dari kejauhan ketika perlahan kereta api dari stasiun Pasar Turi,
Surabaya, berangkat menuju Jakarta.
|
”Bang,
mengapa secepat ini engkau kembali?” Tanya istri Abdurahman ketika tidak
biasanya Abdurahman pulang bekerja sebelum waktunya.
“Aku
terjebak sebab ada demontrasi!” Tubuhnya disandarkan di tempat duduk. Diusap
keringat yang membasahi wajahnya. Fatimah, istri Abdurahman segera masuk
mengambil segelas air putih.
“Kemana
Lailah?”
“Ia sedang
tidur.”
“Ah,
mengapa Lailah kecilku terlahir saat harga susu naik?” Keluh Abdurahman.
“Sabar ya Bang....
Kita masih beruntung dibanding tetangga kita banyak yang terkena PHK.”
Bumi
Jakarta membara. Di mana-mana mahasiswa berdemontrasi menuntut adanya
perubahan. Harga barang-barang kebutuhan pokok naik. Banyak para pekerja yang
terkena imbas lalu di PHK. Tiada hari tanpa demontrasi. Penjarahan terjadi di mana-mana. Polisi dan
tentara terlihat di setiap sudut keramaian. Setiap orang seperti tanpa takut
untuk berbicara apapun yang sebelumnya dianggap tabu.
Seperti
biasa setiap pagi Fatimah menyiapkan makan sebelum keberangkatan Abdurahman.
Lailah terlihat manja di pangkuan Abdurahman.
“Bang, sini
aku pegang Lailah. Sebaiknya Abang cepat sarapan karena waktu telah siang,
nanti Abang bisa terlambat!”
Fatimah
mengambil Lailah dari pangkuan Abdurahman. Sesaat kemudian Abdurahman mulai menyelesaikan
sarapan paginya.
“Fatimah,
aku berangkat dulu.” Dicium Lailah yang ada dalam gendongan Fatimah.
“Hati-hati
di jalan Bang!” Sambil
mencium tangan Abdurahman.
Hari
menjelang maghrib. Di atas meja makan telah siap nasi beserta lauk pauk
kesukaan Abdurahman. Sesekali dilihat jam dinding. Sementara Lailah sibuk
menyusu di atas pangkuannya.
Fatimah
mulai gelisah saat adzan isya berkumandang. Jarang sekali Abdurahman terlambat
seperti sekarang ini.
“Mungkinkah
terjebak macet karena ada demontrasi?” Gumam Fatimah.
Jam
menunjukkan pukul sepuluh malam. Entah sudah berapa kali ia keluar rumah,
memastikan kemungkinan kehadiran Abdurahman. Lailah telah tertidur beberapa
menit yang lalu.
“Kemana
gerangan suamiku? Mengapa sampai saat ini belum juga pulang?” Air mata tanpa
henti keluar dari kelopak matanya. Suara Lailah terdengar nyaring terbangun
dari tidur malamnya. Jam dinding tepat pukul satu malam. Perasaan khawatir
menghilangkan rasa kantuk. Fatimah hanya bisa menangis duduk di ruang tamu
bersama Lailah yang seperti tahu akan kesedihan yang menimpa ibunya.
Pukul
setengah empat dini hari. Fatimah masih terduduk bersama Lailah di pangkuannya.
Raut wajahnya menyiratkan kekalutan yang mendalam memikirkan nasib yang menimpa
suaminya.
Di tengah
kegalauan hatinya, terdengar suara kaki di depan rumahnya.
“Mungkinkah
Abdurahman?” Hatinya gelisah setengah berharap seseorang yang berada di depan
rumahnya adalah suaminya.
“Abang
...?” Tanya Fatimah sambil berdiri.
Tidak ada
jawab dari luar rumah. Perasaan Fatimah tambah gelisah. Perlahan langkah di
luar semakin mendekat.
Tiba-tiba
terdengar suara dari luar rumah.
“Fatimah …!”
Pelan bercampur dengan rintihan.
“Abang!”
Segera sambil menggendong Lailah Fatimah menuju pintu rumah. Dibuka pintu
rumah.
Fatimah
setengah menjerit melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Abdurahman
berdiri dengan muka yang lebab. Ada ceceran darah di sekitar bajunya.
Dia peluk
tubuh Abdurahman. Lailah ikut terbangun dari tidurnya.
“Sudahlah
Fatimah, jangan menangis, nanti akan aku ceritakan padamu apa yang menimpa
diriku.”
Keduanya
duduk di ruang tamu. Fatimah mencoba sebisanya mengobati luka yang berada di
sekujur tubuh Abdurahman.
“Jam lima
sore, aku telah keluar dari kawasan Pulo Gadung. Sepanjang jalan raya terlihat
mencekam. Orang-orang banyak berkerumun di pinggir jalan. Semua toko tutup
ditinggal pemiliknya. Takut bila terjadi sesuatu. Aku masuk ke dalam mobil
angkot. Berjejal dengan para penumpang lainnya. Tampak di wajah para penumpang
rasa cemas yang mendalam. Baru berjalan lima menit mobil angkot yang aku
tumpangi terjebak macet sebab terjadi penjarahan toko-toko yang berada di
sepanjang jalan yang dilakukan ratusan warga ibu kota!” Ucapannya terhenti
sebentar untuk meminum air putih yang disediakan Fatimah.
“Aku keluar
dari mobil yang aku tumpangi. Bermaksud mencari mobil angkot yang berada lebih
depan, agar lebih cepat keluar dari kemacetan. Saat aku berada di pinggir jalan
itulah polisi-polisi tanpa banyak tanya membawaku. Di kantor polisi aku dipukuli,
diduga sebagai salah satu dalang aksi penjarahan. Aku dikumpulkan bersama
beberapa orang yang aku tidak kenal. Salah seorang petugas beberapa kali datang
kepadaku. Dia menghampiri dan
memperhatikan wajahku. Dia tanyakan namaku serta alamatku. Seakan tidak yakin
dengan data yang tertera di KTPku. Beberapa jam kemudian barulah aku dibebaskan”.
Lailah
telah tertidur kembali di pangkuan Fatimah. Meskipun tidak terima dengan
kejadian yang menimpa pada suaminya, Fatimah besyukur suaminya kini telah
bersamanya. Menerima nasib. Begitulah ciri orang kecil yang selalu menjadi
korban. Protes? Kepada siapa?
Terkadang bukan pujian yang diterima. Malah tumpukan luka baru.
Adzan
shubuh telah berkumandang. Membuka berjuta masalah yang terukir dalam memori
setiap insan. Setelah sesaat mengembara jauh ke alam tanpa bayang. Tabur bunga
bagi si pengecut. Tanda jasa bagi si pemberani yang hidup dengan bermodal
moralitas.
Jakarta
seperti kota tanpa tuan. Mencekam. Penjarahan terjadi di mana-mana. Terutama toko-toko milik orang-orang non
pribumi. Entah berapa korban yang meninggal akibat terjebak dalam toko-toko
swalayan yang terbakar. Berapa yang meninggal akibat terjangan timah panas
milik tentara. Berapa banyak pula korban pemerkosaan bagi perempuan-perempuan
non pribumi. Perubahan harus dibayar mahal dengan tingginya harga kebutuhan
pokok. Jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Mahasiswa
dari berbagai daerah di Indonesia menuju Jakarta, berkumpul di gedung DPR.
Semua demam reformasi. Dari tukang ojek sampai pejabat selalu menjadikan
reformasi menjadi topik pembicaraan. Termasuk Yazid, turut merasakan angin
perubahan itu.
21 Mei
1998
Teruntuk,
Paman
Aku
berada di ruang kelas ketika gemuruh ribuan mahasiswa di Jakarta membahana ke seluruh
pelosok negeri ini. Namun aku hanya bisa melihat dari jauh.
Paman,
aku telah merasakan perubahan itu. Semua orang kini berani bersuara di muka
umum tentang apapun. Sayang, aku juga melihat jerit kesusahan orang-orang
seperti kita. Semua harga kebutuhan hidup naik. Banyak pekerja terkena PHK.
Yazid
Tubuh Yazid
bersandar di dinding kamar. Rasa lapar seharian belum tersentuh nasi membuat
tubuhnya lemas. Maklum sudah seminggu kiriman uang dari Jakarta terlambat.
Hanya sekali sehari ia nikmati nasi selama tiga hari ini. Itupun hasil pinjaman
dari teman sekamarnya.
Rasa lapar
menghilangkan perasaan malu untuk selalu meminjam kepada Sulaiman hampir di
setiap akhir bulan. Baru ia ganti setelah kiriman uangnya datang. Jika keadaan
memaksa, Yazid tidak malu ikut membantu bekerja di kantin milik pesantren.
Mencuci piring, gelas serta perabot dapur lainnya.
31 Juli
1998
Teruntuk,
Paman
Paman,
aku turut merasakan kesulitan yang engkau rasakan di sana. Aku minta maaf jika
keberadaanku di sini hanya menambah beban berat paman. Sekedar makan, mungkin
aku bisa dapatkan dengan menjadi pelayan tempat makan yang ada di sini.
Salam
teruntuk bibi dan Lailah.
Yazid
Tidak ada
satupun orang di dunia menginginkan seseorang yang disayanginya bersedih hati.
Seperti halnya Abdurahman, mencoba menghibur Yazid dalam kesulitan yang
sebenarnya ia alami juga.
Jakarta,
1 Sep. 1998
Teruntuk,
Yazid
Yazid,
jangan engkau pikirkan tentang kami di sini. Kami cukup bahagia. Tertawa Lailah
adalah pecut bagi kami untuk terus bekerja. Bahagiamu di sana menjadi senyum kami di sini.
Tetaplah
konsentrasi dengan belajarmu. Tidak usah engkau khawatirkan perihal biaya
sekolahmu. Peninggalan almarhumah ibumu masih cukup untuk biaya sekolahmu.
Abdurahman
|
Lailah
tampak manja dalam dekapan Abdurahman. Secangkir kopi menjadi teman Abdurahman
sambil menyaksikan acara televisi. Sementara Fatimah sibuk dengan
pakaian-pakaian kotor yang dicucinya. Kebersamaan menjadi rutinitas setiap datang
hari Minggu. Kesempatan yang jarang dirasakan Abdurahman selama seminggu
berkutat dengan kerja.
“Selamat
pagi!!!”
Terdengar
suara di luar rumah.
Abdurahman
keluar sambil menggendong Lailah.
“Apakah
betul ini kediaman Abdurahman?” Tanya laki-laki berperawakan tinggi tegap
dengan potongan rambut cepak. Di belakangnya berdiri beberapa lelaki dengan
tampang yang tidak jauh berbeda.
“Iya betul.
Saya sendiri adalah Abdurahman!” Suaranya agak tertahan. Hampir saja Lailah
terjatuh dari gendongannya. Abdurahman terkejut sekaligus merasakan ketakutan
yang mendalam. Belum satu bulan dirinya berurusan dengan aparat kepolisian.
Kini ia telah didatangi oleh orang-orang yang mirip ketika dirinya berada di
kantor polisi.
“Sebaiknya
Bapak ikut kami!!!”
“Ada apa
Pak?!” Abdurahman mencoba bertanya.
“Sudahlah!
Nanti Bapak akan tahu sendiri tujuannya!”
“Bang, ada
apa?!” Aminah keluar dari dalam rumah sebab mendengar tangisan Lailah yang ada
dalam dekapan Abdurahman. Betapa Fatimah terkejut melihat keberadaan tamu yang
tidak diundang. Terlebih perawakan mereka tampak seperti tentara.
“Cepat
Pak!!! Kita tidak punya waktu banyak!”
“Mau dibawa
kemana suami saya?” Aminah mencoba menarik tangan Abdurahman sambil tangan
kirinya mengambil Lailah. Jerit tangis keluar dari mulut Lailah.
“Suami Ibu
akan kami bawa sebentar!” Suaranya sedikit melemah melihat ada tangis dari
Fatimah dan Lailah.
“Tolong
jangan bawa suami saya!!!” Fatimah mencoba menahan Abdurahman. Tangis Lailah
semakin mengeras.
“Sudahlah
Fatimah. Tidaklah mengapa. Aku akan ikut dengan bapak-bapak ini. Bila aku tidak
bersalah mengapa harus takut. Doakan saja biar aku baik-baik saja!” Abdurahman
mencoba menenangkan Fatimah.
Fatimah
hanya berdiri di depan pintu. Diusap air matanya berkali-kali ketika melihat Abdurahman memasuki mobil.
Sementara Lailah tidak henti menangis dalam dekapan Fatimah.
Abdurahman
duduk di bangku belakang mobil dengan diapit oleh dua orang. Tanpa ada
pembicaraan sejak mobil berangkat dari kediaman Abdurahman. Mobil melaju ke
arah selatan menuju Cakung, lalu berbelok ke barat ke arah Pulo Gadung ,
kemudian lurus menyusuri jalan raya Ibu Kota. Mobil sempat beberapa kali
berputar. Hingga kemudian sampai di suatu tempat. Tidak seperti kantor polisi
atau tentara. Tidak pula tampak penjaga di pintu masuk. Suasana lengang. Abdurahman
kemudian dibawa ke ruang tengah. Sudah ada dua orang yang menunggu. Satu orang
dalam posisi duduk. Satunya lagi berdiri tepat berada di samping. Perawakan
keduanya tetap sama seperti orang-orang yang menjemput Abdurahman.
“Silahkan
duduk!” Orang yang berdiri mempersilahkan Abdurahman duduk.
Dalam
ruangan kini hanya tinggal Abdurahman dan dua orang yang sepertinya telah
menanti kedatangan Abdurahman.
Hati
Abdurahman mulai gelisah menanti apa yang bakal terjadi pada dirinya. Pandangan matanya dicoba untuk berani
melihat orang yang berada di hadapannya.
“Bila
engkau memberi informasi kepada kami tentang apa yang kami minta. Maka aku
jamin engkau akan segera kembali ke rumah dengan selamat!”
“Apa yang
bisa saya bantu?” Jawab Abdurahman mencoba untuk sedikit tenang.
“Engkau
harus beritahu kami di mana keberadaan orang ini?” Sebuah foto ditunjukkan
kepada Abdurahman.
“Ma’af,
saya tidak mengerti maksud pertanyaan Bapak!”
“Kamu
jangan pura-pura blo’on!!!” Orang yang berdiri tampak emosi. Meja di hadapan
Abdurahman menjadi sasaran pukulannya.
“Ma’af, sungguh
saya tidak mengenal foto yang Bapak tunjukkan!”
Tiba-tiba
sebuah pukulan menghantam wajah Abdurahman.
“Sebaiknya
engkau tunjukkan di mana keberadaannya!!!” Kembali sebuah pukulan menghantam
wajah Abdurahman.
Orang yang
sebelumnya duduk kini telah berdiri tepat di samping kanan Abdurahman. Darah
mulai keluar dari mulut dan hidung Abdurahman.
“Engkau
waktu itu bertemu dengannya di Surabaya kan?!!”
“Demi
Tuhan, saya tidak mengenalnya!” Kembali Abdurahman membantah sambil meringis
kesakitan.
“Buk !!!”
Sebuah tendangan menghantam dada Abdurahman. Dia tersungkur jatuh ke lantai. Tubuhnya dicoba
untuk berdiri. Namun rasa sakit menghalanginya
untuk sekedar dapat duduk. Dia tertidur di lantai dengan rintihan
kesakitan. Baru saja tubuhnya ingin dijambak. Tiba-tiba datang seseorang yang
usianya sedikit lebih tua. Kedua orang tersebut terlihat memberi hormat. Kemudian
ketiganya terlihat bercakap-cakap. Entah apa yang menjadi obrolan mereka. Namun
beberapa saat kemudian ketiganya keluar
ruangan meninggalkan Abdurahman sendirian.
Sayup-sayup
terdengar suara adzan isya. Abdurahman berusaha untuk dapat duduk di tempatnya
semula meski rasa nyeri menghinggapi seluruh sendi di tubuhnya. Di meja
terlihat nasi bungkus lengkap dengan sebotol air minum.
“Silahkan
makan nasi itu!” Tiba-tiba datang orang yang sebelumnya memukuli dia. Suaranya
agak pelan tidak seperti saat pertama kali bertemu.
“Selesai
makan engkau akan diantar untuk kembali ke rumah!”
Betapa
gembira hati Abdurahman mendengarnya. Tapi perasaannya masih khawatir
mempertanyakan ketulusan hati orang yang hampir membunuh dirinya. Dihabiskan
nasi bungkus yang diberikan kepadanya. Ingin rasanya ia segera sampai ke rumah.
Tidak pernah lepas bayangan istri beserta anaknya. Ia tidak dapat membayangkan
perasaan istrinya saat ini.
Mobil
menembus kegelapan malam. Abdurahman duduk seperti posisi awal saat dirinya
dijemput dari rumahnya. Rasa khawatir masih menghinggapi dirinya sepanjang
perjalanan. Dia berharap dirinya selamat sampai tujuan. Hatinya sedikit lega
ketika memasuki gang yang menuju rumahnya. Kurang lebih lima puluh meter jarak
menuju rumah, mobil berhenti.
“Silahkan
anda turun!” Orang yang duduk di samping sopir mempersilahkan Abdurahman turun.
Jalannya
tertatih. Rasa sakit masih teramat terasa. Dicoba untuk berdiri tegak. Agar
terlihat tidak terjadi apa-apa atas dirinya. Abdurahman melihat istrinya duduk
menanti di depan rumah. Lailah tampak berada dalam pangkuannya. Wajahnya tampak
ceria ketika melihat kedatangan Abdurahman.
“Telah
habis rasanya air mata ini menangisi derita yang tidak aku ketahui apa
sebabnya!
“Abang!
Mengapa selalu engkau yang menjadi sasaran mereka? Apakah engkau telah
melakukan sesuatu sehingga mereka mencari-carimu?” Fatimah mencoba bertanya
alasan mengapa Abdurahman yang selalu menjadi sasaran penangkapan.
“Entahlah
Fatimah. Akupun bingung. Sungguh aku tidak tahu alasan mengapa diriku yang
mereka cari. Mereka menanyakan identitas sebuah foto lelaki yang sungguh aku
tidak mengenalnya. Mereka mengatakan bahwa aku pernah bertemu dengan pria
tersebut di Surabaya!”
Abdurahman meringis
ketika bekas luka di tubuhnya dibersihkan oleh Fatimah.
“Abang, ada
baiknya kita pergi ke dokter. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirimu!”
“Sudahlah
Fatimah. Aku tidak apa-apa. Esok
pagi aku sudah harus bekerja!”
“Sebaiknya
esok engkau istirahat saja. Tidak usah kerja dulu!”
“Iya, kita
lihat besok saja. Tapi aku mohon apa yang terjadi pada diriku jangan sampai
engkau ceritakan kepada Yazid ketika nanti dia berada di sini. Aku tidak ingin
masa belajarnya terganggu. Kasihan dia!”
Malam
semakin larut. Suasana di
luar rumah terasa lengang. Lailah telah tertidur. Larut bersama mimpi para
penghuni warga di sekitarnya. Abdurahman dan Fatimah telah bersiap melewati
hari pembawa luka. Menguburnya dalam mimpi tidurnya.
|
Tanpa
terasa tiga tahun sudah Yazid berada di pondok pesantren. Kini saatnya Yazid
menunggu ujian akhir sekolah menengah tingkat atas. Sulaiman, sahabat karibnya
memutuskan melanjutkan kuliah di Jakarta. Bagi Yazid, sudah sampai di ujung
sekolahnya sekarang merupakan suatu anugerah. Dia tulis surat teruntuk keluarga
di Jakarta.
3 April
1999
Teruntuk,
Paman
Dalam
hitungan hari aku akan mengikuti ujian akhir. Lelah terasa perjalanan ini aku tapaki. Akhirnya
di ujung jua aku akan sampai. Kalaulah bukan karena Paman dan Bibi, mana
mungkin aku bisa mendaki.
Terima
kasih kuucapkan. Hampa kasih sayang kedua orang tua seakan terisikan oleh
senyummu berdua. Tiada balas budi yang bisa kuberikan selain do’a, semoga
kebahagiaan selalu bersama kalian. Doakan agar aku tidak mengecewakan kalian di
ujian nanti.
Yazid.
Yazid
berada di perpustakaan ketika ada sebuah surat teruntuknya.
Jakarta,
5 Mei 1999
Teruntuk,
Yazid
Engkau
anak yang baik. Sudah seharusnya kami menyayangimu seperti anak kami sendiri.
Hari-harimu banyak engkau lalui dengan linangan air mata.
Yazid,
selesai sekolah nanti, engkau harus mendaftar kuliah. Almarhumah ibumu ingin sekali engkau
menjadi seorang sarjana. Aku sudah menjual rumah beserta tanah peninggalan
ibumu untuk biayamu selama kuliah.
Yazid,
ada kabar gembira. Lailah hampir mempunyai adik baru. Doakan bibimu, agar
selamat ketika nanti melahirkan.
Abdurahman
Yazid amat
terharu dengan isi surat yang baru dibacanya. Pamannya begitu gigih
memperjuangkan dirinya untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang kuliah.
Padahal ia tahu persis kondisi ekonomi pamannya sebagai pekerja biasa yang
hanya berharap dari upah kecil untuk dapat bertahan hidup tinggal di Ibu Kota.
Gedung
kuliah masih dalam lingkungan pesantren. Hanya beberapa meter dari lokasi
asrama tempat tinggal santri. Fakultas yang dibuka lebih dominan pada program
keagamaan. Karena memang stok tenaga pengajar di bidang agama banyak tersedia
dari lingkungan pesantren sendiri. Dosen bidang studi umum biasa diambil dari
luar lingkungan pesantren. Tetap tempat kuliah terpisah antara mahasiswa putra
dan putri. Ada saat dikumpulkan dalam satu tempat semisal ada seminar tingkat
nasional. Tapi tetap saja terpisah dengan hijab yang tidak ada kemungkinan
untuk dapat sekedar melakukan komunikasi di antara mereka. Khazanah lama,
peninggalan intelektual muslim masa lalu berupa kitab kuning menjadi ciri khas
yang tetap dipertahankan. Menjadi teramat unik ketika khazanah lama tersebut
berdialektikal dengan pemikiran kontemporer. Maka kemudian sering terjadi
perbenturan kepentingan pesantren yang mengatasnamakan agama lewat doktrinal
khazanah lama dengan pencarian jati diri melalui kebebasan berfikir
mempertanyakan setiap bentuk kemapanan. Peraturan pesantren mewajibkan seluruh
santri sudah berada di lingkungan pesantren ketika menjelang malam. Sementara
banyak kegiatan mahasiswa yang dilakukan di luar pesantren dan tidak cukup
waktu untuk dilakukan satu hari.
Ada arus
pemikiran yang sebenarnya sudah lama terjadi di pesantren. Kegenitan berfikir
para mahasiswanya. Perpaduan hasil kekayaan khazanah lama dengan pemikiran
kontemporer yang diperoleh lewat buku-buku filsafat, sosiologi, antropologi,
dan yang lainnya. Khazanah lama menjadi jati diri mereka. Realitas adalah ajang
pembuktian diri. Yang terjadi kemudian bangunan intelektual dengan khazanah
klasik sebagai basis pondasinya. Sikap inklusivitas keberagamaan sebagai hasil
sintesa antara teks keagamaan dengan realitas. Sekembalinya dari lingkungan
pesantren apa yang mereka dapatkan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
menjadi guru ngaji di kampung atau guru formal di sebuah lembaga pendidikan.
Banyak dari mereka meneruskan pengembaraan intelektual di lembaga pendidikan di
luar pesantren. Universitas Islam Negeri Jakarta, Surabaya, dan Jogjakarta
menjadi tempat singgah mereka. Di sini mereka berbaur dengan berbagai macam
lembaga swadaya masyarakat. Di kemudian hari banyak dari mereka yang menjadi
politisi tingkat daerah maupun tingkat nasional. Keberadaan mereka di Senayan
sebagai wakil rakyat dapat kita lihat. Wacana keberagamaan yang bercorak
inklusif dapat ditemukan pada tulisan-tulisan mereka di berbagai media masa.
Wajah mereka pun sering tampil di media televisi, mengulas persoalan
kontemporer yang sedang terjadi di masyarakat. Pola pikir mereka yang melewati
ambang pemikiran kebanyakan masyarakat membuat mereka sering dicap sebagai
antek asing, perusak kemapanan tradisi keberagamaan yang telah lama dianut
masyarakat.
Aktivitas
kuliah telah dijalani Yazid. Kedewasaan berpikir mulai tumbuh sejalan dengan kenakalan
untuk mempertanyakan doktrinal keberagamaan yang oleh pemegang otoritas agama
biasanya dianggap final. Tidak heran bila kegenitan berpikir para mahasiswa
tersebut terkadang berbenturan dengan kepentingan pesantren. Dengan kreatif ide
mereka dituangkan dalam lembaran majalah kampus.
“Bagaimana
persiapan akhir majalah kampus kita kali ini?” Tanya Imron selaku ketua senat mahasiswa,
membuka rapat persiapan akhir untuk penerbitan majalah kampus.
“Hasil
wawancara sudah diketik. Semua rubrik sudah terisi, tinggal sedikit ada
pengeditan. Kemungkinan akhir bulan ini kita sudah bawa ke percetakan.” Jawab
Yazid selaku pimpinan redaksi majalah kampus di fakultasnya.
“Aku berharap edisi majalah kita kali
ini dapat memberikan pencerahan kepada kawan-kawan kita di sini!” Harap Imron.
“Aku kira
pembahasan demokrasi masih amat relevan untuk saat ini. Selama reformasi
berlangsung belum ada konstribusi seperti apa yang telah diperbuat mahasiswa di
luar sana!” Yazid berusaha memberikan argumentasi.
“Ah, mana
mungkin itu bisa terjadi. Kita terbentur dengan peraturan pesantren yang
melarang keluar melebihi satu hari. Status kita yang tidak hanya sebagai
mahasiswa namun juga sebagai santri!” Tegas Sonhaji.
“Oleh
karena itu kita mencoba untuk memberikan kontribusi penyadaran kepada
kawan-kawan kita di sini. Bahwa demokrasi menjadi pilihan terbaik dalam
kehidupan negara bangsa. Keadilan dan persamaan hak adalah harga mati dari
demokrasi. Kita akan mengecam
tindakan refresif pihak-pihak yang telah menculik teman-teman pro demokrasi.
Tapi kita akan lebih fokus untuk menginformasikan nilai-nilai agama yang
mengecam aksi biadab itu. Bahwa agama membuka cakrawala kebebasan berpikir. Banyak
ayat-ayat Tuhan yang secara tegas memerintahkan agar mempergunakan akal untuk
memahami hakekat hidup. Akal diciptakan untuk dipelihara. Keberadaannya teramat
dijunjung tinggi oleh agama. Menyumbat kebebasan berpikir sama berarti dengan
menghilangkan akal.
“Dalam
agama, menumpahkan darah anak manusia sangat ditentang. Dari sini kita mencoba
untuk sedikit memberi dukungan moral terhadap kawan-kawan kita yang sedang
berjuang untuk tegaknya demokrasi yang tidak hanya telah mengorbankan pikiran
tapi juga jiwa mereka!” Yazid berusaha memberi alasan atas topik majalah yang
akan terbit kali ini.
“Hasil wawancara
dengan pakar sosial politik dari Unair, Surabaya, sebagai tambahan menyikapi
berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Ini penting
sebagai bahan informasi penyebab kerusuhan. Apakah kerusuhan merupakan karakter
asli bangsa ini? Atau sebagai akumulasi kemarahan yang selama ini terpendam
atas perilaku ketidakadilan!” Yazid memberi tambahan.
“Aku setuju
untuk mengatakan bahwa demokrasi merupakan pilihan yang paling rasional dalam
konsep negara bangsa. Nilai-nilai Islam sangat mendukung adanya demokrasi. Misalnya
konsep musyawarah yang sejak jauh-jauh hari telah didengungkan Islam.
“Persoalan
konsep negara telah menjadi perdebatan lama dalam ranah pemikiran intelektual
muslim. Berujung kepada pertanyaan apakah aturan Islam mesti diformalkan dalam konstitusi
negara? Atau Islam masuk dalam wilayah praktek kehidupan sehari-hari. Tidak
harus diformalkan dalam perundang-undangan negara!” Imron memaparkan
pendapatnya.
“Menurtku
formalisasi hukum Islam adalah bentuk romantisme masa lalu. Sulit untuk
merasionalkannya. Apakah mungkin dengan pluralitas keberagamaan saat ini. Belum
lagi berapa banyak sekte-sekte dalam Islam itu sendiri. Siapa yang bisa
menjamin satu kelompok sebagai refresentasi yang mewakili seluruh umat Islam di
dunia?” Sonhaji tampak semangat mengomentari ucapan Imron.
“Di negara
demokrasi kita harus menghormati setiap pilihan!” Sela Imron.
“Baik,
semua itu menjadi bahasan dalam sajian utama kita!” Yazid mencoba menengahi
perdebatan yang mulai timbul.
Hobi tulis menulis
membuat Yazid dipercaya memimpin majalah di kampusnya. Tulisannya sering kali
memuat tentang kisah seputar kehidupan anak manusia. Setiap tinta yang tertoreh
mampu memasuki relung yang terdalam dari para pembacanya. Ia sangat menikmati setiap kali memuat sisi-sisi
kisah hidup orang yang ditulisnya. Bukan sekedar fakta yang ditampilkan. Perasa
juga turut ikut andil menghiasi tulisannya. Kesan haru dari pembaca sering kali
diterima di meja redaksi.
Bulan
Ramadhan sebentar lagi tiba. Santri biasanya diliburkan. Pulang untuk sementara
waktu ke daerahnya masing-masing. Sebagian masih tetap tinggal di pesantren
untuk mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan selama bulan Ramadhan.
Seperti
yang lain, Yazid pada awal Ramadhan di tahun kedua kuliahnya tidak dapat libur
kembali ke Jakarta. Maka ditulislah surat teruntuk pamannya.
1
November 2001
Teruntuk,
Paman.
Paman,
bulan Ramadhan hampir tiba. Aku belum bisa pulang ke Jakarta di awal Ramadhan.
Sebab masih ada mata kuliah yang harus aku selesaikan. Kemungkinan pertengahan
Ramadhan baru aku dapat pulang ke Jakarta.
Salam
teruntuk bibi, adikku Lailah dan Ridho.
Yazid
|
Sudah
setengah bulan Yazid berada di Jakarta dalam rangka libur Ramadhan. Selama itu
pula Yazid merasakan beban berat yang harus dipikul oleh pamannya. Krisis
ekonomi yang melanda negeri ini sangat dirasakan oleh orang-orang seperti
Abdurahman, pegawai kecil yang harus memenuhi kebutuhan hidup yang kian hari
semakin sulit untuk dijangkau.
“Yazid,
kenapa engkau termenung? Tampaknya ada yang engkau pikirkan sehingga terlihat
gelisah raut wajahmu?” Tanya Fatimah melihat perubahan raut wajah Yazid.
“Bi, aku
merasakan beban berat yang kalian pikul. Terlebih saat ini aku masih kuliah.
Bukannya membantu tapi malah menambah berat beban ekonomi kalian.” Yazid
menjelaskan kegelisahan dirinya.
“Jangan
berpikir seperti itu. Kami yakin Tuhan tidak pernah tidur. Dia pasti melihat kita. Mendengar setiap
apa yang kita minta.”
“Sempat
terbersit dalam benakku untuk tidak meneruskan kuliah.”
“Pamanmu
pasti akan marah bila mendengarnya. Dia bertekad mewujudkan impian ibumu, menyekolahkanmu
sampai selesai.”
“Tapi,
Bi....”
“Sudahlah
Yazid. Sekarang makanlah dulu. Bibi makan bersama pamanmu nanti.”
Abdurahman
baru saja menyelesaikan makan setelah seharian bekerja di pabrik. Ia lalu
menemui Yazid yang sedang asyik menonton televisi bersama Lailah dan Ridho.
“Yazid,
bibimu bercerita kepadaku. Ia mengkhawatirkan dirimu. Seharian engkau
termenung.”
“Paman, aku
hanya kasihan kepada kalian. Aku takut kuliahku menjadi bebanmu di sini.”
“Percayalah,
engkau tidak menjadi beban kami di sini. Biaya kuliahmu sudah dapat terpenuhi
oleh hasil penjualan rumah beserta tanah peninggalan almarhumah ibumu. Teruskan
kuliahmu. Penuhi cita-cita ibumu!” Demikian jawaban yang selalu diterima dari
pamannya.
“Paman,
esok aku ingin ke makam ayah dan ibu. Lusa kemungkinan aku kembali ke Jawa
Timur.”
Seperti
biasa, setelah Idul Fitri Yazid selalu menyempatkan diri pergi ke makam kedua
orang tuanya untuk berdoa dan membersihkan rerumputan yang biasanya tumbuh di
sekitarnya.
Kenangan
masa lalu kembali hadir di benaknya saat kakinya memasuki desa tempat masa
kecilnya dihabiskan. Hamparan petak sawah yang dahulu terbentang sepanjang mata
memandang, kini telah berganti deretan perumahan mewah. Air jernih yang
mengalir di sepanjang sungai yang
membelah kampung, kini warnanya telah berubah menjadi hitam pekat. Sudah tidak tampak lagi anak-anak kampung
yang berendam dan bermain di dalamnya. Tempat berkumpulnya anak-anak yang
dahulu berada di masjid, kini telah pindah ketempat-tempat play station. Tidak
ada lagi tanah lapang yang masih tersisa untuk tempat anak-anak berkumpul
melakukan permainan. Dahulu acara perkawinan biasanya ditunggu oleh para warga,
terutama anak-anak dan remaja. Malam harinya semua tumpah ruah menuju tempat layar
tancap berada. Mereka duduk tanpa alas. Kini layar tancap telah pindah ke dalam
rumah-rumah para penduduk. Banjir menjadi petaka. Bukan menjadi berkah.
Ikan-ikan yang saat banjir biasa menyapa ke halaman rumah penduduk telah
terusir oleh limbah pabrik.Tidak lagi tampak Engkong Syarif yang biasa
membangunkan warga menjelang sholat shubuh. Suara khasnya terdengar setiap kali
melantunkan adzan lima waktu. Jama’ah sholat merasa nyaman karena masjid selalu
bersih tanpa debu. Hampir setahun katanya Engkong Syarif telah meninggal.
Sampai saat ini belum ada satupun orang yang berkeinginan untuk
menggantikannya. Tinggal ustadz Jamal, guru ngaji yang masih tetap dalam
kesederhanaannya di masa tua. Sabar dengan kondisi ekonominya yang serba
pas-pasan. Sementara di samping kanan kirinya berdiri kokoh rumah-rumah mewah
milik muridnya yang kini telah menjadi orang sukses di kampungnya.
Angin sore
berhembus menerpa wajah Yazid. Hening menyapa para penghuni yang terlelap dalam
tidur panjangnya. Di sini rumah keabadian. Milik semua orang. Kepastian yang
tak diharapkan. Kenyataan yang sering kali terlupakan. Di sini tempat memutar
memori bagi yang hidup. Mengenang segala asa yang sempat tak terajut.
“Ayah, ibu...,
jauh berliku jalan yang kulalui. Menapak aral penuh dengan duri. Andai engkau
masih hidup. Kasih sayangmu bisa menjadi penghangat dinginnya malam-malam yang
kutempuh”. Sebait do’a menutup lamunan panjang Yazid.
Tidak kuat
ia menahan air mata ketika melewati sebuah rumah. Meskipun cat warna rumah
telah diganti oleh keluarga baru yang menempatinya. Tapi sejuta kenangan tidak
mungkin hilang dari ingatannya. Rumah tempat ia terlahir dan tumbuh bersama
kasih sayang ibunya. Senyum sang ibu dan lambaian tangannya seakan mengiringi
langkah Yazid.
Di
sela-sela perjalanan ziarahnya. Tidak lupa ia hampiri rumah ustadz Jamal, guru
mengaji semasa kecilnya. Minta restu agar selalu mendapat petunjuk Yang Kuasa.
Memperoleh ilmu yang bermanfaat. Setelah itu tidak lupa berkunjung ke rumah
Asep, sahabat karibnya. Berbagi cerita tentang keadaan kampung selama setahun.
“Di balik
kesedihanmu, engkau mungkin lebih beruntung dibandingkan aku. Engkau sekarang
bisa kuliah. Ilmu agamapun engkau dapatkan. Sedangkan aku?. Hanya kurang lebih
satu tahun bekerja langsung terkena PHK. Cari kerja saat ini teramat sulit.
Kami hidup mengandalkan hasil panen sawah milik orang kota. Tapi kini
sawah-sawah itu kemungkinan besar akan dijual kepada pengembang perumahan real
eastat. Bukan hanya kami. Semua tanah persawahan di kampung kita ini lambat
laun akan punah berganti dengan bangunan rumah-rumah mewah. Banyak rumah
penduduk yang tinggal di pinggir-pinggir kali tergusur demi kepentingan
pengembang. Tanpa ada konpensasi. Hanya sedikit uang kerahiman. Itu pun mereka
dapatkan dengan berdemontrasi terlebih dahulu. Dengan alasan tanah yang ditempati adalah tanah negara.
Lantas buat apa ada negara? Mereka sudah tinggal puluhan tahun. Jika memang
tidak boleh. Mengapa tidak sejak awal mereka dilarang untuk tinggal? Kami,
orang kampung di sini, hanya mampu mengintip kemegahan bangunan rumah di tempat
kami dulu mencari sesuap nasi lewat bertanam!”
Begitulah
setiap kali Yazid bertemu Asep. Bersama mengenang masa kecil mereka. Masa lalu
yang tidak akan mungkin lagi di dapat anak-anak yang tidak se zamannya. Hanya
mungkin mereka peroleh lewat cerita orang-orang tua mereka. Bahwa di sini pernah ada petani. Di sini
pernah ada pencari ikan. Di
sini tempat bermain anak-anak kampung saat hari libur. Di sini pernah ada
segerombolan kambing-kambing dan kerbau.
Hari
keberangkatan telah tiba. Tiket kereta api telah dibeli satu hari sebelumnya.
Hanya pamannya yang mengantar Yazid hingga ke stasiun Senen.
“Bibi, aku
berangkat!” Dicium tangan bibinya. Wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya
sendiri. Dicium pula pipi gadis kecil, Lailah, yang berdiri di samping ibunya.
Sementara Ridho merengek dalam gendongan ibunya, seakan tidak mengizinkan Yazid
untuk pergi. Bukan semata perpisahan, namun lebih karena menangisi nasib malang
yang ada pada Yazid.
Pamannya
masih setia berdiri saat kereta api jurusan Surabaya mulai berangkat. Perlahan
kereta semakin menjauh dari pandangan. Sampai akhirnya hilang membawa Yazid
bersama penumpang lainnya menuju Surabaya.
Kota
Surabaya masih tertutup kabut saat kereta api sampai di stasiun Pasar Turi,
Surabaya. Yazid menyusuri jalan becek yang disebabkan oleh air hujan, menuju
bus kota yang menuju terminal Purabaya, Surabaya.
Hawa dingin
merasuk ke setiap calon penumpang yang berada di terminal. Awan hitam terlihat
menggelantung di langit Surabaya. Hari ini adalah bulan Januari. Rasa lelah
membuat Yazid ingin istirahat sejenak di tempat tunggu calon penumpang.
Suasana
pagi tidak membuat sepi para penumpang
yang datang dan pergi. Sementara bus antar kota berjajar rapi sesuai dengan
rute tujuannya masing-masing. Mata Yazid menerawang ke setiap sudut terminal.
Pandangan matanya terhenti ketika menengok kearah kiri tempat duduknya. Gadis
remaja berjilbab putih dipadu dengan pakaian yang serasi duduk menyendiri.
Kulit tubuhnya bersih, hidungnya mancung, mata agak sipit dengan bulu mata
lentik. Dihias dengan sentuhan produk kecantikan yang menempel di pipi dan
bibirnya, menambah pesona kecantikan alami yang dimilikinya.
Sayang
hanya sebentar. Gadis tersebut lantas beranjak dari tempat duduknya, pergi ke arah
deretan bus yang sedang menunggu para penumpang. Yazid hanya bisa memperhatikan
dari tempat duduknya. Sampai akhirnya tubuh gadis tersebut menghilang di antara
kerumunan calon penumpang lainnya.
Lamunan
Yazid terhenti saat seorang kondektur bus menyebutkan sebuah nama daerah tujuan
penumpang. Ia setengah berlari menuju antrian bus yang ada dalam terminal.
Matanya menengadah ke setiap plang papan nama alamat tujuan bus antar kota.
Sebuah bus tampak keluar perlahan-lahan. Yazid segera berlari mengejar. Ia
berhasil masuk melalui pintu belakang. Kemudian menuju bangku penumpang yang
masih kosong. Tubuhnya langsung disandarkan ke tempat duduk. Keinginannya untuk
melepaskan lelah lenyap seketika saat ia menyadari keberadaan seseorang yang
tepat berada di sampingnya. Wanita berjibab putih itu kini ada di dekatnya.
Gadis itu hanya tersenyum ketika tanpa disengaja keduanya beradu pandang. Dadanya
bergetar. Tingkahnya menjadi serba salah. Diam membisu. Seribu pertanyaan
rasanya ingin diajukan, namun satupun terasa sulit keluar dari mulutnya.
Mengapa hilang seketika keberanian yang ia miliki.
Kurang
lebih setengah jam dari terminal keberangkatan. Baru ada kata-kata yang
terlontar dari mulut Yazid teruntuk gadis yang berada di sampingnya.
“Maaf, bila
boleh tahu hendak kemana tujuan Adik?” Yazid mencoba memberanikan diri bertanya
tujuan gadis yang berada di sampingnya.
Pandangannya
semula mengarah ke sisi kiri jendela kaca mobil. Dialihkan mukanya ke arah Yazid.
“Oh, ke
Besuki!” Sedikit ucapannya namun mengandung sejuta rasa. Bibirnya tersenyum
simpul. Pandangan matanya sebentar diarahkan ke Yazid, kemudian ditundukkan.
Yazid
tertegun tidak berkedip menatap wajah malu gadis di sampingnya. Pipinya sedikit
berubah merah. Bibirnya ranum basah terasa. Pandangan matanya lalu dialihkan ke
lain tempat ketika mengetahui gadis itu sedikit risih sebab perhatiannya. Lama
gadis itu memperhatikan pemandangan di luar jendela kaca mobil. Yazid seperti
serba salah. Antara keinginannya yang mendalam untuk lebih dekat mengenal gadis
yang berada di sampingnya. Dan perasaan khawatirnya bila pertanyaannya malah
menyinggung. Namun rasa ketertarikannya membuatnya menanggalkan rasa khawatir.
Dia coba tarik napasnya, menyusun kata yang tepat.
“Hendak
kembali atau ingin megunjungi sanak saudara?” Pertanyaannya diajukan ketika
gadis itu asyik memandangi alam sepanjang jalan. Tampak perlahan wajahnya
dialihkan ke hadapan Yazid.
“Saya
hendak ke pesantren!” Jawabannya singkat dengan tetap tersenyum.
Yaizd agak
terkejut mendengar jawaban atas pertanyaannya. Ia seperti mendapat peluang yang
besar ketika gadis yang di sampingnya mengatakan pesantren sebagai tempat
tujuan.
“Apakah
pesantren Khairo Ummah?”
“Iya, Kakak
tahu pesantren Khairo Ummah?” Kini berbalik keadaan. Gadis itu terlihat
penasaran mendengar ucapan Yazid tentang pesantren tempat tujuannya.
“Saya juga
ingin menuju ke sana!” Yazid tampak lebih tenang karena tujuan dirinya sama
dengan gadis yang berada di sampingnya.
“Kebetulan
saya kuliah di sana. Apakah Adik santri juga? Atau hanya ingin berkunjung untuk
bertemu salah satu santri di sana?.”
“Saya
termasuk santri juga!” Senyumnya lepas. Terasa ada kebersamaan.
Kini tidak
ada rasa canggung dalam diri Yazid. Begitupun dengan gadis di sampingnya. Mereka berdua saling berbagi cerita
tentang dunia mereka masing-masing. Ada di satu tempat beda dunia. Mereka tinggal di satu pesantren. Hanya
terpisah tembok pembatas.
Dia sebut
namanya Auliya. Asalnya dari kota Surabaya. Kini ia berada di tingkat akhir sekolah menengah
atas. Sepanjang perjalanan, tidak henti Yazid mengagumi kecantikannya.
Kepribadiannya dihiasi dengan tutur kata yang sopan dan lembut. Lengkap terasa Tuhan
menciptakannya sebagai seorang wanita. Di atas, awan hitam tampak berarak.
Sepertinya akan menumpahkan air, menyirami seisi bumi yang ada di bawahnya,
tidak terkecuali bunga-bunga yang kini telah mulai tumbuh di hati Yazid.
|
Andai waktu
bisa ditarik kembali, maka satu keinginan Yazid yaitu dikembalikan saat ia
bersama Auliya. Saat itu terasa bermakna apa yang terucap, terlihat, maupun
yang terdengar. Kini yang tersisa hanya
bayang Auliya. Kemana kaki melangkah, di situ terasa ada Auliya. Mengapa ada
perasaan seperti itu? Adakah Auliya seperti dirinya yang mengharap adanya
pertemuan kembali?
Dinginnya
malam tidak menyurutkan semangat Yazid menorehkan tinta dalam selembar surat.
Teruntuk,
Auliya
Auliya
apa kabar?
Maaf
bila surat ini mungkin membuat ketenangan hatimu terusik.
Saat aku
mencoba berteman dengan sepi. Tapi yang kudapat hanya bayang masa lalu yang
kemudian kuratapi. Bila engkau melihat rembulan tanpa bintang, maka itulah aku.
Bisa membuat gembira tapi merana dalam sepi nan lara.
Mudah-mudahan
engkau bisa menjadi tempatku untuk berbagi cerita.
Yazid.
Surat
pertama Yazid terkirim melalui gadis kecil, tetangga pesantren yang sekolah di
komplek santri putri. Besar harapan agar segera mendapat balasan dari Auliya.
Kemana akan dibawa segala persoalan hidup kalau bukan kepada seseorang yang bisa
diajak berbagi.
Hati Yazid
terasa berbunga-bunga ketika suratnya mendapatkan balasan dari Auliya.
Teruntuk,
Kak
Yazid.
Kak,
kabarku baik. Semoga demikian pula dengan dirimu saat ini.
Aku
merasa tersanjung bisa menjadi tempat berbagi cerita hidupmu. Harapanku, bila
esok mentari terbit, semoga menjadi awal dimulainya keberuntungan bagi
hari-hari yang akan engkau jalani.
Auliya.
Kasih
sayang yang telah lama hilang seperti tumbuh kembali. Kehadiran Auliya menjadi
semangat baru dalam kehidupan Yazid.
Teruntuk,
Auliya
Kabut
hitam seakan menutupi hari-hariku. Aku terseok sepanjang perjalanan hidupku. Aku hanya menatap bisu saat kematian
ayahku. Tidak tersisa air mata saat ibu menyusul kematian ayah.
Engkau
datang ketika tubuh ini terasa kering oleh kemarau panjang penderitaan hidup.
Engkau beri aku asa untuk bisa tersenyum menatap hari esok. Aku terasa kembali
dalam dekap ayah. Seakan aku berada dalam buai ibu. Rasanya itu bisa kudapat
hanya darimu. Walau sebatas kasih sayang.
Yazid.
Beberapa
kali Yazid melayangkan surat kepada Auliya untuk berbagi cerita hidup. Dibalas
pula oleh Auliya dengan ungkapan yang tulus, memberikan semangat hidup baru
teruntuk Yazid. Tidak jarang
Auliya pun meminta saran tentang persoalan hidup yang dialaminya.
Kenikmatan
berbagi ternyata tidak berlangsung lama dimiliki Yazid. Berada di pesantren
membuat Yazid dan Auliya berada di dua tempat yang saling berjauhan. Di
pesantren terdapat aturan yang membuat mereka tidak bisa saling berkomunikasi.
“Yazid…!”
Ustadz Gufron tiba-tiba memanggil Yazid.
“Ada apa
Ustadz?”
“Saya ingin
bicara denganmu!” Ustadz Gufron mengajak Yazid ke suatu tempat.
“Yazid, apa
benar engkau mengirimkan surat kepada salah seorang santri putri?”
Yazid
sedikit terkejut dengan ucapan ustadz Gufron. Dia terdiam sesaat. Tidak menduga
perbuatannya akan diketahui oleh orang lain. Terlebih oleh ketua kamarnya
sendiri.
“Saya
pernah merasakan apa yang engkau alami saat ini. Menurut saya sangat wajar bila
engkau berbagi cerita dengan seorang wanita di usiamu sekarang ini. Tapi kita
hidup di pesantren yang punya logikanya sendiri. Apa yang kita perbuat pasti terkait
dengan peraturan di sini!” Ustadz Gufron mencoba menasehati Yazid.
“Saya minta
maaf Ustadz, bila perbuatan saya
melanggar aturan pesantren. Jujur, memang saya telah menulis surat kepada
seorang santri putri.”
Ustadz
Gufron diam sebentar. Kemudian meneruskan kata-katanya yang sempat terputus.
“Dahulu ada
sepasang santri yang saling jatuh cinta. Mereka dikeluarkan dari sini sebab
diketahui melakukan pertemuan di luar pesantren. Kasihan, mereka akhirnya
dipulangkan ke rumahnya masing-masing. Pupus cita-cita mereka untuk bisa
sekolah di sini. Tidak sampai di situ. Di mata masyarakat mereka dianggap
kotor. Tidak berguna. Terusir dari pesantren berarti telah menjadi santri yang
durhaka!”
Yazid hanya
terdiam mendengar apa yang disampaikan oleh ustadz Gufron.
“Saya
merasa sangat berdosa kepada orang yang saya kirimi surat. Dia pasti merasa tertekan di sana sebab
apa yang telah saya lakukan. Biarlah saya sendiri yang menanggung resiko atas
perbuatan saya ini. Jangan sanksi dirinya sebab perbuatan saya!”
“Sudahlah
Yazid, tidaklah mengapa. Ambil pelajaran dari kasus ini agar kamu lebih
berhati-hati lagi di kemudian hari. Sekarang engkau harus menghadap pengurus
pesantren. Ini surat panggilan yang ditujukan kepadamu.” Ustadz Gufron
memberikan selembar kertas yang berisi surat panggilan untuk segera menghadap
pengurus pesantren.
Surat
panggilan ataupun surat peringatan dari pengurus pesantren biasanya terlebih
dahulu diberikan kepada ketua-ketua kamar untuk selanjutnya disampaikan kepada
santri yang bersangkutan.Yazid baru menyadari mengapa ia harus menghadap
pengurus pesantren. Surat-suratnya yang terkirim ke Auliya ternyata dapat
diketahui oleh pengurus pesantren.
Tempat
masalah. Ukurannya tidak luas. Di sini semua masalah yang terkait dengan santri
diselesaikan. Bila dari tempat masalah tidak bisa diselesaikan maka akan
langsung dibawa ke pengasuh pesantren, pemegang otoritas tertinggi sebagai
eksekutor. Tidak ada pembela. Terlebih pengacara untuk mendampingi santri yang
terkena masalah. Ada tim investigasi di bawah kendali bagian keamanan. Terdapat
buku panduan tentang kewajiban lengkap dengan sanksi, dari sekedar membaca Al-Qur’an
sampai ke pengusiran dari pesantren secara tidak hormat.
Yazid duduk
tepat menghadap seorang petugas bagian investigasi.
“Apa yang
telah engkau perbuat?”
“Saya hanya
mengirimkan surat.”
“Apakah
engkau tidak tahu hal tersebut melanggar peraturan di sini?”
“Saya
melakukan sesuatu yang menurut hati nurani saya benar!” Yazid mencoba membela
diri.
“Tapi ini
pesantren, punya aturan main yang mesti engkau taati!” Emosi mulai tampak sebab
jawaban Yazid.
“Saya yakin bahwa setiap aturan dibuat untuk
dan atas nama kebaikan. Itu yang ingin saya lakukan!”
“Kebaikan menurut
siapa? Ini peraturan demi kebaikan bersama!!!”
“Tapi,
apakah santri dilibatkan dalam pembuatan peraturan pesantren? Lebih adil bila
perasaan kami juga diikutkan. Perasaan kaum muda untuk mendapatkan kasih sayang
dari lawan jenisnya. Sekedar kasih sayang. Tidak lebih dari itu!”
“Bukankah
larangan menulis surat cinta demi untuk mencegah perbuatan buruk yang akan
timbul akibat cinta?” Petugas mencoba membahas argumentasi Yazid.
“Ini bukan
mencegah, tapi akan mematikan perasaan cinta di hati setiap orang. Rahman Tuhan
adalah sifat kasih Tuhan. Rohimnya adalah implementasi dari sifat-Nya tersebut.
Buat apa ada teori tanpa praktek? Untuk apa Tuhan mencipta cinta bila tidak
untuk dirasa? Pezina adalah pengingkar cinta. Sebab telah melanggar kode etik
yang dibuat Tuhan. Cinta tidak akan ternoda oleh selembar surat!” Petugas itu
berdiri kemudian melangkah menuju almari pojok ruangan. Ia seperti mengambil
sesuatu. Sebentar kemudian dia telah duduk kembali menghadap Yazid.
“Ini buku
peraturan pesantren. Dibuat dengan mempertimbangkan maslahat dan mudharat.
Semua santri di sini harus patuh dengan aturan yang tertera dalam buku ini.
Siapapun dia tanpa terkecuali. Bagi yang melanggar berarti tidak mentaati
pengasuh pesantren!” Petugas berusaha meyakini Yazid.
“Buku
peraturan pesantren bukanlah ayat-ayat suci tanpa kritik. Tuhan saja punya
alasan ketika menyuruh makhluk-Nya untuk melakukan atau meninggalkan setiap
perintah-Nya. Tanpa alasan, maka tidak harus kita mentaati titah Tuhan!”
“Apakah
engkau ingin mengatakan bahwa tidak ada tujuan dalam peraturan pesantren ini?”
Emosi petugas mulai terpancing dengan argumentasi Yazid.
“Tidak
demikian maksud saya. Saya yakin peraturan pesantren juga mempunyai tujuan.
Sama halnya dengan aya-ayat suci milik Tuhan. Selain ada tujuan, Tuhan juga memberikan alasan
mengapa sesuatu itu dititahkan kepada manusia. Ada sinkronisasi antara alasan
dan tujuan. Mengapa minuman keras dilarang? Sebabnya karena memabukkan.
Tujuannya agar tetap terpelihara akal ini dalam kondisi normal. Kenapa pembunuhan
dilarang? Sebab sifat pembunuhan itu sendiri. Tujuannya agar tetap
terpeliharanya hak hidup setiap jiwa manusia. Mengapa pencurian dilarang? Sebab mengambil barang
orang lain tanpa hak. Tujuannya agar terjamin hak milik bagi setiap individu.
Mengapa zina diilegalkan dalam agama? Karena melakukan hubungan badan tanpa
adanya akad nikah. Tujuannya agar terjamin hak-hak anak. Ada tidaknya sebuah
beban bagi manusia tergantung ada tidaknya alasannya. Realisasi tujuan titah
Tuhan demi kemaslahatan manusia. Apapun bentuk hukum yang mengatasnamakan agama
dengan mngenyampingkan kemaslahatan orang banyak maka harus ditolak.
“Engkau
banyak alasan!” Suaranya mengeras sambil memukul meja yang ada di hadapannya. Tidak
terima dengan sikap Yazid.
“Saya hanya
ingin mengatakan bahwa legalitas formal itu penting. Tapi ada yang lebih
penting dari itu, yaitu hakekat tujuannya. Sehingga ada belas kasih yang
mungkin sedikit jadi pertimbangan. Terlebih surat-surat saya hanya berisi kisah
hidup, tidak lebih dari itu!” Yazid mencoba untuk sedikit mengajak diskusi.
“Ini aturan
yang mesti engkau taati!”
Yazid hanya
terdiam, tertunduk, untuk meredam amarah yang timbul lebih besar. Semua
argumentasi tidak lagi berarti. Hilang logika. Apa yang tertera dalam peraturan
pesantren seperti ayat suci yang harus ditaati dan ikuti. Interpretasi milik
para otoritas pesantren. Santri harus tunduk. Tidak mengikuti berarti
menghilangkan berkah. Berbeda berarti keluar
dari komunitas. Hatinya berontak dengan apa yang didengarnya. Apakah salah
bercerita kepada orang lain tentang derita hidup? Ataukah karena tempat berbagi
ceritanya adalah seorang wanita? Atas nama agama atau adat semata?
“Sekali
lagi engkau berbuat seperti ini, maka engkau akan dikeluarkan dari pesantren!”
Hanya itu
kata terakhir yang ia dengar. Keluar dari pesantren sama saja berarti menghentikan kuliah yang selama ini
ia jalani.
Yazid
diharuskan menjalani hukuman yang diberikan oleh pengurus pesantren. Dia harus
tinggal selama semalam dalam penjara pesantren. Ruangan penjara berukuran dua kali tiga meter. Ada
seorang santri yang terlebih dahulu menghuni penjara pesantren. Rambut kepala
dicukur habis tidak beraturan.
“Sudah
berapa lama engkau di sini?” Tanya Yazid.
“Ini hari
kedua dari tiga hari hukumanku!”
“Maaf, jika
aku boleh tahu apa penyebab engkau masuk ke sini?”
“Ini ..!!!”
Dia perlihatkan papan plang nama yang bertuliskan “Mencuri”. Papan dengan nama
jenis pelanggaran biasanya digantungkan di leher saat harus berdiri di atas
bangku di pinggir jalan tempat santri putra maupun putri keluar masuk
pesantren.
Menjelang
malam. Nyamuk-nyamuk mulai berdatangan mengisi ruang penjara pesantren. Menjadi
teman setia setiap penghuni penjara. Yazid membaca Al-Qur’an setelah selesai
melaksanakan shalat maghrib. Tiba-tiba ustadz Gufron datang dengan membawa dua
bungkus nasi. Dicium tangan ustadz Gufron, sebagai tanda rasa hormat.
“Ini saya
bawakan nasi. Selebihnya bisa engkau bagi untuk temanmu di sini!”
“Terima
kasih Ustadz. Ma’af sudah merepotkan!”
“Tidak
apa-apa. Ambil hikmah dari
semua ini!”
“Entahlah Ustadz. Di satu sisi saya mengakui
bahwa perbuatan saya telah melanggar peraturan pesantren. Tapi saya tidak dapat
membohongi diri sendiri bahwa saya teramat mencintainya. Apakah saya berdosa
Ustadz bila saya mencintai seseorang?”
“Engkau
tidak perlu sesali apa yang sudah terjadi. Biarkan cintamu mengalir. Ikuti kata hatimu. Kita tidak pernah tahu kapan cinta itu
akan datang. Cinta adalah perasa. Tanpa harus terucap. Hati yang berbicara.
Cinta adalah keabadian. Tidak terikat oleh waktu. Dia stabil, utuh. Untuk masa
lalu, kini, dan hari esok. Cinta adalah kasih sayang. Tanpa selalu harus
memiliki. Bila ada rasa benci. Jika ada amarah. Bila ingin memiliki. Maka
yakinlah itu bukan cinta. Itu
hawa nafsu. Tipis beda antara cinta dan hawa nafsu. Cinta membawa kebaikan.
Hawa nafsu mendatangkan kegelisahan.
“Yazid,
perteguh hatimu bila engkau memiliki cinta. Minta ampun kepada Tuhan bila itu hanya hawa
nafsu. Esok engkau pasti akan tersenyum bersamanya jika di hatimu ada cinta!”
Yazid duduk
menyendiri di kamar. Dia masih belum percaya atas hukuman yang baru selesai
dijalaninya. Mengapa kebahagiaan yang baru saja dinikmati harus dirampas? Lama
ia menantikan kasih sayang yang telah lama menghilang dari kehidupannya. Hingga
akhirnya datang Auliya, menutup semua kenangan duka masa lalu. Haruskah air
mata datang kembali menghiasi malam-malam sepinya? Tidakkah sudah cukup lama ia
bergulat dalam keluh?
|
Langit
tampak cerah. Teriring kepergian mentari kembali ke peraduannya. Menyisakan
lembayung bergelayut di dinding-dinding langit. Pandangan Auliya tertuju pada
awan yang berarak. Matanya tak berkedip. Seperti ingin menembus rahasia ilahi di balik cakrawala tak bertepi. Bertanya
tentang kabar seseorang.
“Auliya..!!!”
“Oh, Mbak
Dewi?”
“Sedang
apa? Sampai tidak tahu ada yang datang!”
”Oh, tidak
mbak!”
”Kamu pasti
berbohong! Pasti terjadi sesuatu pada dirimu. Raut wajahmu terlihat muram!”
”Mbak
Dewi!!!” Dari luar kamar tampak Nuraini, Solihah dan Maemunah.
”Kapan
datang Mbak?!!”
”Baru saja!
Kalian baru pulang sekolah?”
”Iya!!!”
Serempak mereka menjawab.
”Auliya kok
sendirian? Tidak ikut bersama kalian!”
”Dia lagi
tidak enak badan Mbak!” Jawab Solihah.
”Apakah
sakit?”
”Iya, sakit
perasaannya! Ha, ha!” Jawab Maemunah sekenanya.
Auliya
tampak diam tanpa ekspresi. Enggan untuk menanggapi komentar teman-temannya
itu.
”Begini Mbak...” Nuraini mencoba untuk
menjelaskan.
”Tadi pagi
ia dihukum sebab berkirim surat dengan santri putra. Dia merasa tertekan dengan ancaman akan dikeluarkan
dari pondok pesantren!”
”Apakah
benar Auliya?” Tanya Dewi sambil menggenggam jemari Auliya. Sesaat kemudian
Auliya telah jatuh dalam pelukannya.
”Sudahlah
Auliya, tidaklah mengapa. Di usiamu saat ini, engkau berhak mendapatkan kasih
sayang dari siapapun, termasuk dari seorang lelaki.”
”Mbak..!
Mengapa mereka tidak memahami perasaanku?”
”Mereka
bukan tidak memahami perasaanmu. Hanyasanya mereka bertindak dengan aturan di
sini sambil mengenyampingkan perasaan mereka sendiri” Dibiarkan Auliya
menumpahkan perasaannya. Menangis untuk sedikit menghilangkan beban jiwanya.
”Sekarang
makanlah jajanan khas Banyuwangi yang aku bawa!”
”Gimana Mbak
acara lamarannya?” Tanya Nuraini.
”Iya,
setengah bulan aku berada di rumah. Akhirnya datang juga masa penantian itu. Lelaki
itu benar-benar memenuhi janjinya. Dia datang bersama keluarganya untuk
melamarku. Kedua keluarga sepakat untuk acara resepsi pernikahan akan digelar
kurang lebih dua bulan dari sekarang di rumahku, Banyuwangi. Kemungkinan satu
minggu ini aku akan tinggal di pesantren. Selain untuk mengurus izin berhenti
dari pesantren, aku juga mengundang kalian untuk hadir pada pesta perkawinanku
nanti. Aku harap jangan sampai kalian tidak hadir!”
”Pasti kami
akan hadir!”
Semua
menyatu dalam kegembiraan Dewi Kartika. Hanya Auliya yang tetap membisu.
”Auliya..,
janganlah engkau larut dalam kesedihanmu!”
”Aku tidak
sedang bersedih sebab diriku. Tapi untuk seseorang. Aku takut ia akan menderita
dalam kesendiriannya”
”Itu
namanya ada sesuatu yang kini telah tumbuh dalam dirimu!”
”Entahlah
Mbak, apakah perasaan kasihan atau lebih dari itu!”
”Tuhan memang Maha Kuasa. Dia persatukan hati dua insan lain jenis dengan berbagai cara. Aneh menurut
kita. Sepele menurut-Nya. Aku
merasakan itu bersama lelaki yang sekarang menjadi calon suamiku. Pertemuan
kami hanya sekali ketika tugas kuliah kerja nyata yang aku lakukan di daerah
terpencil tahun lalu. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi. Sampai
akhirnya tiba-tiba ia datang ke rumah menyampaikan keinginan untuk melamarku. Itulah
jodoh. Aneh tapi nyata. Tidak dapat diduga kapan akan datang. Di mana
tempatnya. Yang paling penting, kita harus optimis berusaha meraihnya. Tidak
lupa memohon yang terbaik dari Yang Kuasa.
Bila ini jalan hidup yang digariskan dari-Nya. Teruntukmu dan dia. Maka
nikmati dan syukuri. Anggap itu sebagai anugerah. Pasti akan datang aral yang
menjadi bumbu penyedap rasa perjalanan hidup kamu berdua. Yang kelak akan
menjadi pengantar tidurmu.
Auliya, jangan pernah berharap ada bahagia dari orang lain dari kita. Berusahalah
untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Bila engkau ingin mengetahui
ada atau tidaknya kasih sayang di hati seseorang teruntukmu. Jangan pernah
engkau tanyakan kepadanya. Tapi tanyakan kepada dirimu sendiri. Adakah kasih
sayangmu teruntuknya?
Bulatkan tekadmu. Sucikan niatmu. Siapkan mentalmu. Sebab apa yang kita
harap sering kali berbeda dengan apa yang diberi. Yakini hati bahwa itu yang
terbaik!”
Pagi
menjelang. Setiap santri telah keluar dari asramanya masing-masing. Menuju
madrasah tempat belajar ilmu agama.
Gadis kecil
itu telah lama berdiri di ujung gang. Ia berlari ketika mengetahui
keberadaan Yazid.
“Kak, ini
ada surat untukmu!” Sebentar
matanya menatap Yazid. Seperti mengetahui kesedihan hati Yazid. Setelah itu
berlalu dan menghilang di balik gang jalan yang menuju pesantren.
Teruntuk,
Kak
Yazid
Entah
kekuatan apa yang membuatku berani mengirimkan surat teruntukmu. Aku dengar
keadaanmu sama sepertiku di sini. Dipaksa untuk tidak boleh bertemu meskipun
itu sekedar surat.
Kak Yazid,
aku hanya seorang wanita yang selalu mengedepankan perasaan. Aku tidak ingin
lukamu kembali menganga di saat engkau telah sedikit bisa tersenyum.
Kak,
tersenyumlah. Jangan berhenti. Meskipun itu terasa pahit.
Auliya.
Teruntuk,
Auliya
Auliya,
engkau pertaruhkan segala resiko hanya untuk memberiku semangat hidup. Parasmu
sungguh telah menjadi cerminan hatimu yang terdalam. Aku berjanji, engkau
selalu akan kubawa, kapanpun, dimanapun aku berada. Walau sebatas bayangmu.
Yazid
Kali ini
Yazid berpesan kepada pembawa surat agar suratnya langsung diberikan kepada
Auliya, juga agar dibakar setelah dibaca.
|
Pusat kota
kabupaten. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan
menggunakan bus antar kota. Usai melakukan wawancara untuk kebutuhan majalah
kampus, Yazid menyempatkan diri mampir ke warnet. Layanan internet hanya bisa
dinikmati kalangan tertentu di pesantren. Para santri biasanya mampir ke warnet
di sela kunjungan mereka ke pusat kota.
Yazid
terkejut ketika matanya tertuju pada layar monitor di depannya. Ada nama baru
masuk dalam emailnya, vienlysby@plasa.com, begitu identitas email yang dia
terima. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, muncul di layar monitor pesan
teruntuknya.
Kak .., tentu
saat ini perasaan bahagia sedang menyelimuti dirimu. Engkau pernah mengatakan
padaku, bahwa masa lalu terlalu berharga untuk kita lupakan. Ada tangis serta
senyum di masa lalu yang tak mungkin hilang. Bila masa lalu begitu berharga,
apakah salah bila detik ini kuucapkan “Selamat Ulang Tahun teruntukmu….”
Dariku,
Auliya
Senyum
simpul keluar dari bibirnya. Selama hidupnya, baru kali ini dia diingatkan pada
masa lalunya, masa awal pertama kali tangis keluar dari bibirnya.
Bukan
karena masa lalu yang membuatku bahagia. Tapi perhatian darimu selama ini yang
membuat hidupku lerbih berarti. Terima kasih atas perhatiannya.
Yazid.
Begitu
pesan balik yang ditulisnya.
Sore itu,
untaian lembayung menggelayut di ufuk barat. Mentari hampir balik
keperaduannya. Sementara burung-burung sore telah kembali ke sarangnya. Satu
lagi episode kehidupan anak manusia perlahan berlalu, menyusul
lembaran-lembaran masa lalu yang menumpuk di laci takdir Tuhan. Seorang gadis
remaja, termenung dalam kesendiriannya. Dialah Auliya, lengkapnya Auliya Dwita
Sari. Ia terlahir di pulau Madura. Karena alasan ekonomi, keluarganya lalu
pindah ke Surabaya. Setelah SMP, ia kemudian disekolahkan ke pesantren.
“Auliya,
ada surat untukmu!” Suara Nuraini membuyarkan lamunan Auliya.
“Dari
siapa?”
“Dari Kak Yazid!”
Teruntuk,
Auliya
Lama
perasaan ini aku simpan dalam hati. Saat pertama kali aku lihat senyummu. Sejak
itulah tumbuh perasaan sayang dalam jiwa. Hari-hari telah kulalui bersamamu
dalam khayalku. Detak jantungkupun seakan terpompa lewat desah nafasmu. Bukan
karena kecantikanmu hingga tumbuh benih cinta di hatiku. Tidak ada yang bisa
kuberikan teruntukmu selain kasih sayang. Kedua orang tuaku telah
meninggalkanku sejak aku kecil. Beruntung aku mempunyai seorang paman yang
dapat membiayayaiku kuliah sampai saat ini. Kuharap ada secercah harapan bagiku
untuk mencintaimu.
Yazid.
Tidak
terasa setetes air mata jatuh menimpa pipinya. Lama ia ingin mengetahui isi
hati Yazid tentang perasaannya yang terdalam, lebih dari sekedar berbagi
cerita.
“Auliya,
mengapa engkau menangis?” Tanya Nuraini.
“Aku
menangis sebab takdir yang membawaku untuk selalu dekat kepada Kak Yazid. Jiwa
ini semakin merindu saat diriku dipaksa untuk menjauh darinya!”
“Engkau
harus hati-hati, sebab ujian akhir sekolah semakin dekat!” Nuraini mencoba
untuk menasehati sahabat karibnya.
“Entahlah
Nur, sempat aku berpikir untuk meninggalkannya sejenak. Tapi itu tidak bisa!”
“Engkau harus
berpikir untuk masa depanmu!”
“Nur, Kak
Yazid adalah masa depanku. Dengannya
aku bisa tersenyum. Salahkah bila ada rasa saling butuh di antara kami. Bukan
sebab belas kasihan. Namun saling butuh akan kasih sayang. Itu yang aku rasa!”
“Itu hak
engkau. Tapi terkadang rasionalitas lebih harus dikedepankan ketimbang
perasaan. Jangan sampai engkau membabi buta demi sebuah cinta. Andai saja
kasusmu ini sampai ke Ibu Nyai, maka persoalan akan semakin rumit. Aku sudah
berbicara kepada kepala keamanan putri agar masalah ini tidak diteruskan ke Ibu
Nyai. Aku yang menjamin kejadian ini tidak akan terulang lagi pada dirimu!”
“Aku sangat
berterima kasih kepada engkau, Nuraini. Tidak hanya support yang engkau
berikan. Lebih dari itu, engkau pertaruhkan dirimu demi sebuah persahabatan.
Tapi aku minta maaf. Mataku
telah buta, telingaku telah tuli, dan jiwa ini telah mati rasa. Diriku telah
tenggelam dalam bayang Kak Yazid. Biarkan takdirku berjalan bersama Kak Yazid!”
Tekadnya
bagai karang, siap meruntuhkan setiap uji yang menerjang. Hilang rasa takut.
Pasrah pada takdir. Yakin inilah yang terbaik.
Cinta
adalah nilai. Dia bisa menembus dinding yang tebal, gunung yang tinggi, serta
lautan yang dalam. Cinta juga dapat menghubungi mereka yang berada di alam
kematian. Tubuh Auliya dan Yazid mungkin terhalang dinding, terbelenggu dalam
aturan sepihak. Tapi jiwa mereka menyatu dalam ikatan kasih sayang.
Malam kian
larut. Menyatu dalam gelora hati para pemuja cinta. Orang yang dimabuk cinta,
tidak mungkin bisa memendam perasaan cintanya. Auliya pun demikian adanya.
Keceriaan yang memancar dari wajahnya, berasal dari cinta yang ada dalam hatinya.
Tangannya mulai mengayunkan pena, merangkai kata, menuangkan isi hati dalam
bentuk tulisan.
Teruntuk,
Kak
Yazid
Mungkin
sudah kodrat Yang Kuasa. Kita dipertemukan di sini. Dan di sini pula hati kita dipersatukan. Jangan
engkau bawakan aku sekeranjang emas atas nama cinta. Selusin sutrapun tidak
usah engkau hadapkan padaku. Aku hanya butuh secawan anggur kasih sayang. Akan
aku tuang dalam gelas asmara. Kita akan rengguk bersama di atas meja cinta. Aku
sangat yakin jika masih ada cinta suci di hati setiap insan. Cinta yang bisa
menyatukan kaya dengan miskin, jelek dengan rupawan, tua dengan muda. Cinta
yang menempatkan perasaan sayang ada di atas segala-galanya.
Kak,
kupersembahkan cintaku teruntukmu. Sayangi dan marahilah aku dengan kasih
sayangmu.
Kekasihmu,
Auliya
Genderang
cinta telah ditabu. Alam berubah warna. Terisi butir mutiara milik berdua.
Lenyap semua insan dalam pandangan. Lenyap segala duka masa lalu. Selamat datang di alam cinta. Tempat
berkumpulnya dua jiwa yang sedang terlena.
|
”Kapan
engkau berangkat ke Surabaya Yazid?” Tanya Sonhaji, selaku ketua panitia
penyelenggara seminar nasional yang diadakan di fakultasnya.
“Esok, Sabtu
sore aku berangkat bersama Arif. Biar malamnya aku bisa bermalam di rumahnya.
Minggu pagi aku sudah janji via telpon untuk bertemu dengan narasumber kita di
rumahnya!”
“Usahakan
agar ia dapat menghadiri acara sesuai dengan rencana kita. Setelah itu baru
bisa kita rapat untuk membicarakan perihal yang lainnya!”
“Oh iya,
kemarin aku sudah bertemu dengan manager sebuah perusahaan rokok yang ada di
kota ini. Katanya ia siap akan menjadi sponsor sekaligus memberi bantuan
finansial. Kemungkinan tiga hari sebelum pelaksanaan seminar kita sudah dapat
memasang umbul-umbul di sekitar jalan depan pesantren sampai ke aula tempat
acara kita.
“Nah, kamu
sendiri gimana Rul? Sudah ada
kontak dengan senat putri?”
“Aku sudah
bertemu ketua senat putri lewat telpon. Banyak kok yang rencananya mau ikut
bila acara jadi kita adakan. Mereka bertanya berapa biaya untuk ikut seminar
kita!”
“Wah
Sahrul!!! Kalau ngomong masalah putri paling semangat!” Seru yang lainnya
sambil bersama keluar dari kampus.
Yazid dan Arif
bersiap-siap berangkat ke Surabaya untuk meminta kesediaan seorang tokoh agama
yang kebetulan menjabat sebagai ketua wilayah salah satu organisasi keagamaan
yang ada di Surabaya. Seminar untuk menyikapi kekerasan atas nama agama yang
belakangan terjadi di wilayah Indonesia.
Malam telah
larut ketika mereka sampai di Surabaya. Yazid kemudian bermalam di rumah Arif.
Keesokan paginya keduanya telah siap berangkat ke alamat yang ingin dituju.
Keduanya tidak mengalami kesulitan bertemu dengan calon narasumber. Karena
sebelumnya telah ada perjanjian untuk bertemu. Akhirnya proposal permohonan
kesediaan menjadi narasumber disepakati. Keduanya lalu kembali ke rumah Arif.
Tidak lama kemudian keduanya telah siap kembali menuju pesantren. Selama di
Surabaya, Yazid menyempatkan diri mampir ke warnet. Mengirim kabar ke Auliya.
Auliya
sayang. Semoga kabarmu baik. Seperti kabarku saat ini. Ketika meulis pesan ini
aku sedang berada di Surabaya.
Auliya,
dua puluh hari lagi, Insya Allah akan ada seminar di pesantren untuk umum. Aku
berharap engkau bisa ikut. Mungkin aku dapat melihat dirimu. Meski dari kejauhan.
Demikian
pesan email yang ia tulis teruntuk Auliya.
Semua
panitia seminar telah berkumpul di ruang senat.
“Pembicara
dalam seminar sudah dipastikan akan hadir seperti rencana kita!” Sonhaji
membuka rapat.
“Tinggal
satu orang pembicara lagi sebagai pendamping yang akan kita ambil dari dosen lokal
di sini. Aku berharap Yazid dan Arif segera dapat menghubunginya untuk
memastikan kesediaannya. Agar masalah narasumber seratus persen selesai!
“Sahrul,
agar segera menyampaikan surat izin keikutsertaan santri putri ke bagian keamanan.
Arif, mulai saat ini secepatnya mencari tambahan dana ke instansi atau donatur
yang mungkin untuk dimintai. Fauzan tolong segera cari informasi untuk
kebutuhan konsumsi peserta. Sedangkan aku dan Imron akan berusaha
menginventarisir peserta yang akan kita undang!” Sonhaji berusaha mengatur semua
kebutuhan yang terkait dengan seminar.
“Iya,
sekalian kita akan undang tokoh-tokoh lintas agama yang ada di daerah kita
ini!” Tambah Imron.
Hari yang
ditunggu telah datang. Sejak semalam semua panitia telah berkumpul di aula,
tempat di mana setiap acara-acara besar pesantren diadakan. Umbul-umbul dengan
gambar merk sebuah perusahaan rokok berjajar di sepanjang jalan. Spanduk
bertuliskan selamat datang lengkap dengan nama pembicara terpampang di pintu
gerbang masuk pesantren. Di dalam aula, ratusan bangku berjajar rapi. Barisan
bangku khusus putri berada di sebelah kanan dengan hijab yang memisah antara
bangku khusus putra. Di depan
terdapat meja khusus bagi pembicara, moderator dan notulen.
Satu
persatu peserta seminar telah datang. Kebanyakan dari mahasiswa yang memang
jarak antara aula dengan asrama santri tidak terlalu jauh.
Dari
kejauhan terlihat rombongan santri putri yang berstatus mahasiswi dan sebagian
ada yang masih duduk di bangku SMA. Mereka berjalan dengan kawalan ketat dari petugas bagian keamanan
pesantren. Derai tawa, canda dan gembira nampak di wajah-wajah mereka. Seragam
mereka disesuaikan dengan status yang mereka sandang. Celoteh santri putra
terdengar menggoda di sepanjang perjalanan menuju tempat acara. Dari dalam aula, pandangan peserta semua
tertuju ke sisi di mana santri putri mulai datang. Memang tidak sedikit peserta
seminar yang ikut dengan alasan karena acara dihadiri oleh santri putri.
Yazid
berdiri di dekat pintu masuk aula. Dia perhatikan satu persatu peserta putri
yang datang. Hatinya berdetak tidak menentu menanti kehadiran Auliya. Apakah
ikut atau tidak. Penantiannya
tidak sia-sia. Di antara antrian peserta putri yang masuk ke dalam aula,
terlihat Auliya. Pandangan Auliya sebentar di arahkan ke kiri, sebentar
kemudian diarahkan ke kanan. Berharap bertemu dengan seseorang, yang tidak lain
adalah Yazid. Bersamanya Nuraini. Keduanya menggunakan seragam SMA. Tangan
kanan Auliya berpegang erat dengan tangan kiri Nuraini. Keduanya saling berbisik
sambil terus memperhatikan ke sekelilingnya. Hati Yazid teramat gembira melihat
Auliya dengan jilbab putih mengenakan pakaian putih abu-abu. Auliya masih
memalingkan wajahnya ke arah kanan. Di saat pandangannya tertuju ke arah kiri,
maka terjadilah pertemuan itu. Hanya sebatas saling memandang. Yazid tersenyum
membalas senyum Auliya. Setelah itu Auliya menghilang, berbaur dengan peserta putri
yang lainnya. Bagaikan guyuran hujan di musim kemarau. Lama merindu terbayar
meskipun dengan senyuman.
Hampir
seluruh undangan telah hadir. Dua narasumber juga telah menempati tempat duduknya. Pembicaraan seputar
sikap inklusivitas keberagamaan mengalir dari kedua pembicara. Intinya, kedua
pembicara mengatakan bahwa semua agama pasti menanamkan nilai-nilai kebaikan
kepada pengikutnya. Tidak dikenal bentuk kekerasan dari agama manapun. Bila
terjadi kekerasan oleh pemeluk agama tertentu dengan mengatas namakan agama.
Itu berarti kesalahan terletak kepada individu pemeluk agama yang salah
menginterpretasikan teks keagamaannya.
Selesai
pemaparan dari kedua pembicara. Moderator mempesilahkan peserta untuk bertanya
atau menanggapi apa yang telah disampaikan oleh pembicara. Banyak dari peserta,
baik putra maupun putri yang urun rembug mencari jalan keluar atas konflik agama
yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
“Baik,
silahkan satu pertanyaan lagi yang mungkin ingin disampaikan!” Moderator
mempersilahkan kesempatan terakhir bagi peserta.
Ada
beberapa peserta yang mengangkat tangannya, termasuk Yazid.
“Ya, silahkan
anda dari peserta putra!” Moderator
mempersilahkan Yazid menuju ke depan.
“Terima
kasih. Perkenalkan, nama saya Yazid, dari fakultas Syari’ah semester enam. Saya
mungkin akan sedikit memberikan solusi, jalan keluar atas konflik agama yang
terjadi di negeri ini. Dialog lintas agama mesti tetap terus dibangun. Dialog
tidak akan menemukan jalan keluar atas persoalan umat bila belum ditemukan syarat-syarat
sebelum dialog terjadi. Syarat pertama adalah lepas dahulu rasa curiga di antara
kita. Biar tidak ada dusta selama rekonsiliasi berlangsung. Kedua, agar
mengenal lebih jauh kehidupan dari kedua belah pihak. Dari sini akan timbul
rasa empati, bukan antipati. Terakhir, pemahaman terhadap teks doktrinal
keberagamaan masing-masing pihak. Sehingga tidak timbul justifikasi agama
kekerasan, anti damai. Karena eksklusifitas keberagamaan timbul dari
interpretasi teks, bukan inti teks itu sendiri!” Demikian komentar Yazid.
Seminar
kemudian ditutup oleh moderator. Peserta perlahan meninggalkan tempat duduknya,
keluar dari aula pesantren. Termasuk dari peserta putri. Mereka keluar dengan
tetap dikawal oleh petugas bagian keamanan. Semua kembali dengan membawa
sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Pemahaman baru. Suasana baru. Bagi Yazid,
itu semua tidak berarti tanpa kehadiran Auliya. Sama seperti Auliya. Seminar
tidak hanya menambah pengetahuannya. Lebih dari itu, kerinduan yang mendalam
pada kekasih tercinta telah terobati. Meski sebatas sekilas pandangan. Baginya
itu telah menjadi senyum pengantar tidurnya.
|
Hari jum’at
pagi. Seperti biasa aktivitas
pesantren sejenak terhenti. Yazid baru saja memisahkan pakaian-pakaian kotornya
untuk segera dicuci. Tiba-tiba seorang teman datang menghampiri.
“Yazid, ada
telpon teruntukmu!”
“Dari siapa?”
“Katanya
dari pamanmu di Jakarta!”
Yazid
segera menuju ruang khusus di mana setiap santri biasa menerima telpon dari
sanak saudara di rumahnya. Hanya ada dua telpon untuk ribuan santri yang ingin
mendapatkan kabar dari rumahnya lewat sarana pesawat telpon. Seorang operator
bertugas menerima telpon untuk kemudian disampaikan kepada santri yang dituju. Santri
biasanya menunggu antrian untuk kembali ditelpon. Tidak boleh menerima telpon
dari pihak wanita yang benar-benar bukan kerabatnya. Pihak operator terlebih
dahulu menginterogasi. Bila argumentasi penelepon untuk bertemu tidak dapat
diterima. Secara otomatis operator tidak akan menyampaikan pesannya itu kepada
santri bersangkutan. Sering kali perlu digunakan penyadap untuk mengetahui isi
dan siapa penelpon.
Terdengar
dering telpon dari atas meja tepat di depan Yazid dan beberapa santri yang menunggu
antrian untuk kembali ditelpon. Operator mengangkat ujung telpon. Berbicara
sesaat. Gagang telpon sedikit dijauhkan dari hadapannya.
“Yazid!”
Operator mempersilahkan Yazid untuk menerima telpon.
Hati Yazid
bertanya-tanya. Mungkinkah pamannya menelpon dirinya? Selama ini tidak pernah
pamannya menyampaikan kabar lewat telpon. Hanya lewat surat biasanya pamannya
bersua dengan dirinya.
“Assalamu’alaikum!”
Yazid mencoba untuk menyapa.
“Apakah
benar ini Yazid?” Terdengar suara laki-laki. Hati Yazid mulai ragu untuk
memastikan penelpon adalah pamannya. Ia kenal betul suara pamannya.
“Iya benar
ini Yazid!”
“Yazid dari
Jakarta?” Suara di ujung sana seperti berusaha memastikan bahwa orang yang
menerima telponnya adalah benar-benar Yazid.
“Iya, betul
ini Yazid dari Jakarta! Ini siapa?” Yazid berusaha menanyakan identitas
penelpon.
Suara di
ujung telpon berhenti sejenak. Hati Yazid tersentak ketika suara yang
sebelumnya berasal dari seorang laki-laki kini berganti dengan suara wanita.
Tampak pelan dan sangat berhati-hati.
“Kak, ini
aku Auliya. Aku ingin ke kota Banyuwangi. Kunanti kau di Ketapang, dermaga
penyebrangan Banyuwangi. Kak, jangan lupa. Aku tunggu engkau sekarang!”
Hanya itu.
Suara di ujung telpon langsung terputus. Yazid hampir tidak mempercayai dengan
apa yang baru dialaminya. Dia kenal betul suara Auliya meskipun baru sekali ia
mendengarnya ketika terjadi perjumpaan awal pertama kali. Dia berusaha bersikap
wajar agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang-orang yang ada di
sekitarnya.
Segera
Yazid kembali ke kamarnya. Mengurus izin kepergian di bagian perizinan.
“Yazid,
engkau mau kemana?” Tanya kawan sekamar Yazid.
“Mau ke
kota, ngecek uang di ATM, apakah kiriman sudah ada atau belum!” Jawab Yazid
berusaha menutupi maksud tujuan kepergiannya.
Perasaan
khawatir dan gembira bercampur dalam diri Yazid. Khawatir bahwa apa yang ia
lakukan, bertemu dengan wanita yang bukan kerabatnya di luar pesantren,
terlebih kekasihnya sendiri dapat diketahui pihak pesantren. Itu berarti
bencana baginya juga Auliya. Terusir dari pesantren pasti akan didapati. Tapi
rasa ingin bertemu dengan kekasih tercinta membuatnya menguatkan tekad. Berani
mengambil resiko terberat yang akan menimpanya.
Becak
mengantarkan diri Yazid menuju pintu gerbang pondok pesantren yang berada tepat
di pinggir jalan raya. Sesekali langkahnya menengok ke kanan dan ke kiri.
Memastikan langkahnya tidak diketahui oleh siapapun.
Yazid
berdiri di pinggir jalan. Menanti
bus antar kota yang menuju Banyuwangi.
Kondektur
bus melambaikan tangan sebagai tanda mobil akan berhenti untuk mengajak
penumpang yang berdiri menunggu di sisi kiri jalan arah mobil. Yazid duduk di sisi paling kiri pada
deretan bangku tengah. Mobil melaju
dengan membawa penumpang kurang dari dua puluh orang.
Sepanjang
perjalanan. Tersaji bentangan luas laut pulau Jawa. Gelombang laut terlihat silih berganti saling
mengejar untuk mendekati pantai. Deretan perahu nelayan menghiasi sepanjang
pantai. Sebentar pemandangan laut hilang terhalang oleh rumah-rumah penduduk
yang berjejer sepanjang pantai. Sementara di sisi kanan mobil terlihat di
kejauhan pesona gunung-gunung yang tinggi mencakar dinding-dinding langit.
Pemandangan kemudian berganti dengan hutan pohon karet menutupi sisi kanan dan
kiri jalan raya. Selepas hutan pohon karet, penumpang disuguhkan kembali dengan
pemandangan indah pesona pantai. Di seberang timur agak menjauh telah terlihat
gugusan pulau Bali. Bus menyisir tepi pantai ujung timur pulau Jawa. Pohon kelapa melambai di sepanjang tepi
pantai. Setelah itu bus memasuki terminal. Perjalanan kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan mobil angkot.
Yazid turun
dari mobil angkot yang ingin menuju kota Banyuwangi. Kemudian memasuki areal
pelabuhan penyebrangan Ketapang, Banyuwangi. Antrian bus antar propinsi yang
ingin masuk dan keluar pulau Bali berjejer berdampingan dengan mobil-mobil
pribadi serta truk-truk pembawa barang. Ratusan sepeda motor turut antri
mendahului kendaraan roda empat. Sementara itu ratusan pedagang turut
meramaikan suasana. Menyatu dengan para calon penumpang.
Pandangan
Yazid diarahkan ke setiap sudut keramaian, mencoba mencari-cari keberadaan
Auliya. Lama ia berdiri. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.
“Kak Yazid
..!”
Suara itu
datang dari arah kiri tempatnya berdiri. Dialihkan pandangannya ke sumber suara
yang memanggilnya.
“Auliya
..!”
Sesosok
tubuh telah berdiri di sampingnya. Gadis berjilbab putih. Dengan tersenyum
tampak anggun berdiri menatap wajah Yazid. Sesekali wajahnya tertutupi ujung
jilbab yang terkena hempasan angin.
Yazid diam
sejenak. Tanpa kata-kata.
Seperti tidak meyakini dengan apa yang dialaminya. Apakah ini mimpi? Bertemu
dengan seseorang yang amat dicintainya. Seseorang yang telah menjadi teman
khayal mimpi-mimpi indahnya. Rasanya hilang seketika beban hidup yang ia alami.
Terbayar dengan seberkas senyum lewat bibir Auliya.
“Maaf, lama
engkau menungguku!” Terasa keluh lidah ketika berbicara.
“Tidak
mengapa. Oh iya, kenalkan, ini temanku Nuraini!” Auliya mencoba memperkenalkan Nuraini
yang berdiri di belakang Auliya.
Lambat laun
keadaan mencair. Terlebih ada Nuraini yang suka sekali cerita keadaan Auliya
yang tidak dapat tidur ketika mengingat Yazid.
Mereka
duduk di atas tepi pembatas antara lautan dan daratan. Angin laut menerpa wajah mereka. Ombak berhamburan
menerpa tembok pembatas. Percikan-percikan air mengenai pakaian mereka. Di sini terlihat jelas kapal ferry yang
merapat di dermaga, menurunkan para penumpang yang datang dari Bali. Ratusan
motor keluar dari perut kapal. Disusul dengan kendaraan roda empat. Satu kapal
mulai beranjak dari dermaga membawa penumpang menuju pulau Bali.
Lama mereka
terdiam. Hanya sesekali pandangan mereka bertemu. Kemudian diakhiri dengan
senyum malu. Tidak henti hati Yazid mengagumi kecantikan Auliya. Jilbab warna
putih membalut kecantikan wajahnya. Bola matanya indah. Pandangannya diarahkan
ke laut lepas. Seperti ingin menumpahkan segenap kerinduan dalam dirinya.
Sesaat kemudian wajahnya diarahkan ke Yazid.
“Kak,
sengaja aku ingin bertemu engkau di sini. Di sela-sela perjalananku ke kota
Banyuwangi untuk menghadiri pesta perkawinan seorang teman alumni pesantren
..!” Suaranya tertahan.
“Kak, ini
sebagai bukti cintaku padamu. Cinta yang tidak akan terkikis oleh waktu dan tempat.
Separuh hati ini terasa terbawa olehmu. Aku tahu engkau begitu menderita dalam
menjalani hidup. Bukanlah belas kasihan yang menyebabkan ada cinta di hati. Lebih
dari itu, kebutuhan akan kasih sayang telah kutemukan darimu!” Air matanya
menetes membasahi pipi indahnya. Yazid hanya terdiam. Larut dalam keharuan.
“Ada satu
hal lagi yang terasa amat sulit untuk diungkapkan. Di surat-suratku, sempat ku katakan
kepadamu bahwa setelah lulus sekolah aku ingin kuliah di Surabaya. Ini yang
membuat malam-malamku teramat sulit kulalui. Kuyakini diriku bahwa inilah yang
terbaik bagi kita. Tapi tetap saja bayangan perpisahan itu begitu menghantuiku.
“Kak,
kuingin engkau berjanji untuk tetap setia mencintaiku. Meski tubuh ini akan menjauh darimu!”
Suasana
hening. Hanya terdengar bunyi ombak. Nuraini agak menjaga jarak. Mencoba untuk
mengerti dengan suasana hati dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Pandangan
mata Yazid jauh ke depan. Menatap kapal yang tampak mengecil melaju menuju
pulau Bali.
“Auliya, di
antara sekian kosa kata yang kusimpan rapi di lubuk hatiku. Kuikrar pada diriku
di hadapan Tuhan. Menjadi balas atas ketulusan cintamu. Kata tersebut adalah
setia. Kesetiaan untuk selalu mencintaimu. Kapanpun. Di manapun. Itu janjiku
..!”
Dihapus air
matanya dengan secarik tissue. Dipaksakan dirinya untuk bisa tetap tersenyum.
Senyum bahagia sebab ikrar dari kekasih.
“Terima
kasih atas janji yang engkau ucapkan. Hati ini terasa lebih lega untuk
menghadapi kenyataan akan terpisahnya tempat di antara kita. Aku telah siap
terbang membawa bayangmu. Tapaki jejakku sebagai penawar rindu. Jangan pernah tanya
tentang hati ini. Ada taman bunga yang telah engkau rangkai. Harum semerbak
mewangi menghiasi hari-hariku. Aku teramat bahagia!”
Kembali
keduanya terdiam memandang laut lepas. Menghayati kebahagiaan dalam dirinya masing-masing.
“Auliya
..!” Suara Nuraini membuyarkan lamunan keduanya.
“Hari sudah
semakin sore. Ada baiknya kita segera menuju kota Banyuwangi. Biar tidak
kemalaman nanti kembali ke pesantren!” Auliya disadarkan oleh Nuraini.
Diantar
Auliya dan Nuraini menuju mobil angkot yang akan mengantar keduanya ke tempat
tujuan. Yazid berdiri di pinggir jalan melihat Auliya memasuki mobil angkot.
Sempat Auliya melambaikan tangannya. Tanda pertemuan telah berakhir.
|
Hari masih
pagi. Keceriaan terpancar di wajah para santri putri yang duduk di kelas tiga.
Mereka bersuka cita merayakan kelulusan. Setelah bergelut dengan pelajaran
selama tiga tahun lamanya di sekolah. Tidak ada aksi corat coret baju seragam
sekolah. Walaupun demikian tidak mengurangi rasa gembira mereka. Pembicaraanpun
mengalir seputar rencana mereka.
”Aku ingin
pergi berlibur setelah pulang nanti. Setelah itu baru kembali ke sini untuk melanjutkan kuliah.” Jawab Solehah
ketika ditanya rencananya setelah lulus.
“Kalau aku
kemungkinan akan dilamar oleh kekasihku yang menunggu di kampung!” Sela Maemunah
santri asal Madura.
“Ha ha ha,
laku nih yeeh ..!” Serempak mengomentari ucapan Maemunah.
“Kamu
sendiri gimana Nur?” Tanya Solehah kepada Nuraini.
“Keinginanku
sih melanjutkan kuliah. Tapi kamu tau sendiri betapa besar biaya kuliah.
Terlebih kota seperti Surabaya. Menurut ayahku, ada kemungkinan aku bisa kuliah
di perguruan tinggi manapun di Surabaya jika masalah sengketa yang menyangkut
tanah milik almarhum kakekku berhasil diselesaikan. Kalian boleh percaya boleh
juga tidak. Ayahku sering cerita, karena persoalan sengketa tanah milik
almarhum kakek, dia seringkali diajak sampai ke Mabes Polri di Jakarta. Menurut
ayahku, seorang perwira polisi ikut membantu menyelesaikan sengketa tanah
tersebut. Makanya semuanya bantu doa yach…?”
“Tapi
ingat, jika sudah berhasil bagi-bagi kita dong!!”
“Engkau
bagaimana Auliya?”.
“Kemungkinan
aku sama dengan Nuraini, ingin melanjutkan kuliah di Surabaya.”
“Auliya,
gimana tuh kabar Kak Yazid?” Nuraini bertanya sedikit berbisik.
“Kemarin ia
kirim surat kepadaku. Mengucapkan selamat atas kelulusanku!”
“Gimana
bila nanti kamu kuliah di Surabaya sedangkan Kak Yazid di sini?”
“Aku sudah
beritahu dia tentang itu. Dan dia pun setuju akan rencanaku. Malah menurutnya
itu lebih baik bagi hubungan kami. Bukankah tidak akan ada lagi yang melarang
hubungan kami?” Auliya tertawa kecil sambil mencubit lengan Nuraini.
“Lihat deh
Adelia..., mengapa ia menyendiri?”
“Hai Adelia,
mengapa engkau bermuram? Ini kan hari bahagia teruntuk kita.”
“Jangan-jangan
masalahnya dengan lamaran dari keluarga pesantren yang membuatnya sedih?”
“Adelia,
mestinya engkau bahagia. Yang akan menjadi calon suamimu itu anak kiyai, lulusan
Mesir lagi! Jarang loh anak kiyai yang mau dengan orang-orang seperti kita yang
bukan dari keturunan darah biru!”
Adelia
Putri. Kembang pesantren asal Banyuwangi. Kecantikannya menjadi buah bibir
setiap santri putra. Tidak hanya cantik. Dia juga santri paling berprestasi di
sekolah. Keindahan suaranya membuatnya sering diutus mengikuti lomba Tilawatil Qur’an
tingkat nasional.
“Aku ingin
sekali melanjutkan kuliah!!!”.
“Engkau kan
bisa melanjutkan kuliah setelah menikah.”
“Lagi pula
mana ada orang tua di daerah kita yang berani menolak lamaran kiyai. Nanti
enggak berkah tahu?” Maemunah menyeletuk, berbicara menirukan gaya seorang ustadzah.
“Aku sudah
berusaha membujuk orang tuaku, agar pernikahan ditunda. Mereka tidak berani menolaknya ! Lagi pula aku
belum mengenal Lora Sa’id!”
“Eeh,
katanya orangnya ganteng lho...!” Kembali Maemunah nyerocos.
“Entahlah,
aku hanya ingin menyendiri dulu, ingin kuliah!”
“Emang
sayang Adelia, jika kamu harus menikah dulu, soalnya otak kamu encer!” Sela
Soleha.
“Lagian,
meski kamu tidak jadi dengannya, puluhan Lora akan antri lho…!”
“Paling
nanti Lora Sa’id akan beralih ke Auliya, he..he..!”
Auliya
hanya tersenyum kecil. Wanita mana yang tidak ingin kecantikan dirinya
disejajarkan dengan Adelia.
“Tapi ingat
Auliya, nanti Kak Yazid kasikan ke aku yah?” Lagi-lagi Maemunah nyeletuk sambil
mencubit lengan Auliya.
“Hus...,
jangan keras-keras nanti kedengaran pengurus pesantren!” Nuraini mencoba
mengerem obrolan.
Selagi
mereka asyik tenggelam dalam pembicaraan. Seseorang datang menemui Auliya.
“Auliya,
ayahmu datang. Kamu disuruh cepat menemuinya!”
“Solihah,
Mae, Nur, ayahku datang!” Auliya segera bangkit dari tempat duduknya. Menuju
tempat yang biasa dikhususkan untuk bertemu dengan santri putri.
“Ayah...!”
Dicium tangan ayahnya.
“Auliya,
cepatlah berkemas, karena kita akan langsung pulang!”
“Ayah, mengapa secepat ini kita berangkat?
Belum sempat aku pamit kepada guru dan teman-teman di sini!” Ujar Auliya ketika
ayahnya datang lalu menyuruhnya segera berkemas. Wajah Auliya terlihat cemas.
Adakah sesuatu yang terjadi di rumahnya saat ini?
“Sudahlah, nanti engkau akan tahu sendiri
mengapa kira harus segera sampai ke rumah!” Jawab ayah Auliya singkat.
Seribu
pertanyaan menggelantung dalam benak Auliya selama dalam perjalanan. Mengapa
secepat ini ayahnya datang kemudian pergi bersamanya. Ayahnya hanya diam seribu
bahasa. Membuat dirinya semakin penasaran. Hatinya gelisah selama dalam
perjalanan. Ada sesuatu yang terasa tertinggal dari dirinya. Dialah Yazid yang
selama ini telah menghiasi hari-hari indahnya. Tidak ada kata-kata yang
terucap, terlebih surat yang tertinggal teruntuknya. Semakin jauh meninggalkan
Yazid, semakin terasa gelisah hatinya. Adakah hari ini awal terpisahnya dua
jasad yang saling mencintai? Dua insan yang dipersatukan oleh perasaan sayang. Diikat oleh tali
kesamaan. Bersama menangis ketika ada nestapa pada kekasih. Dan tersenyum
ketika ada bahagia.
Beberapa
jam kemudian. Sampailah keduanya di terminal Purabaya, Surabaya. Perjalanan
kemudian dilanjutkan dengan menaiki angkot. Tidak lama kemudian keduanya sampai
ketempat tujuan. Tampak ramai orang berkerumun di depan rumahnya. Beberapa
kendaraan diparkir di halaman rumah. Seorang ibu separuh baya terlihat bergegas
menuju halaman rumah ketika Auliya dan ayahnya tiba.
“Aku sangat
khawatir atas diri kalian. Sudah tiga jam lamanya tamu kita menunggu. Syukurlah
kalian segera datang!” Sambut wanita yang tidak lain ibu kandung Auliya.
Auliya
semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Ada banyak barang bawaan di dalam rumahnya. Sanak
saudara juga banyak terlihat. Disalami satu persatu. Beberapa pasang mata
tertuju pada dirinya. Terlontar bisik pujian lewat bibir para tamu. Keindahan
alami anugerah Ilahi.
“Ibu, apa
yang sedang terjadi ?” Auliya mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Auliya, hari
ini adalah hari pernikahanmu!”
Berhenti
terasa detak jantung Auliya. Suara itu bagai petir di siang bolong. Untuk beberapa saat tubuhnya
mematung. Seluruh sendi terasa sulit untuk digerakkan. Tiba-tiba butir air mata
keluar tanpa disadari.
“Ibu minta
maaf karena tidak sempat memberitahukan
sebelumnya kepadamu.”
“Tapi
mengapa secepat ini? Dan apakah mungkin aku dinikahkan dengan lelaki yang sama
sekali aku tidak mengenalnya?”
“Auliya,
calon suamimu yang bernama Haikal sebenarnya adalah saudara jauh kita di
Madura. Ada keinginan yang mendalam agar tidak hilang ikatan silaturahmi
keluarga. Oleh sebab itu sewaktu Haikal kecil, ada keinginan dari ayahnya bila
janin dalam kandungan ibu kelak adalah perempuan, maka akan ditunangkan. Waktupun
terus berjalan. Dan Ibu melahirkan engkau. Di usiamu yang keenam bulan dan
Haikal berusia dua tahun, secara resmi hubungan kalian diikat dengan tali
pertunangan. Sampai pada akhirnya kita pindah ke Surabaya. Haikal kecil
beranjak dewasa. Setelah menyelesaikan sekolah, dia mencari peruntungan ke
negeri orang, Malaysia. Di saat yang sama engkau dikirim ke pondok pesantren
untuk melanjutkan sekolah. Haikal memutuskan untuk kembali setelah tiga tahun
lamanya bekerja di negeri orang. Belum lama keluarga Haikal datang ke Surabaya.
Bermaksud untuk segera meresmikan hubungan kalian ke jenjang pernikahan.
Setelah musyawarah, akhirnya kami memutuskan agar pernikahan dilangsungkan
setelah ujian sekolahmu selesai. Sudahlah Auliya, semua telah menunggu kita di
luar.”
“Ibu, aku
tidak bisa melakukan ini!” Auliya tertunduk sambil menutup wajah dengan kedua
telapak tangannya.
“Auliya,
apakah engkau ingin mempermalukan keluarga besar kita?”
“Tapi aku
tidak mencintainya!” Bela Auliya.
“Perlahan
engkau pasti bisa mencintainya. Kami tahu tentang keluarga Haikal. Mereka orang baik. Sebab itu kami
tunangkan engkau dengan anak mereka. Ini tradisi nenek moyang kita. Mengikat
anak-anak mereka dengan tali pertunangan.”
Auliya
terdiam. Menatap wajahnya di depan cermin. Seperti ingin memastikan bahwa ini hanya mimpi.
“Sudahlah
Auliya. Sebaiknya kita segera keluar. Cukup lama tamu kita menunggu!”
Diusap
sekali lagi air mata yang menetes ke pipinya. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa selama ini dirinya telah bertunangan. Jalannya gontai ketika meninggalkan
kamar rias.
“Di ruang
tengah telah banyak orang menanti kehadiran Auliya. Mereka duduk bersila di
lantai beralas tikar. Ada tempat khusus di mana ayah Auliya duduk bersama
beberapa orang lelaki berhadapan dengan seorang pemuda lengkap dengan stelan
jas berkopiah hitam. Pemuda itu sedikit tersenyum ketika melihat kehadiran
Auliya. Tampak terkesima seluruh yang hadir dengan penampilan Auliya. Berbusana
kebaya dengan sanggul di rambutnya. Wajah muram tidak menutupi kecantikannya. Dia
duduk tepat di samping kanan pemuda yang kelak akan menjadi suaminya.
“Bagaimana?
Sudah siap?” Seorang lelaki yang berada di samping ayah Auliya mencoba memulai
acara. Beberapa ritual pernikahan berjalan hingga selesai.
Kejadiannya
teramat singkat. Menyisakan doa yang dipanjatkan oleh penghulu. Ini nyata. Bukan mimpi. Berkali-kali
Auliya menyadarkan dirinya sendiri. Bahwa lelaki yang kini berada di sampingnya
adalah suaminya. Senyum simpul dipaksakan oleh Auliya ketika ucapan selamat
dari yang hadir diarahkan kepadanya.
Akhirnya
pernikahan tanpa ikatan cinta itupun terjadi. Setegar apapun hati seseorang
bila harus mengenyampingkan cinta sejatinya, maka sulit untuk bisa bertahan.
Lalu takdir biasanya dirangkul sebagai pilihan akhir seseorang untuk melepas
dirinya dari ketidakmampuan. Raga menjadi tumbal untuk dikorbankan. Namun
jiwanya meronta terbang ke alam kebebasan. Begitulah yang kini terjadi pada
diri Auliya. Raganya kini jadi milik orang lain. Tapi jiwanya tidak. Hatinya
jatuh dalam pelukan Yazid.
|
Hidup
layaknya mata uang yang mempunyai dua sisi. Memilih antara ya atau tidak. Keduanya punya
konsekwensi antara suka atau duka. Bila dua orang telah berikrar dalam ikatan
perkawinan, maka hanya ada dua pilihan. Tetap bersama mengayuh biduk rumah
tangga dengan segala riak gelombang di dalamnya. Atau memilih jalannya
masing-masing.
Andai bisa
memilih antara hidup menyendiri atau menikah. Mungkin Auliya lebih memilih
hidup menyendiri. Belum hilang rasa letih sejak kedatangannya di Surabaya, ia sudah
harus pergi ke Madura untuk bertemu sanak saudara dari pihak suami. Setelah itu
ia kembali lagi ke Surabaya. Tubuhnya akhirnya terbaring lemah. Sakitnya kian
diperparah oleh beban pikiran yang dialami. Mengapa ada pernikahan? Kenapa
harus Haikal? Bukan Yazid? Bagaimana kabar Yazid saat ini?
“Makanlah
sedikit Auliya, biar kau cepat sembuh.” Haikal mencoba membujuk Auliya yang
enggan untuk sekedar makan.
Tubuh
Auliya semakin lemah. Membuat Haikal beserta keluarga khawatir akan kondisi
Auliya.
Berhari-hari
Auliya dalam pembaringan. Entah sudah berapa rumah sakit yang dikunjungi,
berapa orang pintar yang didatangi. Namun tidak kunjung sembuh sakitnya. Kemana akan dicari obat luka hati?
Bila ada luka di salah satu anggota tubuh maka ada kemungkinan bagian tubuh
yang lainnya tidak ikut merasakan derita. Tapi bila jiwa ini yang terluka maka
bersiaplah untuk seluruh organ tubuh ikut merasakan deritanya.
“Ayah, Ibu,
bagaimana cara kita untuk menyembuhkan Auliya? Menurut para dokter tidak ada
penyakit yang diderita Auliya.”
“Kamipun
tidak mengerti apa yang diderita Auliya.”
“Ada
sesuatu yang ia pikirkan. Mungkinkah pernikahan ini?” Tanya Haikal kepada kedua
orang tua Auliya.
“Memang
kami yang salah. Kami tidak pernah cerita perihal pertunangan kalian kepada
Auliya. Secepat ini pula kami nikahkan kalian tanpa pemberitahuan pula kepada
Auliya. Kami berpikir hidup kalian seperti masa-masa kami dahulu. Hanya
mengikuti kehendak orang tua. Padahal zaman telah berubah!” Sesal keluar dari
mulut ibunya Auliya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Tinggal sesal yang tiada
guna.
Jarum infus
masih menempel di tangan Auliya. Sudah seminggu lamanya ia terbaring di rumah
sakit. Tubuhnya kurus hanya berbalut tulang. Mulutnya membisu, diam, enggan
untuk menerima semisal sebutir nasi. Pandangan matanya sayu, hambar menatap
setiap wajah yang mencoba membujuknya untuk menerima sesuap nasi. Ia seperti berdemontrasi kepada semua
orang. Raga bisa dipaksa tapi hati tidak. Bukankah membohongi perasaan sama
dengan munafik? Dia tidak menyesal dengan apa yang telah terjadi. Namun ia
hanya ingin mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai.
Termasuk dirinya. Ini harga mati. Betapa Tuhan begitu menghargai arti cinta.
Bukankah ada yang menjadi syuhada sebab cinta. Mari duduk bersama. Bebicara hak
dan kewajiban. Dengan perasa bukan dengan ego. Sampai sejauh mana hak orang tua
terhadap anak-anak putrinya? Menentukan calon suami juga hak prerogatif orang
tua? Sejauh mana bakti anak kepada orang tua? Menyerahkan sepenuhnya pilihan
calon suami kepada orang tua adalah sebagai bakti? Bukankah tujuan sebuah
perkawinan lebih kepada untuk membahagiakan kedua mempelai? Sekarang siapa yang
lebih mengetahui akan bahagia atau tidak sebuah perkawinan. Anak atau orang
tua? Adakah perjalanan hidup menjadi jaminan bagi orang tua akan lebih
mengetahui? Jika yang dijadikan ukuran jauhnya langkah dan pandangan. Bukankah
boleh jadi anak lebih mengetahui?
Begitulah
Auliya berargumentasi. Tidak untuk menyakiti hati orang tua. Lebih kepada
mempertanyakan hak yang ia miliki. Apakah tidak boleh dirinya mencintai?.
“Auliya,
ini aku Haikal. Anggap aku ini yang mewakili asa dalam dirimu. Mungkinkah akan datang sebuah pengharapan
bila tidak ada mentari untuk esok? Berikan aku kesempatan untuk membahagiakan engkau. Mungkin ini teramat
sulit bagimu. Tapi yakinlah bahwa aku dapat memahami apa yang engkau rasakan.
Jangan engkau siksa dirimu demi ketidakadilan yang engkau dapat.” Haikal
berusaha memberi semangat hidup seseorang di hadapannya yang saat ini telah
menjadi istrinya. Auliya tetap diam seribu bahasa. Matanya enggan terbuka.
Dengan
sabar Haikal mendampingi Auliya. Dia penuhi semua kebutuhan Auliya selama
sakit. Tiada yang terlihat dalam jaganya Auliya, terkecuali ada Haikal di
sisinya.
“Ibu ..
!!!” Tiba-tiba terdengar suara dari Auliya. Pelan hampir tidak terdengar.
Haikal
bangkit dari tempat duduknya. Setengah berlari menuju luar rumah. Terlihat
ibunya Auliya di halaman rumah.
“Ibu,
Auliya memanggil Ibu!”
Segera
dihampiri Auliya. Matanya sedikit terbuka. Berusaha untuk dapat bicara dengan
wanita yang berdiri di samping tempat tidurnya. Air mata tampak mengalir dari
kelopak matanya.
“Ibu, aku
minta maaf kepadamu. Aku terlalu egois. Enggan menerima kebaikan yang engkau
berikan” Kata-katanya sedikit tertahan.
“Nak,
engkau tidak bersalah. Ibu
dan ayahmulah yang egois. Tidak pernah bertanya kepadamu mana yang terbaik
untuk dirimu” Air matanya tidak dapat tertahan. Menyesali nasib yang menimpa
anaknya.
“Sudahlah
Bu. Kini aku ingin memulai hidup baru. Melupakan masa lalu. Biarlah yang lalu
terkubur bersama mimpiku.”
Kian hari
kondisi Auliya semakin membaik. Senyumnya sudah kembali bisa dinikmati oleh
setiap orang yang datang menjenguknya. Kini ia menyadari, bahwa lari dari
persoalan tidaklah menyelesaikan masalah. Ia harus tegak berdiri untuk kembali
menjalani apa yang telah menjadi suratan takdir baginya.
Kurang
lebih dua bulan lamanya Auliya bersama Haikal. Selama itu keduanya semakin
mengenal kepribadiannya masing-masing. Haikal termasuk suami yang penuh
perhatian. Diberikannya kasih sayang yang teramat tulus terhadap Auliya. Dia
menyadari betul bahwa hati Auliya tidak mungkin bisa menerima dirinya dalam
waktu dekat.
“Auliya,
Kakak dapat menyadari apa yang ada dalam hatimu. Kita dipertemukan oleh keadaan. Bukan cinta yang
menyatukan kita, tapi kedua orang tua. Walaupun kuakui ada cinta di hatiku
sejak pertama kali aku melihatmu. Rasanya semua yang kuimpikan tentang wanita
ada padamu. Lebih dari itu, hatimu bagaikan sutra. Engkau telan pil pahit
pernikahan. Namun engkau tetap tegar. Dengan senyummu engkau sampaikan
kebahagiaan pernikahan kita kepada orang lain. Engkau korbankan dirimu demi
kebahagiaan orang tua. Sebagai balasan semua itu, aku berjanji atas nama Tuhan
untuk tidak merengkuh tubuhmu bila hatimu belum kudapatkan.” Begitu perkataan
Haikal yang pernah diungkapkannya suatu ketika.
“Kak, aku
minta maaf padamu. Sampai detik ini aku belum bisa sempurna menjadi istrimu.”
“Perkawinan
adalah dua hati untuk satu asa. Mengenyampingkan ego. Sepakat dalam satu biduk. Menerjang riak yang
bergelombang. Itu bisa terjadi bila ada rasa cinta. Jangan hukum dirimu untuk
mendatangkan paksa cintamu. Biarkan ia datang sendiri. Bila tetap harus
menjauh. Itulah takdir.” Yazid selalu memberi semangat hidup untuk Auliya,
istrinya.
Auliya
ibarat bunga yang sedang mekar. Menarik perhatian setiap kumbang yang lewat.
Saat-saat riang yang biasanya dimiliki oleh setiap gadis remaja. Kini tidak
sepenuhnya lagi ia miliki. Oleh sebab ikatan perkawinan. Ada perasaan bersalah pada diri Haikal. Dia seperti
telah memotong masa bahagia Auliya. Di satu sisi dia sadar bahwa dirinya sangat membutuhkan Auliya. Dia
berharap Auliya sebagai tempat pelabuhan akhir cintanya. Maka dia berencana
mencari peruntungan kembali ke negeri orang. Melepas sejenak kebersamaan dengan
Auliya. Sambil memberi kesempatan kepada Auliya untuk merajut kembali masa
remajanya. Menikmati masa indahnya belajar. Ketika rencana tersebut
disampaikan. Betapa terkejut Auliya.
“Kak,
bukankah kita bisa mencari peruntungan di negeri sendiri?” Tanya Auliya.
“Auliya,
aku ingin kelak engkau tidak sekedar menjadi ibu rumah tangga. Engkau bisa
gapai cita-citamu yang sejak lama engkau impikan. Untuk sementara waktu engkau
tidak perlu disibukkan dengan keberadaanku. Aku pasti tidak lama di rantau. Setelah
cukup dapatkan uang, aku segera akan kembali!”
“Apakah
sudah Kakak pikirkan masak-masak tentang rencana itu?”
“Aku sudah
diskusikan dengan keluargaku di Madura. Awalnya mereka juga keberatan dengan rencanaku. Tapi kemudian mereka sangat
memahami keinginanku ini.”
“Apakah
orang tuaku juga sudah mengetahui rencana Kakak ini?”
“Nanti
bersamamu aku ingin membicarakannya!”
Siang telah
berganti malam. Ayah Auliya telah kembali setelah seharian bekerja di toko
jamunya. Segera Auliya dan Yazid menuju ruang tengah di mana Ayah dan ibunya
berada.
“Bagaimana
keadaanmu Auliya? Sudah semakin baik?”
“Alhamdulilah
Ayah, keadaanku semakin membaik!”
“Syukurlah
jika begitu. Kami turut bergembira”.
“Ayah, Ibu
.. !” Haikal diam sebentar. Tampak ragu untuk meneruskan maksud pembicaraannya.
Ia melirik ke arah Auliya.
“Ada apa Haikal?
Sepertinya ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan?”
“Begini Bu
..” Auliya mencoba
menyampaikan keinginan Haikal.
“Ada
keinginan Kak Haikal merantau kembali ke negeri Malaysia!”
Kedua orang
tua Auliya sempat tertegun mendengar ucapan Auliya. Suasana hening sebentar. Haikal sedikit menunduk.
Khawatir bila ucapan Auliya menyinggung perasaan kedua orang tua Auliya.
“Apakah
benar apa yang telah diungkapkan oleh Auliya, Haikal?” Tanya ayah Auliya memecah
keheningan.
“Benar
Ayah. Saya sudah pikirkan masak-masak keinginan saya untuk kembali ke Malaysia.
Mencari peruntungan demi kehidupan kami ke depan”
“Haikal,
apa yang engkau inginkan? Bila butuh modal untuk usahamu, ayah dapat bantu.
Ayah cukup mempunyai tabungan teruntuk kalian!”
“Terima
kasih Ayah. Biarlah saya menjadi lelaki seperti Ayah. Dapat membahagiakan
Auliya, istri saya dengan tangan saya sendiri. Sebagai tanggung jawab saya sebagai
suami. Saya berharap suatu saat dapat memberikan sebuah rumah mungil buat kami
berdua. Itu dari keringat saya sendiri. Terlebih kami masih teramat muda. Masih
banyak waktu untuk mengejar mimpi-mimpi kami yang sempat tertinggal. Saya
berharap Auliya dapat kuliah, meneruskan cita-citanya yang sempat putus. Bila
ia telah dewasa dengan ilmu pengetahuan. Bukankah itu keuntungan bagi saya
sebagai suami?”
Kedua orang
tua Auliya hanya terdiam mendengar alasan Haikal yang ingin kembali ke negeri
Malaysia. Meninggalkan sementara Auliya.
“Haikal,
engkau bisa usaha di sini. Sementara Auliya dapat melanjutkan kuliahnya!” Ibu
Auliya mencoba mencari jalan tengah.
“Ibu, saya
ingin Auliya kuliah tidak hanya untuk mengisi waktu kosong. Saya ingin ia
serius dalam kuliahnya. Tidak disibukkan sementara waktu dengan urusan
keluarga. Jika saya tidak di sini, ia total dapat berkonsentrasi dengan
kuliahnya.”
Suasana
kembali hening. Masing-masing sibuk berpikir mencari jalan keluar yang terbaik.
“Baiklah,
kami orang tua tidak berhak memutuskan apa yang menjadi pilihan kalian. Kami
hanya sebatas memberi saran. Kalian yang menentukan mana yang terbaik buat
kehidupan kalian berdua. Bila ini menjadi kebahagiaan kalian berdua. Kami
sebagai orang tua hanya dapat mengiringi doa kemanapun kalian melangkah!”
Haikal
terlihat sumringah. Bahagia mendengar izin dari kedua orang tua Auliya. Ia
melirik Auliya yang tampak tersenyum. Senyum bahagia atau …?.
Sungguh
mulia hati Haikal. Dia korbankan saat-saat bahagia sebuah mahligai perkawinan
yang seharusnya ia miliki. Demi kebahagiaan Auliya. Dia tatap wajah Auliya yang
telah tertidur pulas. Wajah cantik bernasib malang. Tubuhnya masih tampak
kurus. Derita Auliya baginya lebih banyak disebabkan oleh dirinya. Biarlah ia
pergi untuk sementara waktu. Berharap cinta akan datang seiring berlalunya
waktu.
Waktu keberangkatan
Haikal telah tiba. Di bandara Juanda, Surabaya, Auliya bersama keluarga
mengantar kepergian Haikal. Sesaat sebelum perpisahaan, agak lama Haikal
memegang jemari Auliya.
“Auliya,
jaga kesehatanmu. Berbahagialah engkau dalam belajarmu. Engkau wanita terbaik
bagiku. Kuizinkan engkau untuk melangkahkan kakimu ke mana engkau suka. Aku
pasti akan kembali menemuimu. Hanya doa darimu yang kuharap.”
Wajah
Auliya tertunduk. Tiada kata yang terucap selain butir air mata yang keluar
dari kelopak matanya. Rasa sesal tiba-tiba hadir dalam jiwa. Seperti ada
sesuatu yang hilang dari dirinya. Apakah ini yang terbaik untuk dirinya dan
Haikal? Andai saja ia bersikap untuk mencegah kepergian Haikal, pasti Haikal
tidak akan pergi meninggalkannya. Dirinya seperti sengaja membiarkan Haikal
pergi. Mengapa? Apakah karena tidak ada rasa cinta? Mengapa ketika Haikal ingin
pergi dari hadapannya dirinya merasa kehilangan? Perasaan apakah ini? Apakah karena
Haikal kini telah menjadi suami baginya? Jika benar Haikal telah menjadi
suaminya, mengapa dirinya selama ini belum dapat menerima kehadiran Haikal?
Apakah karena Yazid? Ah, betapa berdosa dirinya. Menghukum Haikal demi menjaga
perasaan cintanya kepada Yazid. Perasaannya bergejolak, antara rasa bersalah
dan kasihan. Dirinya seperti tidak berani menatap wajah Haikal. Tangan kanannya
tidak henti menyapu air matanya dengan tissue.
“Hari ini
aku merasa sebagai orang yang paling bahagia di dunia. Karena ada air mata
teruntukku dari orang yang paling aku cintai.”
Dia kecup
kening Auliya sebagai tanda perpisahan. Sang waktu yang menjadi saksi itu semua. Dan waktu jua yang akan jadi saksi
apakah ada atau tidak pertemuan di antara mereka kelak?
Auliya
masih berdiri terpaku menatap kepergian Haikal. Sesekali wajahnya dipalingkan
ke arah Auliya. Senyum simpul
terbersit dari wajahnya. Berat terasa karena meninggalkan seseorang yang
teramat dicintainya. Lambat laun tubuh Haikal tertelan di antara calon
penumpang lainnya. Tiba-tiba tanpa sadar suara keras keluar dari mulutnya.
“Kak Haikal
.. !!!” Suaranya mengeras mengagetkan kedua orang tua Auliya dan beberapa
kerabat dari Madura. Auliya seakan ingin berlari mengejar Haikal. Mencegahnya
agar mengurungkan kepergiannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Haikal
benar-benar telah hilang dari pandangannya.
“Sudahlah
Auliya. Jangan buat tangisanmu menjadi beban perjalanannya. Mari kita berdoa
bersama-sama agar ia selamat dalam perjalanan dan diberi kesehatan di tempatnya
bekerja!” Sang bunda menghibur Auliya sambil membawanya pergi kembali ke rumah.
|
Keberadaan
sesuatu baru akan terasa bila telah tiada. Begitupun dengan kepergian Haikal.
Menyisakan kegundahan di hati Auliya. Dia baru tersadar bahwa ada rasa kasihan serta cinta di hati Auliya.
Hatinya luluh oleh kesabaran yang telah diberikan Haikal. Sungguh selama ini
dia merasa berdosa. Dia egois. Membiarkan Haikal sendirian untuk kepentingan
pribadinya. Mencintai orang lain yang semestinya ia lupakan.
Dalam
kegundahan yang menyelimuti jiwa Auliya.
“Auliya
...?”
Iya
Bu...!!!”
“Keluarlah
sebentar, ini ada temanmu!”
Segera
Auliya bangkit dari kamarnya menuju luar rumah.
“Nuraini..??”
“Auliya..??”
Keduanya
saling rangkul. Kerinduan masa SMA di pesantren terasa terobati dengan
kehadiran Nuraini.
“Ajaklah
temanmu masuk Auliya. Kasihan lama ia berdiri di luar rumah!”
“Mari Nur
masuk!” Diajaknya Nuraini masuk.
“Sebaiknya
kita ke kamar saja!” Rasa bahagia atas kehadiran Nuraini tidak dapat ditutupi
dari raut wajah Auliya.
“Sebentar
yah, aku ambil air minum dulu. Pasti engkau haus dalam perjalananmu!”
Nuraini
hanya tersenyum kecut melihat perilaku Auliya. Ia masih seperti yang dahulu.
Murah tersenyum kepada siapapun lawan bicaranya. Hanya saja yang membuat
dirinya sedikit aneh adalah kondisi Auliya. Tubuhnya lebih kurus dibanding
keadaannya sewaktu di pesantren.
“Silahkan
Nur, minumlah dahulu!”
“Lama aku tunggu kabarmu, Auliya. Kenapa
engkau tidak hadir di acara perpisahan sekolah kita? Oh iya, kamu tahu enggak
informasi baru? Adelia jadi menikah dengan Lora Sa’id. Sekarang dia telah
menjadi Ibu Nyai di pesantren. Itu berarti kita akan sulit untuk ketemu dia.
Sedangkan Maemunah sekarang ini sudah ikut suaminya bertugas ke Irian Jaya!”
Nuraini banyak cerita seputar teman-temannya yang sebagian besar tidak
melanjutkan kuliahnya di pesantren. Auliya lebih banyak diam mendengar cerita
Nuraini.
“Kamu
sendiri kabarnya gimana Auliya? Tidak pernah aku dengar tentang kabarmu selepas dari pesantren.”
“Aku minta
maaf tidak sempat memberitahukan kepergianku kepadamu.”
Auliya tersenyum
kecut. Dia ceritakan sejak awal kepergiannya. Sampai kemudian tiba-tiba
dinikahkan kepada laki-laki yang ia tidak kenal sebelumnya.
“Aku turut
merasakan kepedihan di hatimu. Maksud kedatanganku kemari hanya ingin
menyampaikan pesan surat Kak Yazid teruntukmu. Persis selang satu hari
kepergianmu surat tersebut aku terima. Aku minta maaf, karena kesibukanku masuk
perguruan tinggi, aku baru bisa memberikan kepadamu hari ini.”
“Oh,
mengapa nama itu kembali hadir setelah sejak lama aku berusaha untuk melupakannya?”
Auliya membatin.
Perlahan
surat itu ia buka, lalu dibacanya.
Teruntuk,
Kekasihku
Auliya
Betapa
hati ini ingin bertemu engkau. Untuk menatap wajahmu hingga bosan. Namun, aku
tidak ingin melihat engkau bersedih oleh karena nasib yang menimpaku.
Auliya
sayang,
Selama
ini aku bisa bertahan, itu karena ada dirimu di sini. Ketiadaan ayah dan ibu
membuatku ingin selalu kembali ke Jakarta. Pamanku yang selalu mencegah. Dia
ingin aku selesaikan kuliahku. Agar bisa menjadi kebanggaan keluarga kelak.
Baru
saja aku terima telpon dari Jakarta. Mengabarkan bahwa pamanku sakit keras. Aku
diharap segera pulang.
Auliya
sayang,
Aku
yakin, bahwa engkau tercipta untukku. Dan sebaliknya, akupun tercipta untukmu. Bila saat ini aku harus pergi. Bukan
berarti akhir dari sebuah pertemuan. Tapi awal dari kerinduan. Engkau pernah
mengatakan padaku, bila lulus sekolah kelak akan kuliah di Surabaya. Kuharap
engkau tetap menungguku bila esok aku belum kembali. Ku yakin engkau pasti
setia selalu. Teruntukku...
Kekasihmu,
Yazid
Setelah
surat tersebut dibaca. Dia peluk tubuh Nuraini. “Mengapa ini terjadi padaku? Ia
bawa sebuah pengharapan yang teramat sulit aku berikan!”
Perasaan
cinta di hati bisa pindah setiap saat. Tapi sulit bagi cinta pertama. Yazid
adalah cinta pertama Auliya. Terlalu banyak kenangan yang telah diberikannya.
Sampai kemudian Haikal datang. Tidak hanya mengambil dirinya. Di hatinya pun
kini ada benih cinta teruntuk Haikal. Satu hati untuk dua orang.
“Nur,
apakah salah bila masih ada cinta di hatiku teruntuk kak Yazid?”
“Auliya,
kita tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi. Yang terbaik adalah menerima kenyataan. Kak Yazid
adalah bagian masa lalumu. Kini kau harus jalani apa yang ada di hadapanmu!”
”Bukannya
aku tidak tahu jika ini tidak layak bagi seseorang yang sudah harus melupakan
masa lalu. Tapi ini persoalan hati. Di mana ada perasaan yang teramat sulit
untuk dihilangkan. Aku harus menerima takdir sebelum waktunya datang. Aku belum
siap. Aku merasa sebagian hidupku masih ada pada kak Yazid. Dia telah
membawanya pergi jauh bersama asa yang lama kuimpikan. Andai saat ini Kak Yazid
dalam kebahagiaan. Tidak terlalu pedih hatiku karena harus melupakannya.
Sepanjang hidupnya, dilalui dengan air mata kesedihan!”
“Auliya,
kita hidup hanya bisa berandai. Tapi tali nasib yang membawa kita ke suatu
tempat yang terkadang kita tidak ingini. Ada kalanya sebuah bintang akan jatuh
masuk dalam pelukan kita. Apakah ada jaminan menjadi lagu di setiap pengantar
tidur kita? Jauh di ujung sana sebuah rencana besar sudah menanti kita.
Yakinlah itu yang terbaik bagi kita. Jangan ditangisi atau disesali. Berdoa
pada Tuhan untuk diberi yang terindah!”
Sebuah
pilihan yang teramat sulit dilakukan. Melepas seseorang di lautan pengharapan yang tak bertepian. Dan merangkul
yang lain untuk bersama mengayuh bahtera. Sambil melihat ajal perlahan
merenggut jiwa yang berada di hempasan dahsyat ombak kehidupan. Tangannya
menggapai-gapai, mulutnya berteriak meminta selembar papan kasih sayang. Namun,
sampan hanya cukup memuat dua orang. Lambat laun tubuh itu tenggelam.
Menyisakan duka nestapa bagi yang melihat, mendengar dan merasakan.
“Auliya,
aku saat ini kuliah bagian hukum. Aku ingin menjadi praktisi hukum. Biar bisa
membantu orang lemah. Sebenarnya aku trauma mengingat musibah yang menimpa
keluargaku. Ayahku ditangkap polisi karena dituduh telah menjual tanah milik
almarhumah kakekku. Untunglah hanya seminggu di penjara. Seorang pengacara
membantu menangani kasus sengketa tanah antara ayahku dengan pengusaha
swalayan. Akhirnya ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Kami diberi kompensasi
atas tanah yang dahulu milik almarhum kakek. Dari situ sekarang ini aku bisa
kuliah. Ada baiknya engkau kuliah Auliya. Engkau bisa memilih fakultas mana
yang engkau ingini. Biar perlahan bisa melupakan kenangan bersama kak Yazid!”
Bujuk Nuraini.
“Nur,
akupun berpikir demikian. Membangun hidup baru bersama Kak Haikal. Melupakan segenap sisa-sisa mimpi indah
bersama Kak Yazid, meskipun itu sulit!”
Beruntung
Nuraini hadir di saat yang tepat. Dia nyalakan kembali obor kehidupan yang hampir
padam dalam diri Auliya. Diajaknya Auliya untuk kuliah di tempatnya.
|
Kini Auliya
telah disibukkan dengan aktivitas kuliahnya. Suasana baru, serta teman baru,
membuatnya melupakan sejenak kejadian selama ini ia alami. Terkadang ketika
sendiri, masih terbayang wajah Yazid. Tapi bayangan keluh Haikal bekerja di
negeri orang langsung menghapus bayang-bayang Yazid. Terlebih, sudah dua kali
Haikal mengirimkan uang teruntuk Auliya. Sebagian dipergunakan untuk
keperluannya sehari-hari, sebagian lagi dia tabungkan.
Belum lama
Haikal mengirimkan surat, mengabarkan perihal dirinya dan menanyakan kabar
Auliya beserta keluarga di Indonesia. Dia juga sempat memberitahukan bahwa
dirinya pada hari raya kali ini untuk sementara waktu tidak pulang. Kemungkinan
hari raya tahun depan ia baru bisa kembali, sekaligus menyudahi pekerjaannya di
Malaysia. Karena saat itu, dia sudah merasa cukup bisa mengumpulkan uang untuk
membuka usaha di Surabaya.
Dia balas
surat Haikal dengan segenap gairah. Memastikan bahwa cintanya kini telah
benar-benar bersemi teruntuk Haikal. Tidak ada lagi aral. Tidak ada lagi tabir.
Tidak pula kebohongan. Cinta memang butuh kepastian. Tidak boleh dipaksakan. Ia
bisa datang saat pagi menjelang. Dia juga dapat hadir saat hayat berakhir.
Cinta butuh waktu. Di ruang tanpa batas itulah cinta memuai. Apakah menggumpal
menjadi kebutuhan atau keinginan. Bila berujung kepada kebutuhan akan kasih
sayang maka katakanlah itu sebagai cinta. Sekarang cinta telah bersemi dalam
jiwa Auliya. Menyatu dalam aliran darahnya. Hangat di setiap desah napasnya.
Hanyut dalam perasaannya. Terpompa lewat detak jantungnya. Dia berharap Haikal
akan segera datang. Dia tidak akan pernah menjadi penghalang kuliahnya. Dia
malah akan menjadi penghalang kuliahnya ketika dirinya tidak berada di
sampingnya. Dia butuh Haikal sebagai penyemangat hidupnya. Tidak esok. Tidak
juga lusa. Tapi saat ini. Segera jangan sampai tertunda.
Akhir
Oktober, mentari terasa tidak bersahabat kepada semua orang. Auliya bergegas
keluar dari mobil angkot yang ditumpanginya. Dia usap keringat yang ada di
wajahnya dengan sapu tangan. Kebetulan hari ini mata kuliah cuma sampai setengah hari.
Diketuk
pintu rumah. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Seperti biasa, dicium tangan ibunya. Sesampai di
kamarnya, dia melihat sesuatu terbungkus rapi.
“Ibu, ini
dari siapa?” Tanya Auliya.
“Oh iya,
tadi pagi pak Pos datang memberikannya kepada Ibu. Sepertinya dari Jakarta.”
Auliya diam
sejenak. Dia mencoba menerka siapa pengirim barang yang hanya mencantumkan
alamat pengirim. Lama ia termangu.
“Mungkinkah
Kak Yazid?” Dadanya terasa bergetar. Dilepas kertas yang menutupi seluruh isi
paket. Matanya tertuju pada sebuah benda yang ternyata berupa diary. Tertera
nama Yazid, lengkap dengan alamat rumah.
“Mengapa Kak
Yazid mengirim diary ini teruntukku?” Matanya tidak berkedip menatap diary yang ada di hadapannya. Hatinya
semakin diliputi oleh perasaan yang tidak menentu. Tangannya mulai membuka
lembar demi lembar.
3
Januari ‘02
Bibirnya
mungil. Bulu matanya lentik. Pipinya lesung. Kulit tubuhnya putih. Menyatu dalam keindahan senyum yang
ditawarkan.
Aku
minta maaf pada kalian. Pada gunung yang menjulang di sisi kananku. Pada lautan yang membentang
sepanjang perjalananku. Pada-Mu Tuhan yang telah menciptakanku. Hatiku telah
terisi olehnya.
Bila
sampai detik ini tiada yang teringat selain dirinya. Maka salahkan pertemuan itu!
Asrama
15
Januari ‘02
Aku tak
sabar untuk sekedar mengetahui kabar darinya. Sedetik bagai seribu tahun. Aku
tersiksa oleh bayang-bayangnya.
Aku
tulis. Lalu aku baca. Kemudian kubuang. Aku tulis kembali. Entah sudah berapa kata yang kurangkai.
Andai surat itu bisa kembali lagi. Akan kuganti kata-katanya dengan yang lebih
baik.
Apakah
ada senyum dari bibirnya? Atau sumpah serapah?
Asrama
22
Januari ‘02
Saat ini
terasa tubuhku melayang, menggapai bintang-bintang di langit. Dia kabarkan
dirinya. Tidak hanya itu, dia juga bertanya tentang kabarku. Dia berharap doa
dariku. Karena hari-harinya kini disibukkan dengan persiapan ujian akhir
sekolah.
Kubaca
suratnya berulang kali. Kusimpan rapi. Dan kubuka di saat menjelang tidurku.
Asrama
12
Februari ‘02
Aku
katakan ia sebagai teman. Tapi mengapa hatiku menangis? Berulang kali namanya
disebut. Namun kenapa
aku yang merasa kehilangan?
Mulut
bisa berbohong. Tangan bisa menolak. Pandangan mata juga bisa menipu. Hati yang
tidak bisa ingkar. Bahwa ada sesuatu.
Kukirim
pesan teruntuknya: Jaga kesehatan!
Asrama
27
Februari ‘02
Masih
gelisah terasa hati. Ada kabar ia sakit. Aku hanya termangu, tanpa bisa berbuat
apa-apa.
Tidak
pernah bisa kudengar suaranya setiap kali kuhubungi lewat telpon. Aku sampaikan
salam derita teruntuknya. Dan aku bawakan sepotong cokelat yang aku ambil dari
rembulan.
Semoga
dikau cepat sembuh. Membawa senyum teruntuk kita semua.
Asrama
5 Maret
‘02
Kuingin
dunia tahu. Sekuntum bunga terkirim teruntukku. Indah, dibalut warna yang
mempesona, menggambarkan kecantikan wajah pengirimnya.
Terlalu
sulit mataku terlelap. Senyum selalu hadir mengiringiku pergi ke alam mimpi.
Selamat
tidur… sayang!
Asrama
13 Maret
‘02
Dunia
boleh berubah. Tapi tradisi tidak boleh tersentuh oleh zaman.
Maaf
bila ketidakbolehan perjumpaan antar laki-laki dan perempuan aku katakan sebagi
sebuah tradisi. Apalagi sebuah surat yang hanya berisikan kata-kata.
Jika
dikatakan untuk mencegah terjadinya perzinahan. Bukankah lebih naif bila harus
menghalangi cinta yang merupakan anugerah Ilahi? Jika dikatakan mengganggu masa
belajar. Bukankah lebih mengganggu jika harus bercinta dengan sesama jenis?
Aku dan
dia telah dihukum oleh aturan yang tujuannya tidak aku mengerti: “Dilarang
bersua lewat surat!”
Asrama
21 Maret
‘02
Nyala
obor dalam jiwaku teramat besar. Hanya takdir yang mungkin bisa memadamkannya.
Aku telah terbawa arus kasih sayangnya. Jiwaku hilang dari alam sadar.
Biarlah
mata ini buta, kuping ini tuli, juga mulut ini bungkam seribu bahasa. Aku hanya
mengikuti kata hatiku. Toh, dia tetap di sisiku. Menuntunku mengecap aroma
bahagia. Bersamanya.
Asrama
1 April
‘02
Aku
tenggelam dalam lautan cinta. Tubuhku basah oleh bayang-bayangnya. Aku meronta.
Berusaha untuk lepas. Namun selalu gagal.
Aku
tidak mengerti. Mengapa setiap kidung yang kudendang terkirim teruntuknya?
Mengapa acap kali angin lewat, aku harap kabar darinya?
Sungguh,
kini ia telah menjadi setan yang kurindu. Mengganggu, tapi kehadirannya
kutunggu.
Belum
lama aku kirimkan sepucuk surat teruntuknya. Aku menghamba. Mengharap cinta
darinya. Bila hatinya tidak sudi. Kemana akan kubawa jiwa ini?
Asrama
15 April
‘02
Duhai,
bagai tersiram hujan saat penantian panjang musim kemarau. Doaku terkabul.
Mimpiku jadi kenyataan. Setelah lama jiwa ini terkatung dalam ketidakpastian
sebuah pengharapan. Akhirnya hatinya berlabuh. Merapat di dermaga penantianku.
Sayangku,
marilah kita tanam hamparan ladang cinta kita. Ditebar dengan benih kasih sayang. Kita rawat
bersama dengan senyum serta saling pengertian. Jangan lupa untuk ditabur dengan
pupuk doa. Semoga kelak menghasilkan buah cinta abadi. Cinta yang tidak lekang
oleh waktu. Tidak rapuh karena tempat.
Asrama
2 Mei
‘02
Lihatlah
rembulan. Dia telah menjadi milik kami berdua. Enyahlah kalian semua. Biarkan
kami berdua menikmati malam-malam kami.
Aku
berbisik pada angin. Jangan balut tubuhnya hingga ia menggigil kedinginan. Aku
titip salam pada mentari. Esok jangan sakiti kulit tubuhnya. Jika itu terjadi,
maka akan menyinggung perasaanku. Biarkan aku berbahagia dengannya.
Asrama
9 Mei
‘02
Dahulu
aku sangat takut pada sepi. Kini ia telah menjadi temanku. Karena di sana aku
bertemu dengan kekasihku, bercumbu dan berbagi.
Namanya
bagaikan jimat. Kusebut setiap saat. Dan kutulis di setiap tempat. Bila ditanya tempat
mana yang paling aku suka? Di alam khayal tempatnya. Aku bisa terbang ke
rembulan bersamanya. Aku arungi lautan luas dengannya. Di manapun. Kapanpun.
Yang terpenting dia di sisiku.
Asrama
18 Mei
‘02
Inikah
yang disebut cinta? Hanya perasa yang bicara. Tersimpan dalam jiwa.
Mengedepankan setia. Akan terluka oleh dusta.
Aku dan
dia. Dia dan aku.
Aku
berbicara atas namanya. Dia bernapas dengan ronggaku. Maaf bila banyak yang
terluka. Karena dia
milikku.
Asrama
29 Mei
‘02
Aku
takut akan perpisahan. Walau itu hanya masalah tempat. Aku yakin itu pasti akan
terjadi. Dia akan kuliah di Surabaya.
Semakin
hari perpisahan itu kian dekat. Meskipun dia berjanji akan selalu setia.
Sungguh,
hari itu teramat menakutkan bagiku. Menghantui saat jelang tidurku.
Asrama
4 Juni
‘02
Ini hari
bahagia kami. Bertahta pualam. Berhias manik-manik mutiara. Bersulam sutera.
Titah
paduka ternoda. Hilang untuk dirasa. Sabdanya pelengkap tawa suka cita.
Tersusun tangga nada masuk dalam telinga. Menari-nari riang gembira. Di atas pentas tepat di hadapan kami
berdua.
Di sini.
Di tempat ini. Kuikrar setia atas nama cinta.
Asrama
18 Juni
‘02
Aku
berharap akan bertemu kekasihku tercinta. Di saat ia akan meninggalkanku. Aku akan pandang
wajahnya hingga puas. Sejuta kata setia akan kuikrar di hadapannya. Biarlah
tubuhnya diambil waktu.
Pasti
sang waktu jua yang akan mengembalikannya teruntukku.
Asrama
21 Juni
‘02
Hidup
berarti mendaki lautan waktu. Di tangga mana kapan akan terhenti, kita tidak mungkin dapat mengetahui.
Sejak
pertama kali kuinjakkan kaki di atas hamparan hari, bulan, serta tahun. Terasa
berat beban di pundak. Aku terengah oleh persoalan-persoalan yang silih
berganti. Aku mengumpat pada keadaan. Baru saja kugandeng tangannya. Mengecup
aroma mewangi bunga-bunga cinta. Mengapa kini ingin dirampas oleh keadaan?
Sapu
tangan akan kulambaikan kala tubuh ini menjauh. Barangkali ada yang melihat dan menyampaikan detik-detik
kepergianku.
Sayangku,
daku pasti kembali kepadamu. Untuk membawa segenap derita hidup yang tiada
seorangpun dapat menyembuhkan selain dirimu.
Asrama
22 Juni
‘02
Tadi
siang aku tiba di Jakarta. Disambut dengan linangan air mata kesedihan. Aku
baru menyadari bahwa pamanku telah pergi untuk selamanya. Selama ini dibalik
senyumnya ternyata terdapat penyakit yang tak pernah diceritakannya padaku.
Bibi baru bercerita setelah aku desak tentang penyakit paman. Ternyata sakitnya
disebabkan bekas pukulan orang-orang yang pernah menyiksanya dahulu.
Kini,
orang-orang yang paling kami kasihi telah tiada. Menyisakan derita panjang yang
akan kami lalui. Karena beliau, kami di sini bisa tersenyum. Beliau tidak hanya
telah menjadi pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Demikian pula bagiku.
Aku
panjatkan doa di pusara paman. Teruntuknya, ayah beserta ibuku yang telah
mendahuluinya. Aku berjanji akan menjaga istrinya sebagaimana ibuku sendiri.
Dan menyanyangi anaknya, seperti adikku sendiri.
Jakarta.
29 Juni
‘02
Seminggu
di Jakarta. Aku
seperti berada di sebuah persimpangan. Antara maju, bergelut melawan keadaan.
Atau mundur, pasrah, lalu mati perlahan.
Bagiku,
masalah adalah bagian dari konsekwensi hidup. Tapi menjalaninya yang terkadang membuatku menangis
dalam sepi. Aku bingung harus berbuat apa. Tiada terpikir bagaimana esok,
terlebih lusa. Yang ada dalam benak adalah hari ini.
Aku
langkahkan kaki menyusuri lorong kota Jakarta. Panas terik matahari, asap knalpot, menjadi teman
setia. Sementara
selembar map, kuapit dengan tangan kiri. Lelah terasa. Tubuhku bermandikan
keringat.
Jauh
kuberjalan. Aku menepi di setiap pintu yang bisa kuharap. Namun tiada yang
dapat membuat hatiku berbunga, selain pasrah menyimpan kata-kata dalam hati :
“Tidak ada lowongan!”
Jakarta.
31 Juli
‘02
Kini aku
mengetahui. Mengapa banyak senyum yang hilang dari kita. Banyak jiwa yang harus
kembali karena jerat tali di leher. Banyak pula adat dan keyakinan yang hilang.
Tidak sedikit kekasih yang saling mencintai, namun tidak bisa memiliki. Oleh
karena keadaan yang menyebabkan itu semua.
Jiwaku
dipenuhi perasaan gundah. Sampai dengan sebulan lamanya di Jakarta. Belum aku
dapatkan tempat bersandar teruntuk keberlangsungan hidupku, bibi, serta
anak-anaknya.
Kemana
akan kucari sesuap nasi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi?
Jakarta.
15 Sep.
‘02
Waktu
terus berjalan. Menyisakan hari-hari tanpa kepastian. Aku telah berlari ke
barat, timur, selatan, dan utara kota Jakarta. Belum juga kutemukan apa yang
menjadi harapanku.
Aku
sangat yakin bahwa jika ada yang tercipta, maka ada yang menciptakan. Akupun
yakin, bila di sini tertanam kebaikan, maka ada bahagia yang akan dipetik di
sana. Yang aku belum yakin adalah soal sesuap nasi. Apakah juga telah tercipta sebelumnya
teruntuk kita semua?
Aku
tersadar ketika diingatkan oleh kematian. Tapi kala aku melihat diriku hari
ini, menyaksikan derita orang-orang yang kusayangi saat ini, maka aku protes
pada Tuhan dalam doaku.
Jakarta.
31
Agustus ‘02
Teruntuk,
Auliya
Aku
bagai jasad tak bernyawa. Tidak mampu untuk berlari, terlebih memberi. Aku
hanya bisa bersua lewat diary ini.
Auliya,
kuharap engkau diselimuti rasa bahagia dalam menjalani hari-harimu. Bila sampai
detik ini tak ada kabar yang bisa kuberikan, maka umpatlah keadaan. Namun
ketahuilah, tidak sedikitpun cintaku berkurang padamu. Namamu terpatri dalam
sanubariku. Sebab ada benih kasih sayang yang pernah kita tanam bersama di masa
lalu.
Kini,
aku telah menjadi seorang pemarah, pendendam, pendengki. Aku persalahkan mereka
yang berkuasa. Aku maki
mereka yang katanya punya agama. Mengapa ada derita pada sebagian orang. Sementara ada tawa di sebagian yang lain?.
Jakarta.
9 Sep.
‘02
Teruntuk,
Auliya
Auliya,
adakah aku di ujung bibirmu? Terlipat dalam sanubarimu? Menggumpal menjadi air mata rindu?.
Auliya,
tubuhku tenggelam. Aku menggigil dalam keputusasaan. Raihlah tanganku. Peluk tubuhku. Meskipun
sebatas doa.
Jakarta.
20 Sep.
‘02
Teruntuk,
Auliya
Telah
banyak usiaku dimakan waktu. Hanya harap yang bisa menghiburku. Semakin hari terasa jauh jarak di antara
kita. Bukankah uang yang bisa mendekatkan yang jauh? Bukankah uang pula yang
bisa mencipta khayal menjadi nyata?
Aku
bersimpuh pasrah dalam doa. Mengharap suatu ketika, ada hari yang mempertemukan kita. Bukankah
terkadang masih ada keajaiban? Semoga.
Jakarta.
29 Sep.
‘02
Sungguh
ini sebuah keajaiban. Ikatan derita yang melilit di sekujur tubuh terasa lepas. Ada secercah
harapan di depanku. Aku menangis oleh haru yang masuk ke seluruh tubuh.
Hari ini
aku bisa tersenyum. Senyum yang timbul bukan karena ada paksa. Setelah sekian lama
aku berkubang dalam derita lumpur pengangguran.
Yang
membuat hatiku teramat berbunga, bukan sebatas aku bisa mulai bekerja. Lebih
dari itu, aku akan segera bertemu kekasihku. Di Surabaya, aku ditempatkan
sebagai reporter sebuah koran harian Ibu Kota.
Jakarta.
7
Oktober ‘02
Esok,
saat mentari pagi menyapa. Saat setiap orang Jakarta disibukkan oleh urusannya
masing-masing. Aku sudah harus berangkat ke stasiun kereta api Senen.
Surabaya,
kota kedua yang selalu ada di hatiku. Aku berterima kasih padanya. Karenanya,
kekasihku bisa berpijak. Kini, Surabaya bukan hanya akan menjadi tempatku
berpijak. Dia akan menjadi saksi bertemunya kembali cinta yang telah lama
dipisah oleh waktu dan tempat.
Jakarta.
8
Oktober ‘02
Entah mengapa,
kuingin lukis perasaan hati dalam diary.
Angin
sore menyapa lembut wajahku. Sementara dari barat memancar sinar mentari,
mengenai sebagian gerbang kereta api yang datang dan pergi.
Kujabat
tangan Kang Anwar beberapa kali. Tanda terimaksih. Tanda sama-sama ucap selamat menuju tanah pengharapan.
Bagiku hidup adalah di ujung waktu. Bila sampai waktu. Maka bukan berarti
berakhir. Tapi ada kehidupan baru untuk sampai di ujung waktu yang lain. Esok
adalah penghidupanku. Sebab di situ kuberada bersama kekasihku tercinta.
Detik-detik
bahagia kian dekat. Kuingin kereta api segera datang menjemput. Akan kuucap
“Selamat tinggal Jakarta dan selamat datang Surabaya!”
Stasiun
Senen
Demikian
akhir tulisan Yazid. Tidak kuasa Auliya menahan air mata.
“Kak, aku
tahu betapa teramat besar cintamu padaku. Engkau jalani hari-hari beratmu
bersama bayangku. Tanpa engkau kirim diarymu pun, aku tidak sanksi akan cintamu
padaku. Namun, aku hanya seorang manusia yang terkadang harus mengalah demi
keadaan. Kini engkau mendekatiku saat aku harus menjauh darimu.” Lama Auliya
termangu dalam kesendirian.
“Ada apa
Auliya?”
“Oh, tidak
ada apa-apa Bu!” Auliya mencoba berusaha menyembunyikan masalahnya kepada
ibunya.
“Pasti ada
sesuatu yang engkau sembunyikan. Engkau tidak bisa berbohong dari ibu. Apakah karena kiriman paket itu?
Auliya jujurlah kepada ibu. Seorang ibu punya naluri untuk mengetahui
kebahagiaan maupun kesedihan yang menimpa anaknya. Ibu memang memperhatikan
perubahan pada dirimu sejak temanmu, Nuraini, datang ke rumah kita. Ada apa
Auliya? Berbagi ceritalah kepada ibu!”
Auliya
tertunduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Isak tangis mengiringi kata-kata
yang terucap dari bibirnya.
“Aku minta
maaf pada ibu bila selama ini aku enggan untuk bercerita tentang masalah ini
kepada ibu dan ayah. Tapi percayalah bu, aku akan menyelesaikan dan segera
melupakan masalah ini. Sebelum kak Haikal datang, sebenarnya ada seseorang,
namanya Kak Yazid, yang teramat mencintaiku. Sebenarnya lambat laun aku dapat
melupakan Kak Yazid. Aku dapat menerima Kak Haikal dengan sepenuh hatiku.
Persoalannya Kak Yazid belum tahu jika keadaanku saat ini telah menjadi milik
orang lain. Bu, percayalah, aku masih mempunyai iman serta perasaan. Tidak
mungkin aku menciderai Kak Haikal yang sudah banyak mengorbankan perasaannya
untuk kebahagiaanku. Oleh karenanya aku hanya ingin bertemu Kak Yazid untuk
menyampaikan kabar tentang diriku. Biar tak ada pengharapan lagi teruntuknya.
Melupakanku dari ingatannya!”
Tidak ada
kata yang terucap dari mulut sang ibu. Hanya dekapan yang diberikan kepada
Auliya. Selama ini dirinya hanya melihat Auliya dari sisi dirinya sendiri.
Mengorbankan jiwa Auliya yang menyendiri dalam sepi. Sungguh, betapa besar
pengorbanan perasaan yang telah ia berikan. Meninggalkan seseorang yang teramat
dicintainya. Sakitnya sebagai bentuk protes. Hanya bagi orang yang berjiwa
besar yang dapat merelakan masa lalu dan menghadapi masa kini dengan senyum
ceria. Dia begitu memahami apa yang sedang terjadi pada diri Auliya. Dia
bersyukur, Auliya bersikap dewasa melihat kenyataan yang ada.
Pagi yang
cerah. Tidak teruntuk Auliya. Hampir semalaman matanya tidak terpejam.
Bayang-bayang Yazid selalu hadir di pelupuk matanya. Setelah tiba di kampus,
Auliya langsung menemui Nuraini. Dia berikan diary Yazid untuk dibaca Nuraini.
“Nur, Kak
Yazid mengirimkan diarynya padaku. Sepertinya ia ingin mengatakan bahwa hanya
aku yang ada dalam hatinya. Yang membuat jiwaku dalam kebimbangan adalah
kehadirannya di Surabaya. Walaupun hatiku sampai saat ini masih ada namanya,
namun kenyataan yang mengharuskan aku menolak kehadiran dirinya. Nur, bagaimana
aku harus berbuat?”
“Menurutku,
Kak Yazid adalah orang yang baik. Cintanya beralaskan kasih sayang, bukan nafsu
semata. Dia pasti akan menerima kenyataan ini demi kebahagiaan dirimu!”
“Jika
demikian, aku harap bisa secepatnya bertemu. Semoga ia bisa menerima ini semua
sebagai takdir Tuhan!”
Hari-hari
Auliya dipenuhi penantian. Sebelum berangkat kuliah, ia selalu berpesan kepada
ayah dan ibunya, bila ada seseorang mencarinya, agar sudi kiranya menunggu
kedatangannya.
Seminggu
lamanya penantian. Tiada kunjung datang orang yang ditunggu. Entah sudah berapa penerbit koran beserta
majalah yang ia datangi. Bersamanya Nuraini menyusuri berbagai tempat yang
kemungkinan ada Yazid.
“Nur, mataku
terasa sayu oleh panjangnya penantian. Kakiku terasa lelah oleh jauhnya perjalanan. Kak Yazid bagai teka-teki
hidup yang teramat sulit kupecahkan. Mengapa ia datang jika hanya untuk
menjauh. Aku hanya ingin tutup genderang cinta yang selalu ia tabuh, dan
mengibarkan setinggi-tingginya bendera kasih sayang. Aku akan selalu mimpi
buruk bila masih ada waktu dan tempat yang menghalangiku untuk sekedar bertemu.
Esok adalah awal Ramadhan. Bila sampai hari raya tidak juga aku dapat bertemu
dengannya, maka sudi kiranya engkau menemaniku ke Jakarta. Hanya satu yang
ingin aku sampaikan padanya: Relakan aku untuk dimiliki orang lain!”
|
Hari raya
telah tiba. Saat setiap orang bisa berbagi dengan sanak saudara. Sudah tradisi
jika menjelang hari raya semua keluarga yang di rantau kembali untuk sekedar
berkumpul, berbagi cerita tentang suka duka di rantau. Di malam hari Idul Fitri suara takbir bertalu di mana-mana.
Anak-anak terlihat bergembira menyalakan kembang api. Sesekali mereka pasang
petasan sebagai simbol kemeriahan. Dari yang tua sampai yang kecil bersuka cita
dengan memakai baju baru. Menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Para ibu
sibuk membuat makanan untuk dihidangkan. Yang dari rantau tidak lupa membeli
oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Sebagai bukti kesuksesan mereka di rantau.
Uang dihabiskan hanya untuk berbagi dengan keluarga. Setelah itu mereka kembali
ke rantau. Berpeluh dengan keringat mencari uang untuk bekal kembali lagi di
Idul Fitri yang akan datang. Budaya anak negeri yang terus terulang di setiap
tahun.
Ritual
dilanjutkan di pagi hari dengan berkumpul di masjid-masjid atau lapangan luas
untuk shalat Ied bersama. Setelah itu bersilaturahmi dengan orang tua dan sanak
saudara. Meminta maaf atas segala salah yang telah diperbuat.
“Ayah, Ibu,
aku ingin ke Jakarta bersama Nuraini. Biar tidak ada luka di hati seseorang. Agar aku dapat bahagia dengan kak Haikal
seorang. Tidak lama aku di sana. Kemungkinan lusa aku sudah berada di
Surabaya.”
”Auliya,
kita akan bersama ke Madura, bersilaturahmi dengan keluarga Haikal di sana.
Mungkin dapat mengurangi rasa rindu mereka atas Haikal yang masih di rantau.”
Ibu Auliya mencoba menahan keinginan Auliya.
“Ibu,
menyadarkan seseorang dari pengharapan yang berlebihan menurutku lebih baik.
Sehingga ia dapat menggapai cinta yang lain. Aku merasa sangat berdosa oleh
sebab meninggalkannya tanpa ada kata. Semakin hari, aku semakin mengerti akan
arti kehidupan ini. Bahwa cinta tidak harus memiliki. Yakin, bahwa luka hari
ini adalah bahagia untuk esok!”
Lama Auliya
meyakinkan kedua orang tuanya. Dia berjanji, setelah bertemu akan segera
kembali ke Surabaya. Kedua orangtuanya pada akhirnya memberikan izin untuk
kepergian Auliya. Cukup kejadian yang menyebabkan Auliya sakit berkepanjangan
menjadi pelajaran. Auliya sudah dapat mengerti mana yang terbaik untuk dirinya.
Mereka meyakini keberangkatan Auliya ke Jakarta semata-mata karena perasaan
cintanya yang teramat tulus teruntuk Haikal. Jika masih ada cinta orang lain
disaat kesetiaan yang harus dimiliki, bukankah itu munafik?
Stasiun
kereta api Pasar Turi terasa sesak oleh para penumpang. Maklum saat dua hari
setelah lebaran sudah banyak para pemudik yang kembali ke Jakarta. Suasana
tidak ubahnya di pasar ketika para penumpang saling berdesak memasuki gerbong
kereta api. Semuanya berusaha mencari tempat duduknya masing-masing. Banyaknya
barang bawaan membuat suasana dalam kereta teramat panas. Belum lagi para
pedagang yang ikut berjejal dengan para penumpang. Kereta api kelas ekonomi,
sebuah potret hidup orang-orang yang terpinggir dalam sebuah tempat yang
dikhususkan bagi mereka.
Setelah semalaman
berada di kereta. Sampailah
Auliya dan Nuraini di stasiun Senen, Jakarta. Kemudian dilanjutkan dengan
mengendarai bus menuju Pulogadung. Setelah bertanya dengan para penumpang yang
berada di sekitar terminal, mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil angkot
menuju ke arah timur. Beberapa kali keduanya bertanya alamat Yazid kepada orang
yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Hatinya berdebar ketika memasuki
sebuah rumah.
“Maaf,
apakah betul ini kediaman Yazid?” Auliya bertanya kepada seorang ibu separuh
baya yang berada di depan rumah.
Wanita itu
hanya terdiam menatap wajah Auliya.
“Kami dari
Surabaya, mencari alamat ini.” Auliya mencoba menjelaskan maksud tujuannya
dengan menunjukkan alamat yang ia bawa.
“Apakah
adik yang bernama Auliya?”
“Betul Bu,
saya Auliya dan ini kawan saya, Nuraini namanya.”
Begitu
selesai Auliya mengenalkan dirinya. Tiba-tiba wanita tersebut merangkul Auliya.
Dia peluk Auliya erat sekali. Lama Auliya dalam pelukannya. Masih tersisa air
mata ketika wanita tersebut mempersilahkan Auliya dan Nuraini masuk ke rumahnya.
Auliya dan
Nuraini duduk di ruang tamu. Tidak jauh dari tempat duduknya terlihat gadis
kecil berusia sekitar enam tahun bersama anak lelaki yang berusia sekitar tiga
tahun. Keduanya tampak asyik bermain. Terkadang menoleh untuk melihat seseorang
yang baru pertama kali dilihatnya. Wanita yang tidak lain bibinya Yazid masuk
ke ruang dalam. Beberapa saat kembali dengan membawa gelas bersisi air minum.
“Minumlah
dulu, adik berdua pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Diminum air
yang disediakan. Belum sempat Auliya bertanya tentang Yazid, tuan rumah sudah
terlebih dahulu memulai pembicaraan.
“Adik pasti
sudah menduga bahwa saya adalah bibinya Yazid.” Senyum kecut keluar dari
bibirnya ketika nama Yazid ia sebut.
“Tidak
salah Yazid memilih kekasih. Adik cantik, sebagaimana pujian Yazid dalam
diarynya.”
Lama wanita
itu terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit rumah. Raut wajahnya
terlihat mendahului usianya yang sesungguhnya. Dahinya mengerut mengingatkan
sesuatu. Tiba-tiba butiran air mata jatuh membasahi pipinya.
“Bi,
mengapa menangis?” Auliya mencoba bertanya alasan bibinya Yazid menangis.
“Auliya,
jujur bila diary itu Bibi yang mengirimnya.” Auliya terkejut mendengar ucapan bibinya Yazid.
“Jadi bukan
kak Yazid yang mengirim? Lalu di mana kak Yazid?”
Pandangan
matanya kosong. Entah sudah berapa banyak air mata yang membasahi pipinya.
Dengan suara yang tertahan, ia teruskan pembicaraannya.
“Dua bulan
yang lalu. Tidak seperti biasanya. Wajah Yazid saat itu berseri-seri. Dicium
tangan bibi. Dia menitikkan air mata ketika mengatakan bahwa derita yang kami
alami segera akan berakhir. Dia mendapatkan pekerjaan yang selama ini ia cari.
Rencananya ia akan ditempatkan di Surabaya.
Setelah
waktu keberangkatan telah tiba. Jam dinding menunjukkan sekitar pukul sebelas
siang. Menurut Yazid, kereta akan berangkat tepat pukul lima sore. Bibi hanya
bisa mengantarkannya sampai ke depan pintu rumah. Dia hanya minta doa dari
Bibi, agar selalu sehat ketika berada di Surabaya. Dia cium Lailah
berkali-kali. Dia berjanji kelak mengirim boneka cantik teruntuk Lailah. Tidak
lupa ciuman teruntuk Ridho. Kami bergembira dibalik kesedihan sebab perpisahan.
Kami tetap berdiri di depan pintu rumah. Menatap tubuh Yazid yang menghilang
bersama rutinitas warga ibu kota lainnya.
Belum
sampai kereta api ke Surabaya, ada rencana lain dari Tuhan teruntuk Yazid…”
Ucapannya
terhenti sampai di situ. Mulutnya
terasa berat untuk meneruskan kata-kata.
“Bi, apa
yang terjadi dengan Kak Yazid???” Auliya sontak berdiri menghampiri.
Dia peluk
Auliya yang berada di hadapannya. “Yazid menjadi korban tabrakan kereta api!”
Bibir
Auliya bergetar. Tiada kata yang terlontar. Hanya air mata yang keluar dari
kedua matanya. Nuraini yang
ikut menyaksikan kejadian itu tidak kuasa menahan air mata,
“Beruntung
Bibi masih sempat bertemu dengannya di rumah sakit. Saat kematian hampir
menjemput. Yazid memberikan diarynya pada Bibi. Dia hanya memohon agar diarynya
dikirimkan kepadamu”.
Dipapahnya
Auliya menuju tempat duduknya semula.
“Sudahlah
Auliya, Bibi dapat merasakan apa yang engkau rasakan.”
Setelah
beberapa saat suasana rumah diliputi hening oleh kesedihan yang dirasakan ketiganya.
Cerita kemudian dilanjutkan.
“Azan
sholat isya baru saja berlalu. Saat itu Bibi menyusui Ridho sambil menonton
televisi. Tiba-tiba Bibi dikejutkan dengan siaran langsung yang ada di
televisi. Berita tentang tabrakan kereta api jurusan Jakarta Surabaya dengan
kereta api yang berasal dari Surabaya. Kejadian tabrakan terjadi di daerah
Cirebon. Diberitakan banyak penumpang yang menjadi korban dalam kecelakan itu. Tubuh
Bibi terasa lemas saat mengingat Yazid. Terlebih kereta api yang dari Jakarta
berangkat pada pukul lima sore. Naluri sebagai ibu membuat Bibi beranjak dari
tempat duduk. Bibi gendong Ridho. Sementara Lailah mengikuti di belakang.
Setengah berlari Bibi keluar rumah bermaksud memastikan berita tabrakan kereta api
tersebut. Rasa cemas atas nasib Yazid membayangi sepanjang perjalanan menuju
stasiun Senen. Bibi berharap kecelakan bukan pada kereta yang ditumpangi Yazid.
Kalaupun itu, Bibi berharap akan keselamatan Yazid.
Bibi sampai
di Stasiun Senen. Suasana haru tampak dari wajah-wajah yang menanti kepastian
nasib sanak keluarganya yang menjadi korban dalam kecelakaan. Rasa cemas
semakin bertambah ketika mengetahui bahwa musibah menimpa kereta yang membawa
Yazid.
Bersama
para keluarga korban lain Bibi diangkut dengan kereta api menuju lokasi
kejadian. Kemudian kami menuju rumah sakit yang menampung para korban
kecelakaan.
Jerit
tangis pilu membahana di rumah sakit. Suasana rumah sakit gaduh. Para
pengunjung setengah berlari ketika memasuki setiap ruang rumah sakit dengan
rasa khawatir yang tampak di raut wajah mereka. Di setiap sudut ruang terlihat
isak tangis orang-orang yang telah mengetahui kondisi keluarga mereka. Banyak orang-orang yang pingsan ketika
melihat familinya dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Bibi menuntun Lailah
sambil menggendong Ridho, berusaha mencari Yazid di antara orang-orang yang juga
mencari sanak keluarganya. Beruntung beberapa saat kemudian Bibi dapat bertemu
dengan Yazid. Kasihan Yazid. Entah sudah berapa lama ia terbaring sendiri
menahan rasa sakit. Sekujur tubuhnya berlumur darah. Bibirnya meringis sebab
luka parah yang dialami. Meskipun demikian, wajahnya terlihat gembira ketika
bertemu Bibi. Sambil mendekap diary di tangan kanannya, dia minta maaf karena tidak dapat membahagiakan Bibi, Lailah,
dan Ridho. Dia memberikan diarynya pada Bibi. Memohon agar dikirimkan kepadamu.
Hanya itu. Setelah itu ia tersenyum kepada kami sebagai tanda perpisahan untuk
selamanya. Bibir Bibi terkatup diam. Belum dapat mempercayai dengan apa yang
sedang terjadi. Lailah menangis tersedu menjambak tubuh Yazid. Sementara Ridho
hanya terdiam merangkul dalam dekapan Bibi. Semua menyatu dalam duka ditinggal
orang-orang yang dikasihi.”
Tubuh
Auliya bersandar kepada Nuraini. Tangannya berpegang erat di tangan Nuraini.
Seakan tiada daya untuk sekedar menegakkan kepala.
Senyum
kecut terlontar dari bibirnya. Seperti juga Auliya yang belum percaya dengan
apa yang menimpa Yazid. Meskipun kejadian itu telah berlangsung lama.
“Bibi tidak
mengerti dengan apa itu konspirasi. Apakah ada relevansinya dengan kejadian
yang menimpa Yazid. Yazid memang pernah cerita perihal perkenalannya dengan
seorang aktivis mahasiswa yang sering berdemontrasi menentang rezim Orde Baru. Aktivis
tersebut mencari tempat perlindungan di pesantren untuk lepas dari kejaran aparat
keamanan. Berada satu kamar dengan Yazid. Dia merasa terinspirasi dengan
perjuangan aktivis tersebut. Diapun katanya pernah diajak dalam pertemuan para
pimpinan demonstran pada suatu tempat di Surabaya. Bibi pernah melihat komentar
seorang politikus di televisi yang mengatakan bahwa kecelakaan kereta api
jurusan Jakarta Surabaya bukan murni kelalaian manusia, tapi memang ada unsur
kesengajaan. Dengan alasan bahwa terdapat banyak para aktivis yang juga menjadi
penumpang kereta api tersebut. Mereka dianggap dapat menjadi kunci utama saksi
kekejaman aparat pada masa Orde Baru.
Malam hari
keberangkatan Yazid. Sebelum menjelang tidur. Yazid sempat mengajak bicara
Bibi. Dia mengatakan yang sebenarnya dan berpesan untuk tidak menceritakannya
kepada sembarang orang bahwa sebenarnya dia dapat bekerja di Surabaya karena
bantuan temannya yang aktivis itu.
Selama
Yazid bersama Bibi di sini. Tidak pernah Bibi melihat Yazid mengeluh sebab
hidupnya yang selalu dirundung duka. Mungkin ia hanya protes pada keadaan. Seperti
menyesal tidak bisa berbuat banyak teruntuk kami di sini. Padahal Bibi sering
mengatakan bahwa keberadaannya di sini sangatlah berarti. Dia berikan semua
sisa peninggalan almarhumah ibunya kepada Bibi untuk dipergunakan sebagai modal
berjualan makanan kecil anak-anak sekolah yang keberadaannya tidak jauh dari
sini. Dia baru minta uang ketika hendak keluar mencari pekerjaan. Bibi tahu
bila ada rasa kecewa yang disembunyikan di balik senyumnya setiap kali datang
dari perjalanan jauh mencari pekerjaan. Dia buang rasa sesalnya dengan bermain bersama Lailah dan Ridho.
Ada satu
saat hati Bibi terasa terusik iba manakala melihat Yazid duduk menyendiri.
Wajahnya selalu diarahkan jauh ke timur sana. Bibi bisa merasakan ada sesuatu
yang tertinggal di kejauhan sana. Bibi pernah mempertanyakan alasan kenapa ia
sering melakukan hal itu. Tapi hanya dijawabnya dengan senyum dan mencoba untuk
disembunyikannya. Bibi tahu bila Yazid sengaja tidak menceritakan masalahnya
itu pada Bibi. Karena ia khawatir akan menambah beban Bibi.
Yazid bagi
Bibi seperti anak sendiri. Begitupun
Yazid memandang Bibi seperti ibunya sendiri. Dia sering menceritakan masa
kecilnya di kampung. Bahagia bersama ibu meskipun berbalut peluh keringat. Bibi
menyaksikan hatinya tersayat ketika ia harus berpisah dengan ibunya. Garis
hidupnya kembali bersemi ketika memasuki pesantren. Terlebih saat terakhir kali
kembali ke pesantren. Lewat surat yang terakhir kali kami terima. Kami dapat
merasakan kebahagiaanya. Hingga pada akhirnya rasa bahagia itu harus terpendam
ketika ia harus kembali ke Jakarta sebab kematian pamannya, suami Bibi.
Kini Bibi
mengetahui dengan sebenarnya bahwa kebahagiaannya itu adalah engkau, Auliya.
Bibi merasa ikut bersalah. Mengapa baru sekarang Bibi mengetahui kisah cinta
antara Yazid dan engkau. Andai Bibi tahu yang sebenarnya, pasti Bibi akan
menyarankan Yazid untuk menemui engkau di Surabaya, meski itu sesaat. Tapi
inilah takdir, sepenggal cerita cinta anak manusia yang tak sampai. Kisah cinta
yang terukir setia bertahta duka.”
“Nur,
mengapa kisah hidup ini berakhir pedih teruntuk Kak Yazid? Kenapa Tuhan tidak memberikan kesempatan
kepadaku untuk sekedar bertemu dengannya?”
“Auliya,
sudahlah, ini takdir Tuhan. Kita
hanya bisa berdoa teruntuknya. Semoga dia berbahagia di sisi-Nya.” Nuraini mencoba menghibur Auliya.
Ketika
jasad telah terpisah. Maka kenangan menjadi laku untuk diingat. Menyusuri
lorong waktu. Melihat berjuta asa telah tertoreh. Di sini akhir kisahnya
berujung. Mendapat air mata cerita cinta Yazid yang tak sampai. Lama Auliya
menatap ruang rumah tempatnya berada. Terasa gores tinta tangan Yazid menghiasi
dinding-dinding.
“Bi,
antarkan aku ke pusara Kak Yazid. Di sana akan aku sampaikan salam perpisahan terakhir teruntuknya.”
Kurang
lebih setengah jam perjalanan mereka sampai ke pemakaman umum. Ketiganya lalu
menuju ke sebuah makam yang tanahnya masih terlihat basah. Mereka berdiri tepat
di depan makam Yazid.
“Kak Yazid,
engkau telah mewarnai perjalanan hidupku. Engkau ajari aku arti kesetiaan.
Engkau ajari aku tentang kasih sayang. Jasad kita telah terpisah. Tapi engkau
bawa aku dalam cinta keabadian. Cintanya orang-orang yang mengedepankan
perasaan sayang ada di atas segala-galanya. Ini sekedar masalah tempat. Engkau
hanya lebih dahulu sampai. Di lain waktu pasti aku akan menyusulmu. Dari sini
kutemukan jejak langkahmu. Menyusuri aral jalan yang berliku. Aku masih melihat
bekas tetes air matamu di atas tumpukan beban hidupmu. Hanya doa yang bisa
kuberikan, semoga ada bahagia di sana!”
Dilangkahkan
kakinya meninggalkan makam Yazid. Bisik angin mengantar kepergiannya. Membawa pesan sejuta kenangan. Diajak
menari si pohon tua penjaga setia. Bersama menyanyikan lagu menyayat hati.
Menanti kembalinya jiwa-jiwa yang sunyi. Sesekali dia menoleh ke belakang.
Jakarta,
kota tempatnya para pemuja materi. Di mana nurani terkikis sebab memuaskan jiwa
yang kosong dari kesetiaan. Kebersamaan diukur dari apa yang didapat. Manusia
laksana mesin berjalan. Bergerak mengikuti langkah pemuas nafsu individu.
Hilang rasa sosial. Namun di sini Auliya telah menemukan cinta sejati yang
terselip di antara gedung yang bertingkat. Di antara cita yang terlepas. Di antara
harap yang terselip.
Suasana di
stasiun kereta api Senen seperti hari-hari biasanya. Kesibukan dari orang-orag yang datang dan pergi.
Ratusan pencari peruntungan tetap setia menanti calon pembeli. Tempat ini telah
menjadi perantara suka dan duka. Dari sini pernah dibawa sejuta asa milik
Yazid. Dikirim ke hadapan Auliya. Lama Auliya memperhatikan setiap sisi yang
ada di dalam stasiun. Semua
bisu seperti enggan untuk bercerita. Ada goretan sejuta cerita di setiap
dinding. Seuntai cerita tertoreh di dinding gerbong kereta yang merapat. Di
situ tertulis saat Yazid memasuki pintu gerbong. Senyum simpul keluar dari
bibirnya sambil mengapit sebuah diary. Disapu sekali lagi air matanya ketika
bayang Yazid seperti mengajaknya segera pergi meninggalkan Jakarta menuju
Surabaya.
Hari
semakin sore ketika kereta api tujuan Surabaya berangkat. Dari jendela kereta,
keduanya melihat wanita bersama kedua anaknya yang berdiri sambil melambaikan
tangannya. Air mata haru mengiringi kepergian Auliya dan Nuraini.
Hari masih
teramat pagi ketika keduanya sampai di Surabaya. Nuraini merasa perlu mengantar Auliya, karena
kondisinya yang masih labil.
Tidak lama
kemudian keduanya telah sampai. Beberapa orang terlihat keluar dari dalam rumah
untuk menyambut kehadiran Auliya. Tampak pula sanak famili dari Madura.
Auliya
menduga berkumpulya keluarga dari Madura terkait hari raya. Namun, mengapa ada
kesedihan di wajah mereka? Ibunya yang lebih dahulu menghampirinya.
“Auliya…”
Dia peluk Auliya.
“Ibu, ada
apa?”
“Nak,
tabahkan dirimu…”
Auliya
semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Semua mata tertuju kepadanya dengan sorot mata
kepedihan. Ia dipapah oleh ibunya hingga masuk ke dalam rumah. Detak jantung
Auliya semakin keras terasa manakala telinganya mendengar orang-orang membaca
ayat-ayat Al-Qur’an. Terlebih ketika matanya tertuju kepada sesosok tubuh yang
terbaring tertutup kain.
“Apakah
ayah…?, atau...? Auliya membatin, seraya terus mendekat.
Tangan kirinya mendekap mulut. Sementara tangan
kanannya perlahan menyingkap kain penutup mayit.
“Kak Haikal!!!”
Setelah itu yang ada hanya gelap. Tiada lagi suara
yang terdengar.
Surabaya,
31 Desember ‘02
Aku bukan ingin melawan takdir Tuhan. Atau
mendahului suratan takdir yang tertulis teruntukku.
Apakah salah bila aku katakan bahwa aku telah mati?
Andai esok atau lusa jasadku masih berjalan, bukankah senyum dan tangisnya
telah masuk ke alam kubur?
Aku teramat bahagia menatap kematian. Karena di sana kulihat ada senyum
orang-orang yang kukasihi.
Auliya.
Entah sudah berapa kali tulisan tertanggal akhir
Desember itu ia baca. Rasanya baru kemarin kejadian itu berlangsung. Matanya
kembali menerawang pada tujuh tahun silam. Saat itu Auliya terbujur lemah di
rumah sakit. Derita yang disebabkan oleh kepergian orang-orang yang dicintai.
Belum kering air mata karena mengetahui kematian Yazid. Kepiluan lalu ditambah
oleh kematian suami tercinta, Haikal, saat bekerja di negeri orang. Status
sebagai pekerja ilegal membuat diri Haikal menjadi buruan polisi Malaysia.
Hingga akhirnya sebutir peluru menembus dadanya saat ia mencoba berlari dari
kejaran polisi Malaysia.
Jasadnya terlantar oleh karena alamat yang tidak jelas. Setelah beberapa hari
lamanya, jasadnya baru bisa sampai ke Surabaya.
Auliya jatuh pingsan saat mengetahui jasad yang terbujur kaku di rumahnya
adalah Haikal.
“Nuraini, simpan diary ini. Di dalamnya ada kubangan
air mata anak manusia. Diisi oleh tinta tangis milik kak Yazid. Sengaja kututup
dengan tulisan air mata bahagia!”
Demikian pesan Auliya kepada Nuraini. Tidak lama
kemudian Auliya dijemput oleh kematian.
Agen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Situs Terpercaya
HOBI JUDI BOLA,KASINO, POKER !!!
Dengan Berbagai Promo Menarik lain, Penasaran?? AYO JOIN SEKARANG!!!!
Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dengan Berbagai Macam Bonus Menarik Seperti:
-Bonus 180% untuk Member Baru
-Bonus 5% setiap hari
-Bonus New Member POker 20%
-Bonus 30%
-Bonus Happy Hour 25%
Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
WA : +6281358840484
Facebook : 88CSN
Instagram : 88CSN_official
www.wes88.com
Agen Casino Terbaik
BalasHapusAgen Situs Terbaik
Agen Slot Terbaik
BalasHapusAgen Situs Terbaik
Situs Agen Judi Online
• Bonus New Member 120%
• Bonus Deposit Harian 5%
• Bonus Happy Hour 25%
• Bonus poker 20%
Untuk info lebih lanjut bisa menghubungi kami di :
WA : 081358840484
Facebook : Game Slot Online
https://bit.ly/2ZoLZDA