MAKALAH PUASA
I.
MUQODDIMAH
Puasa merupakan sarana ibadah yang
paling mungkin untuk dapat melatih jiwa melawan syahwat dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain, Ashaumu
Ablaghul Asya Fi Riyadhatun nafsi (‘Ianatut Thalibin, 2, 264). Dengan puasa
hati dapat tersinari cahaya ilahi serta melatih raga lebih giat untuk beribadah
sehingga dapat melawan syahwat atau nafsu manusia. Sebab, syahwat atau nafsu
itulah yang menjadi tempat bersemainya syetan dalam diri manusia. Sehingga ada
hijab atau penghalang yang membuat manusia dan Sang Khaliq, Allah AWT menjauh.
Nabi bersabda:
لو لا أن الشياطين يحومون على قلوب بنى ادم لنظروا الى ملكوت السموات
Seandainya
tidak ada syetan yang mengitari hati-hati anak Adam, niscaya mereka dapat
melihat alam malakut. (HR. Abu hurairoh) (Ihyau ‘Ulumid Dhin, I, 233)
Betapa teramat besar ganjaran pahala
bagi orang yang berpuasa. Bila amal ibadah selain puasa bernilai sepuluh kali
lipat sampai dengan tujuh ratus lipat, maka nilai ibadah puasa tiada terhingga
besarnya, karena hakekat ibadah puasa teruntuk Allah, Allah sendiri yang kelak akan
membalasnya, Fainnahu Li Wa Ana Ajzi Bihi (Durratun Nashihin, 13). Ada dua kegembiraan bagi orang yang
berpuasa, pertama bergembira saat berbuka, Farhatun ‘Inda Iftharihi, kedua
bergembira saat bertemu dengan Allah kelak di akhirat, Farhatun ‘Inda Liqai
Rabbihi.
II.
PENGERTIAN PUASA
Pengertian puasa secara lughowi
(etimologi) adalah imsak (menahan diri) secara mutlak, menahan diri dari makan,
minum, berbicara, berhias, berjima’, dan lainnya. Semua bentuk menahan diri,
secara lughowi di sebut puasa.
Sedangkan puasa secara syar’i diartikan
sebagai menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit
fajar hingga terbenam matahari, disertai dengan niat dari orang yang
berkewajiban melaksanakannya. Dari definisi ini puasa berarti menahan diri dari
syahwat perut dan kemaluan (farji). Menahan diri dari masuknya benda konkrit ke
dalam rongga badan seperti makanan, obat, dan lainnya. Dilakukan pada waktu
tertentu (dari terbit fajar hingga terbenam matahari) dan oleh orang-orang
tertentu yang berkewajiban melaksanakan puasa (muslim, berakal, suci dari haid
dan nifas). Dilakukan dengan niat (untuk membedakan kelakuan ini antara
kebiasaan dan ibadah). (al-Fiqh al- islami Wa adhillatuhu, II, 566)
Dari ketentuan di atas, mereka yang
kafir, gila, belum baligh, sedang haid atau nifas, tidak sah puasanya. Karena
memang tidak adak taklif (tuntutan dan kewajiban) bagi mereka. Hal ini
didasarkan pada hadists:
رفع القلم عن ثلاثة
منهم الصبي والمجنون والنائم
Artinya: Pena diangkat (tidak terkena
beban kewajiban) dari tiga golongan; anak kecil (belum baligh), orang gila, dan
orang yang sedang tidur (lupa). (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)
Hadis ini bersifat mutlak dengan tidak
ada hadis lain yang mentakhsishnya. Oleh karena itu puasa dapat dibawa ke dalam
kemutlakannya.
Argumentasi kedua adalah perkataan Aisyah
Ra:
كنا نحيض عند رسول
الله صلى الله عليه وسلم ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ولا بقضاء الصلاة
Artinya; Kami sedang haid di sisi
Rasulullah SAW kemudian suci. Lalu kami diperintahkan untuk mengqhadla puasa
dan tidak mengqhadla shalat (HR. Bukhori)
III.
SYARAT-SYARAT PUASA
Ulama mengklasifikasikan syarat-syarat
puasa menjadi dua, syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib artinya, siapapun
yang memenuhi syarat-syarat ini, wajib melakukan puasa. Sehingga mereka berdosa
jika meninggalkan puasa secara sengaja. Lain halnya dengan syarat sah. Syarat
ini menjadi unsur penentu sah tidaknya puasa. Orang yang tidak wajib
melaksanakan puasa sekalipun, jika telah memenuhi syarat sah, puasanya dianggap
sah. Sehingga jika syarat sah ini tidak dipenuhi, maka puasa belum dianggap
sah.
Berikutnya tentang syarat wajib puasa,
ulama fiqih menyebutkan tiga syarat wajib puasa. Pertama, Islam. Orang non
muslim tidak wajib berpuasa, sebab mereka tidak masuk dalan kategori ahli
ibadah. Kedua, mukallaf (aqil baligh). Ketiga, mampu melaksanakan puasa. Dengan
demikian, mereka yang tidak mampu berpuasa seperti karena sakit atau sudah tua,
tidak wajib melakukan puasa. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وعلى الذين يطيقونه فديةٌ طعامُ مسكينٍ
Artinya: Dan wajib atas orang yang
tidak mampu untuk berpuasa, membayar fidyah (tebusan). (QS. Al Baqarah: 184)
Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa
disyariatkan pada pertama kalinya diberi pilihan antara melakukan atau
meninggalkan dengan membayar fidyah, sehari meninggalkan puasa memberi makan
satu orang miskin. Kemudian ayat ini di nasakh (dihapus) dengan ayat:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya: barang siapa yang di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu (QS. Al
baqarah: 185)
Berbeda dengan Ibnu Abbas, menurutnya
tidak ada nasikh-mansukh pada kedua ayat di atas. Yang dimaksud ayat di atas
adalah para orang tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Beliau menafsiri
ayat di atas dengan;
أي وعلى الذين يقدرون على الصوم مع الشدة والمشقة
Yaitu wajib atas orang-orang yang
mampu berpuasa dengan rasa berat. (Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil ahkam Min
al-Qur’an: I, 209)
Selanjutnya tentang syarat sah puasa,
ulama berbeda pendapat. Namun ada dua syarat sah yang disepakati oleh mereka.
1.
Niat.
Ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan niat.
Pertama, wajib tabyitu al niat, yaitu berniat pada malam hari jika yang
dilakukan adalah puasa wajib. Nabi
bersabda:
من لم يبيت الصيامَ
قبل الفجر فلا صيام له
Artinya: Orang yang tidak berniat sebelum terbit fajar
maka puasanya tidak sah. (HR. Daruqutni)
Kedua, wajib ta’yin al niat, yaitu menentukan niat
bahwa puasa yang dilakukan adalah puasa fardlu. Ketiga, mementapkan niat. Bagi
orang yang ragu-ragu dalam berniat puasanya tidak sah. Contohnya, “jika besok
adalah bulan Ramadlan saya akan berpuasa.Tapi jika tidak maka saya akan
berpuasa sunnat”. Keempat, berniat tiap hari. Imam Malik hanya mencukupkan niat
satu kali, yaitu di awal bulan Ramadlan. Sedangkan hari-hari berikutnya hanya
di sunnahkan saja. (Al Mizanul Kubra, II, 20)
2.
Suci sepanjang hari dari haid dan nifas.
IV.
HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA
1.
Sesuatu yang yang dapat membatalkan puasa dan wajib qodla
a.
Makan minum dengan sengaja dan sesuatu yang dapat dikategorikan
terhadap keduanya. Sebagaian ulama mengatakan bahwa suntik dan infus tidak
membatalkan puasa.
b.
Muntah dengan sengaja. Ini didasarkan pada hadits:
من ذرعه فيءٌ وهو
صائمٌ فلا قضاء عليه ومن استقاء فلْيقْضِ
Artinya: Barang siapa yang muntah dengan sendirinya
ketika ia berpuasa, maka tidak wajib qadla (tidak batal), dan barang siapa
sengaja muntah maka ia wajib mengqodlo. (HR. Abu Dawud dan Imam Turmudzi)
c.
Istimna’. Ialah mengeluarkan sperma dengan cara selain jimak (hubungan
kelamin), baik yang haram, seperti onani, masturbasi dan mubasyarah (kulit
ketemu kulit). Ataupun yang halal, seperti onani memakai tangan istri.
Sedangkan keluar mani sebab mimpi, menghayal, melihat perempuan dengan syahwat
tinggi tidak membatalkan puasa. Tapi kalau melihatnya dengan menyengaja, puasanya
batal. (Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu, II, 664)
2.
Sesuatu yang membatalkan puasa, wajib qodla dan kafarat (membayar
denda)
Yaitu jima’ secara sengaja pada siang
hari di bulan Ramadhan.Namun jima’ yang didahului oleh ifthor, misalnya sengaja
membatalkan puasa dengan minum, maka tidak wajib membayar kafarat.(Al Fiqh
Al Islami Wa adilatuhu, II, 667)
V.
DASAR HUKUM PUASA
1.
Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 183
يا ايها الذين امنوا
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa. Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
(QS. Al Baqarah, 183)
2.
Hadits riwayat Bukhori muslim
بنى الاسلام على خمس
شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم
رمضان وحج البيت .(رواه الشيخان)
Artinya: Islam dibangun berdasarkan lima pondasi.
Pertama bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
Kedua mendirikan shalat, ketiga mengeluarkan zakat, keempat puasa di bulan
Ramadhan, kelima pergi haji ke Baitullah.
VI.
MACAM-MACAM PUASA
1.
Puasa Wajib
a.
Puasa bulan Ramadhan
b.
Puasa Kafarat
c.
Puasa sebab nazar
2.
Puasa Sunnah
a.
Puasa hari ‘asyura dan tasu’a (puasa pada tanggal 10 dan 9 bulan
muharram)
b.
Puasa Ayamul Bidl (puasa malam terang bulan tanggal 13, 14, dan 15)
c.
Puasa Arafah (pada tanggal 8, 9 bulan Dzil Hijjah)
d.
Puasa hari senin dan kamis.
e.
Puasa enam hari bulan Syawal
f.
Puasa di sebagian bulan-bulan haram (dzul qa’dah, dzul hijjah, muharram
dan rajab)
g.
Puasa satu hari, berbuka satu hari
3.
Puasa Haram
a.
Puasa dua hari ‘ied, ‘iedul fitri dan ‘iedul adha
b.
Puasa tiga hari setelah ‘iedul adha (tanggal 11,12 dan 13 dzul hijjah)
c.
Puasanya seorang istri yang tidak mendapatkan izin suaminya
d.
Puasa hari syak (puasa di tanggal 30 bulan sya’ban, sementara ada kabar
bahwa bulan sudah terlihat namun tidak terbukti)
4.
Puasa Makruh
a.
Puasa hari jum’at tanpa didahului atau mendahului dengan hari lain
b.
Puasa tahun baru
c.
Puasa saat hari pesta
d.
Puasa setahun penuh
Sebagian ulama tasawuf mengatagorikan puasa setahun
penuh (Shaumu Addahri) sebagai puasa yang sunah. Dengan catatan ada kebaikan
yang didapat oleh orang yang melakukannya;
وأرى صلاح نفسه فى
صوم الدهر فليفيل ذلك فقد فعله جماعة من الصحابة والتابعين رضى الله عنهم
(Ihya
Ulumiddin, I, 238-239, Kitabul Fiqh
‘alal Mazahibil Arba’ah, I, 541-559, I’anatu at Thalibin, II, 264-274)
VII. TATA CARA PUASA RAMADHAN
1.
Puasa bagi kalangan umum, shaumul ‘awam
Yaitu berpuasa dengan hanya menahan diri dari
keinginan perut dan kemaluan
2.
Puasa bagi kalangan khusus, shaumul khawash
Yaitu berpuasa dengan cara bukan hanya menjaga diri
dari keinginan perut dan kemaluan tapi menahan seluruh anggota tubuh untuk
tidak berbuat ma’siat selama berpuasa. Cara puasa kalangan ini yaitu dengan
menjaga mata dari pandangan yang dibenci oleh agama, menjaga lisan dari perbuatan
ghibah, dusta, mengadu domba, menjaga telinga dari sesuatu yang tidak
disenangi, menjaga perut dari kemasukan barang yang subhat ketika berbuka, dan
menjaga perut dari terlalu banyak kemasukan barang halal ketika berbuka.
3.
Puasa bagi kalangan utama, shaumul khawashul khawash
Yaitu berpuasa tidak hanya dengan raga tapi dengan
hati. Dengan cara menjaga hati dari keinginan-keinginan dan pikiran-pikiran
duniawi
VIII.
AMALAN-AMALAN BULAN RAMADHAN
1.
Melakukan makan sahur dan mengakhirkannya
2.
Bersegera untuk berbuka, diusahakan berbuka dengan kurma.
3.
Mandi sebelum fajar bagi orang yang junud
4.
Memperbanyak shadaqah
5.
Memperbanyak membaca al-Qur’an
6.
Memperbanyak beribadah dan melakukan I’tikaf
7.
Shalat taraweh di malam-malam bulan Ramadhan
(‘Ianatu at Thalibin, II, 251-258)
IX.
HIKMAH PUASA RAMADHAN
1.
Puasa adalah bentuk kepatuhan manusia sebagai hamba untuk melaksanakan
perintah Allah swt. Bila kita telah merasakan bentuk kepatuhan kita kepada Sang
Pencipta maka kita telah mencapai inti tujuan dari ibadah. Allah swt berfirman:
وأمرنا لنسلم لرب
العالمين
Artinya: Dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada
Tuhan semsta alam (QS.Al An’ Am:71 )
2.
Puasa adalah madrasah, sekolah tempat mendidik jiwa agar menjadi
pribadi yang sabar menanggung setiap kesulitan. Menjadikan pribadi yang mampu
mengatur dan mengontrol nafsu atau keinginannya. Bukan sebaliknya, nafsu atau
keinginan yang mengatur manusia sehingga manusia tidak ubahnya seperti
binatang. Llah swt menyindir orang-orang yang diatur oleh nafsu atau
keinginannya dalam surat Muhammad ayat 12:
و يأْكلون كما تأكل الأنعامُ والنارُ مَثْوًى لهم
Artinya: Dan mereka makan seperi
makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tmpat tinggal mereka.
3.
Puasa dapat menjadikan manusia menjadi pribadi yang penuh cinta kasih
kepada sesame, empati kepada kesulitan orang lain, halus lembut perasaannya,
dermawan, suka menyeka air mata orang-orang yang sengsara, dan pelipur lara
bagi orang-orang yang ditimpa bencana.
4.
Puasa dapat mensucikan nafsu basyariyah atau sifat kemanusiaan yang
melekat dalam diri manusia dengan cara menanamkan rasa takut kepada Allah swt,
baik di tempat tertutup maupun di tempat terbuka.
5.
Dapat menyehatkan badan. Ini terbukti dalam ilmu kedokteran, puasa
dijadikan resep yang paling ampuh menyembuhkan berbagai macam penyakit, karena
banyak penyakit yang datangnya dari perut. Nabi bersabda:
صوموا تصحوا
Artinya: Puasalah kamu maka kamu akan
peroleh kesehatan
(Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayati Al Ahkam, I, 217-218)
X.
KHOTIMAH
Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik
kepada kita sehingga kita dapat berkumpul dalam jalinan ilmiah melalui program
PPG. Shalawat dan salam atas paling mulyanya para utusan dan paling sempurnanya
makhluk, Nabi Muhammad SAW, tidak luput teruntuk keluarga serta sahabat-sahabat
beliau. Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan kepada kita semua untuk
mendapatkan syafaat nabi-Nya kelak di hari akhir.Amiiin..
terimakasih telah membagi artikel yang sangat bermanfaat ini. sukses selalu :)
BalasHapuslihat juga makalah dari saya http://jakazulham.blogspot.com/2013/04/makalah-puasa.html